Menjawab Delusi COVID-19 dengan ‘Islamization of Economy’ (Bagian I)

Oleh : Teuku Fajar Shadiq (Dosen Universitas Islam Syekh-Yusuf)
Pandemi Virus Corona menjadi persoalan global yang mesti dihadapi oleh pelbagai pemerintahan di berbagai negara untuk menekan dan menurunkan berjatuhannya korban yang mesti dirawat secara intensif hingga berjuang agar para korban tidak menghadapi kematian.
Secara global mencatat jumlah korban meninggal telah melebihi 10 ribu orang. Korban berjatuhan bukan hanya para warga sipil, namun para pejuang kesehatan (tenaga medis). Mulai dari dokter hingga perawat di rumah sakit terjangkit dari pasien yang dirawatnya.
Hal ini menjadikan keprihatinan sangat mendalam dan bila hal ini tidak diantisipasi dengan cepat, maka berpotensi terjadinya ‘full occupancy’ di berbagai rumah sakit akibat tidak mampu menampung jumlah suspect corona, seperti halnya terjadi di Italia yang dilansir oleh AFP (Agence France-Presse) kantor berita yang berpusat di Paris.
Pada laman International Updates detiknews (19/02/2020) data yang di rilis pada minggu ketiga Maret disampaikan bahwa total korban meninggal akibat virus Corona mencapai 3.405 orang.
Angka kematian di wilayah China daratan mencapai 3.245 orang, dimana wabah ini pertama kali berpusat di Kota Wuhan. Hal ini yang mengakibatkan pemerintah Italia mengambil kebijakan untuk meminta secara khusus Pemerintah China memobilisasi ahli kesehatan dalam menangani pandemi Covid-19 di negaranya.
Sejalan dengan statement (WHO (World Health Organization) menyatakan bahwa Covid-19 sebagai pandemi global, Presiden Jokowi menghimbau kepada seluruh masyarakat, agar melangsungkan kegiatan, belajar, bekerja, dan beribadah dari rumah masing-masing.
Himbauan ini ditindaklanjuti oleh para pemimpin daerah seperti Gubernur DKI Anies Baswedan mengimbau warga untuk terus melakukan social distancing atau mengatur jarak aman untuk mencegah penyebaran virus Corona serta mengharuskan semua pihak melaksanakannya secara disiplin. Begitu pula halnya Walikota Tangerang Arief Wismansyah melakukan kebijakan yang sama.
Ekonomi Domestik
Ekses negatif dari sisi ekonomi yang juga harus dihadapi sejalan dengan pandemi global Covid-19 adalah terjadinya turunnya harga-harga komoditi dunia seperti halnya Crude Oil (minyak mentah) Brent yang menjadi acuan harga Indonesian Crude Price (ICP) terjerab ke level psikologis US$ 30 per barel dalam sepekan terakhir. Sedangkan asumsi makro pada APBN 2020 kita ditetapkan US$ 60 per barel.
Bila mencermati pergerakan angka tersebut memang subsidi bahan bakar minyak menjadi turun, namun disisi lain memberi dampak negatif, khususnya pada kinerja ekspor yaitu, dengan turunnya harga kelapa sawit dan batubara sehingga asumsi penerimaan negara melalui PNBP akan terbawa turun dan hal ini berpotensi membawa pada resesi ekonomi.
Indikator lain dari sisi moneter adalah harga saham gloomy untuk tidak dikatakan anjlok terkulai lemah keposisi di bawah 5000. Investor akan menempatkan dananya pada sektor yang relatif aman akibat sentimen Covid-19. Pemerintah diharapkan mengeluarkan kebijakan fiskal yang reformis, tujuannya untuk memastikan tidak ada perlemahan daya beli masyarakat.
Kebijakan di lakukan Menteri Keuangan dengan adanya Insentif berupa penghapusan sementara Pajak Penghasilan (PPh) Badan Usaha Mikro Kecil Menengah, relaksasi bea masuk, penurunan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPn), dan subsidi pajak serta upaya pemerintah untuk memberikan subsidi pajak dalam bentuk insentif PPh Pasal 21, sehingga pendapatan karyawan utuh tidak terkurangi dan mampu memenuhi sisi konsumsi.
Struktur APBN hematnya di revisi, fokus pada sektor kesehatan dan makanan, mengingat pandemi ini belum dapat di pastikan kapan akan berakhir. Pemerintah semestinya juga fokus untuk menggenjot sektor pertanian seperti sub-sektor tanaman hortikultura untuk menekan impor sekaligus menyongsong swasembada agar sub-sektor ini kedepan dapat menjadi kontributor PDB.
Global Chain
Fenomena pandemi Covid-19 menurut Lembaga riset dan “Market Intellegence Trendforce” yang berkedudukan di Taiwan mempengaruhi berbagai sektor industri. Mereka merilis data bahwa industri smart phone di China sebagai sub-sektorindustri telekomunikasi mengalami penurunan angka produksi, dimana kuartal I-2020 hanya mencapai 275 juta unit atau turun 12% dibandingkan kuartal I-2018 sebanyak 310 juta unit.
Terjadinya kontraksi industri di China akan mempengaruhi ekspor yang diakibatkan berkurangnya jumlah produksi dan berdampak terganggunya rantai pasok dunia dan juga Indonesia sebagai salah satu konsumen terbesar produk China.
Industri mulai terancam pasokan bahan baku mulai terganggu (global supply shock), ketergantungan bahan baku utama dari China cukup besar. Pemerintah mengeluarkan kebijakan relaksasi fiskal berupa kemudahan dalam ekspor dan impor utamanya tentang perizinan menjaga kelangkaan bahan baku.
Walaupun hal ini tentu saja harus diimbangi dengan terobosan untuk mencari mitra baru negara lain yang memasok barang sejenis yang tentu saja mengancam beberapa hal seperti kenaikan harga jual serta eksistensi para karyawan yang terancam PHK karena Pengusaha tidak sanggup lagi menutup biaya produksi dengan upah yang harus di keluarkan. (bersambung)