Jadi Komoditas Endemik, Tapi Maluku Digeser Aceh Soal Ekspor Pala
BEITABETA.COM, Ambon – Setelah sagu, pangan lokal asli Maluku yang sukses dpromosikan provinsi Kepulauan Riau (Kepre) hingga ke manca negara, kini Pala sebagai komoditas endemik (daerah asal) Maluku, ternyata juga sudah menjadi komoditas andalan ekspor provinsi Aceh.
Aceh bahkan berada di urutan kedua setelah provinsi Maluku Utara (Malut) dalam hal jumlah ekspor jenis tanaman rempah bernilai tinggi itu. Daerah yang dijuluki ‘Serambi Mekah’ telah menggeser Maluku soal jumlah ekspor pala ke sejumlah negara.
Data yang disadur beritabeta.com dari Direktorat Jenderal Perkebunan RI menyebutkan, produksi pala Indonesia tahun 2018 sebesar 36.242 ton dengan luas area tanam 202.325 ha. Provinsi Malut masih menjadi sentra pala terbesar, kemudian disusul provinsi Aceh, Maluku, Papua Barat, dan Sulawesi Utara.
Daerah penghasil produksi pala terbesar tahun 2018 adalah Maluku Utara yang memproduksi pala sebesar 8.325 ton. Kemudian, pala asal Aceh sebesar 6.273 ton, Maluku 5.774 ton, Papua Barat 5.675 ton, dan Sulawesi Utara 5.201 ton.
Penguasaan pala Indonesia di pasar global juga terbilang cukup baik. Bahkan Indonesia masih menjadi negara penghasil pala terbesar kedua di dunia setelah Guatemala pada tahun 2009 hingga 2013.
Indonesia sebagai produsen dan pengekspor biji pala, fuli pala, dan minyak pala terkemuka dunia yang memiliki market share atau penguasaan pasar dunia mencapai 26,71 persen (FAO diolah pusdatin). Aroma, cita rasa pala Indonesia yang khas, dan rendemen minyak yang tinggi menjadi daya tarik bagi pasar luar negeri, khususnya Eropa.
Pala juga masih menjadi komoditas ekspor unggulan. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan, perkembangan volume ekspor pala Indonesia selama periode 1980-2018 cukup fluktuatif, tetapi cenderung meningkat. Pada tahun 2018, volume ekspor pala Indonesia mencapai 20.202 ton dengan nilai ekspor US$ 111,69 juta. Rata-rata pertumbuhan nilai ekspor pala tahun 1980-2018 yaitu sebesar 16,43 persen per tahun.
Nilai ekspor pala tertinggi dicapai tahun 2012 yaitu sebesar US$ 140,01 juta. Negara-negara yang menjadi tujuan utama ekspor pala Indonesia adalah Vietnam, Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Belanda. Pada tahun 2018, sebagian besar komoditas pala diekspor ke negara Vietnam dengan volume 9.188 ton dan nilai ekspor US$ 26,37 juta.
Dari total ekspor pala Indonesia 2018, sebanyak 19,7 persen atau sebesar 3.979 ton diekspor ke Uni Eropa dengan nilai ekspor US$ 31,31 juta. Pala Indonesia yang diekspor ke Amerika Serikat sebesar 1.402 ton dengan nilai ekspor US$ 10,25 juta.
Sedangkan, pala Indonesia yang diekspor ke Belanda selama tahun 2018 sebesar 1.108 ton dengan nilai ekspor US$ 9,63 juta. (Dirjen Perkebunan, 2018)
Ditinjau dari sisi perdagangan, komoditas pala masih menjadi salah satu komoditas yang mencatatkan surplus pada neraca perdagangan luar negeri. Pada tahun 2018, nilai surplus neraca perdagangan luar negeri untuk komoditas pala mencapai US$ 108,29 juta.
Pala merupakan salah satu komponen rempah-rempah Indonesia yang terkenal kualitasnya sebelum negara Indonesia terbentuk. Peluang besar ini diharapkan memacu petani pala untuk terus berproduksi sehingga mampu menggenjot ekspor pala yang berkelanjutan dan memiliki pasar global yang terbuka luas untuk ekspor pala.
Peluang ekspor pala Indonesia untuk menembus pasar global memang besar, tetapi saat ini ekspor pala Indonesia sedang terganjal isu aflatoksin ketika memasuki pasar Uni Eropa.
Meski sangat diminati negara-negara di Uni Eropa, sejak tahun 2009 pala Indonesia mengalami beberapa kali penolakan dari Uni Eropa. Berdasarkan pernyataan Direktur Mutu dan Standardisasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pengembangan Hasil Pertanian Kementrian Pertanian, Gardjita Budi, Senin (15/4/2013), kandungan aflatoksin pala Indonesia lebih tinggi dari rekomendasi Uni Eropa.
Berdasarkan uji mutu standar nasional, pala Indonesia terkontaminasi aflatoksin dalam jumlah melebihi batas maksimum yang ditetapkan yaitu 5 ppm untuk aflatoksin B1 dan 10 ppm untuk aflatoksin tota). Aflatoksin merupakan senyawa racun yang dihasilkan Mikotoxin aspergillus dan bersifat karsinogenik.
Terkait kandungan aflatoksin dalam pala Indonesia, Uni Eropa telah menetapkan Regulasi Uni Eropa Nomor 2016/24 yang diberlakukan sejak 2 Februari 2016. Regulasi tersebut mewajibkan ekspor pala Indonesia dilengkapi dengan health certificate yang dikeluarkan oleh Otoritas Kompeten di Indonesia dan melampirkan Certificate of Analysis (CoA) kandungan cemaran aflatoksin yang memenuhi persyaratan Uni Eropa.
Menyelesaikan masalah ekspor pala bukanlah hal yang mudah. Kerja sama antara pemerintah dan masyarakat khususnya petani pala sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas pala Indonesia.
Upaya yang harus dilakukan pemerintah yaitu memperbaiki kualitas pala dengan cara menyosialisasikan Good Agricultural Practices (GAP), sistem sertifikasi praktik budidaya tanaman sesuai standar, serta cara produksi pertanian menggunakan teknologi maju, ramah lingkungan, dan berkelanjutan untuk menghasilkan produk aman konsumsi.
Upaya pemerintah ini membutuhkan pendekatan kultural agar petani pala mudah memahami penjelasan dari pemerintah. Berbagai upaya harus terus dilakukan demi mengembalikan kejayaan rempah Indonesia di pasar global. (BB-DIO-AB)