BERITABETA, Jakarta – Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mengatakan insiden peluru nyasar yang menembus ruangan kerja anggota Fraksi Partai Gerindra Wenny Warouw di lantai 16 gedung Nusantara I kompleks parlemen dan ruangan anggota DPR Fraksi Partai Golkar Bambang Heri di lantai 13 pada Senin (15/10/2018) siang itu diduga sebagai mesin pengalihan isu.

“Kemudian ada pertanyaan, tentang penembakan, jadi saya pengen cari tahu juga, kenapa ini bisa menjadi agak ramai, ya saya ga tahu mungkin ada mesin pengalihan isu, atau apa, itu yang membuat saya bertanya, apa sebabnya,” kata Fahri di Parlemen Senayan, Selasa, (16/10/2018).

Fahri lantas berkata hubungan antara lembaga parlemen dengan senjata itu memang panjang ceritanya, karena itulah kemudian abad ke-13 di Inggris lahir peraturan yang melarang ruang parlemen atau lembaga parlemen ada persenjataan.

“Makanya saya dulu pernah mengusir Brimob dari sini gara-gara bersenjata , salah satunya karena itu pernah kita rapatkan dulu dengan Kapolri itu nggak boleh itu,” ungkapnya.

Fahri menuturkan DPR merupakan simbol dari kata-kata, tempat orang berbicara, tempat orang berpikir, tidak boleh sama sekali ada alat atau simbol simbol tekanan kepada kebebasan untuk menyatakan pendapat.

Bahkan, lanjutnya, para anggota DPR itu, kata-katanya yang oleh negara melalui konstitusi dan UU dijadikan berdaulat atau berwibawa. Jadi, menurut Fahri, komentar dari anggota DPR itu dilindungi oleh UU, tidak boleh dikriminalisasi.

“Makanya saya termasuk yang menolak adanya gambar Presiden dan Wakil Presiden di DPR. Kenapa, karena dua orang itu simbol dari kuasa, mereka itu punya tentara, punya polisi, punya alat alat mobilisasi, yang kita apa namanya copot dari lembaga ini supaya hubungan antara lembaga ini dengan alat alat penekan itu tidak boleh ada,” tandas Fahri Hamzah.

Dalam kasus ini Polisi menetapkan dua orang pelaku yang berinisial IAW dan RMY. Kedua tersangka itu merupakan PNS Kementerian Perhubungan (Kemenhub).

Atas perbuatannya tersangka dijerat dengan Pasal 1 ayat (1) UU Darurat No 12 Tahun 1951 dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara. (BB/ADIS)