BERITABETA.COM, Ambon — Anggota DPR-RI Daerah Pemilihan (Dapil) Maluku, Saadiah Uluputty gandeng Kementerian Pertanian Republik Indonesia (Kementan RI) gelar bimbingan teknik (Bimtek) perkebunan pala di Ambon, Selasa (14/9/2021).

Saadiah Uluputty dalam sambutannya mengatakan, Indonesia termasuk produsen pala terbesar di dunia, namun yang menjadi kendala pada budidaya pala adalah belum ada teknologi yang mengidentifikasi jenis kelamin tanaman pada fase benih secara akurat.

Politisi PKS Maluku ini membeberkan, produksi pala dunia mencapai 25.000 ton per tahun, dimana Indonesia dan Grenada menduduki jumlah produksi dan ekspor (baik untuk biji pala dan fuli), dengan pembagian persen pasar masing-masing 75 dan 20 persen.

"Sehingga total volume ekspor pala Indonesia berupa biji kering dan fuli kering adalah sebanyak 11.505.972 kg dengan total nilai ekspor sebesar US$ 50.138.286" ujar Saadiah Uluputty

Anggota Komisi IV DPR RI itu menjelaskan, negara yang menjadi tujuan ekspor utama produk perkebunan pala adalah negara-negara di kawasan Asia seperti Jepang, Hongkong, Thailand, Malaysia, Singapura dan India, diikuti dengan beberapa negara di Eropa seperti Belanda, Inggris, dan lain-lain.

Historis tanaman rempah itu lanjut dia, telah banyak menjadi pusat perhatian karena dikenal dengan aromanya yang khas serta menjadi incaran bangsa asing sejak dulu.

"Jadi selain Ambon, Kepulauan Banda juga menjadi salah satu jalur utama prioritas masuknya kapal asing untuk mencari jalur dan menguasai rempah-rempah di Maluku" ungkapnya

Lebih lanjut dia menjelaskan, sejak abad ke-16 Banda sudah dikenal sebagai pala berkualitas dunia, sehingga tidak mengherankan jika beberapa bangsa asing berlomba untuk menguasai daerah sumber penghasil rempah berkualitas dunia itu.

Salah satu bangsa asing yang berhasil menancapkan kakinya dipusat bumi rempah-rempah, kemudian menduduki dan menguasai perdagangan rempah dunia adalah Negara Belanda.

"Realitasnya bahwa di wilayah Kepulauan Banda Neira terdapat bekas perkebunan kekuasaan Belanda sebagai hasil monopoli seluruh tanaman pala milik rakyat dan kemudian menjadikannya sebagai perkebunan pala milik Kolonial Belanda (V.O.C) hingga berunjung konflik pada waktu itu," jelasnya.