BERITABETA.COM, Ambon – Sebuah kabar baik baru saja tersiar pada akhir Maret 2021. Tepatnya 30 Maret 2021, Provinsi Maluku berhasil memulai kembali kegiatan ekspor biji pala dengan negara tujuan China.

Melalui dua perushaan PT. Subur Anugerah Indonesia, yang bekerjasama dengan CV. Maenusu, Maluku kembali mengirim 28 ton biji pala ke negeri Tirai Bambu itu.

Sekretaris Daerah (Sekda) Maluku Kasrul Selang saat itu memberikan apresiasi atas nama pemerintah daerah atas suksesnya kegiatan ekspor tersebut. Namun, Kasrul menyebut ada kendala besar yang selama ini dihadapi dalam komoditi ekspor pala yakni ketersediaan laboratorium uji aflatoksin (toksin yang berasal dari fungi) atau jamur.

“Laboratorium itu belum terdapat di Ambon,” jelasnya.

Lalu apa itu Aflatoksin? Aflatoksin berasal dari kata “Af” yaitu Aspergillus Flavus dan “toksin” adalah racun. Artinya, racun yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus flavus.

Racun yang berasal dari jamur yang tumbuh pada biji pala akibat kurang optimalnya higenitas, pengeringan dan kondisi penyimpanan. Bukti ilmiah menunjukkan aflatoksin dapat menyebabkan gangguan pada tubuh manusia kerusakan akut (aflatoksikosis) dengan gejala mual, muntah, kerusakan hati dan menyebabkan kanker.

Hal ini terjadi, karena 99,2 persen perkebunan pala dibudidayakan oleh petani menggunakan teknologi budidaya dan penanganan pascapanen secara tradisional.

Dari catatan sejumlah sumber yang dihimpun beritabeta.com menyebutkan ekspor pala Indonesia mulai bermasalah sejak tahun 2000, karena ditemukan adanya aflatoksin.

The Rapid Alert System for Food and Feed tahun 2016 menyebutkan,  selama 16 tahun tercatat 53 dari 80 (62%) kasus pala dari Indonesia ditolak karena mengandung aflatoksin melewati batas toleransi.

Penolakan tersebut berdampak pada penurunan ekspor, karena dilarang produk pala Indonesia masuk ke pasar Eropa. Padahal,  Indonesia merupakan penghasil sekaligus pengekspor biji pala terbesar di dunia dengan jumlah pasokan sekitar 66-77% kemudian diikuti oleh Sri Lanka (8-13%) dan Grenada (3-26%).

Sherlly Dendeng, salah seorang eksportir pala asal Minahasa Utara seperti dikutip dari bisnis.com menyebutkan,  sejak adanya isu aflatoksin pada pala Indonesia yang masuk ke pasar Eropa pada akhir 2011, volume ekspor dan harga pala dari Indonesia yang masuk ke pasar Uni Eropa menurun drastis.

Harga jual ekspor pala menurun dari sekitar US$20.000 per ton menjadi US$16.500 per ton. Secara global, penurunan permintaan pasar Uni Eropa terhadap pala Indonesia mencapai 43%, dari 41 juta euro menjadi 23 juta euro pada 2012,

Dalam sebuah pertemuan di Minahasa Utara pada Juni 2013 silam, Sherlly mengisahkan semenjak diterapkannya uji standar mutu internasional, mereka harus senantiasa menjaga kualitas pengeringan biji pala.

“Saya selalu deg-degan saat pengiriman, karena kalau tidak lolos, nama kami bisa buruk dan bisa dihentikan izin ekspor kami,” ujarnya saat itu.

Sherlly terjun ke industri pala sebagai anggota Asosiasi Pala Indonesia (Aspindo) di Ternate pada tahun 80-an, Ia mulai belajar menjadi eksportir pala. Dalam perjalanannya, dia mengaku telah merasakan manisnya usaha dari eskpor pala itu (BB-DIO)