BERITABETA.COM, Ambon  – Keberadaannya sebagai biota laut nyaris tidak pernah diketahui manfaatnya oleh manusia.

Ternyata lewat proses panjang yang kini tengah dilakukan oleh  peneliti dari LIPI Ambon Pipit Pitriana, potensi teritip atau hewan bercangkang (tiram) yang kerap menempel di bebatuan itu mulai terkuak.

Lalu apa yang ditemukan alumnus  S2-Biologi ITB Bandung itu?

Dari hasil penelitian yang kini dikembangkan, salah satu jenis teritip yang sekarang sedang giat diteliti di Jerman dan Austria adalah dosima fascicularis yang terkenal sebagai superglue (lem) laut karena sekretnya yang sangat kuat.

Teritip yang juga dikenal sebagai teritip pelampung dengan struktur selnya yang berpori ini juga berpotensi untuk digunakan dalam bidang kedokteran dan teknik, misalnya sebagai schock absorber atau model perkembangan sel.

Di Pusat Biodiversitas Museum Ilmu Alam Berlin, Pipit tengah meneliti teritip Indonesia untuk membuat sebuah database yang bisa menjadi landasan untuk mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki organisme laut ini, misalnya sebagai lem alami atau indikator perubahan iklim.

Semenjak bertugas di LIPI Ambon, Pipit sudah tertarik dengan teritip dan mengumpulkan sampel-sampel untuk penelitiannya di pulau Ambon, Seram, Saparua, Banda, Pumbo.

Dengan sekret yang sangat lengket, teritip dewasa menempel ke segala permukaan dan menetap disana seumur hidupnya. Sekret lengket ini adalah lem alami yang terkuat di dunia dan berpotensi untuk digunakan dalam kedokteran gigi.

“Kalau kita sudah punya database lengkap, kita bisa tahu jenis-jenis teritip apa saja yang kita punya di Indonesia dan setiap jenisnya itu kita bisa teliti terkait kegunaannya, kerugiannya, atau apa potensi yang dimiliki per spesies itu,” jelas peneliti yang di Indonesia bertugas di LIPI Ambon.

Pipit Pitriana mengungkap potensi Teritip lewat akun Instagramnya

Pipit membawa ribuan sampel teritip yang diawetkan di alkohol. Sampel-sampel itu  memenuhi ruang kerjanya di Museum Ilmu Alam di pusat kota Berlin.

Satu per satu, teritip ini diteliti dari segi morfologi, filogeografi, populasi genetik, ekologi dan molekular DNA oleh pakar biologi laut asal Bandung yang sedang mengambil S3 di bidang taksonomi integratif ini. 

Teritip adalah hewan dari kelompok udang-udangan (crustasea) yang sering dianggap sebagai anggota kelompok kerang-kerangan (mollusca), karena memiliki cangkang yang keras.

Dalam tahap larva, teritip hidup bebas di perairan laut dan pada tahap dewasa menjadi organisme sesil yang menempel di berbagai permukaan keras dan menetap disana sesisa hidupnya. Di perairan dangkal teritip banyak ditemukan menempel di bebatuan, tiang-tiang dermaga, atau badan kapal.

“Karena menempel di tempat-tempat yang tidak diinginkan, teritip paling terkenal sebagai biofouling. Tetapi kegunaan dari teritip itu sendiri banyak dan banyak orang yang tidak tahu, karena itulah penting penelitian di bidang teritip itu sendiri. Dan data teritip di Indonesia belum ada sama sekali.” ujar Pipit Pitriana dikutip dari dw.com.

Sejak tahun 2012 Pusat Keanekaragaman Hayati Museum Ilmu Alam Berlin atau Zentrum für integrative Biodiversitätsentdeckung bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk meneliti keangekaragaman hayati di seluruh Indonesia dengan tujuan mencari kemungkinan untuk memanfaatkan kekayaan sumber daya hayati secara berkelanjutan.

Disini penelitian Pipit Pitriana berfokus terhadap taksonomi integratif dan sistematik teritip di Kepualaun Maluku yang merupakan salah satu hotspot biodiversitas dunia.

Dalam menyusun taksonomi integratif dan sistematik teritip, Pipit memulai penelitian dengan melakukan observasi detil terhadap morfologi teritip yang terdiri dari cangkang dan bagian tubuh lunak seperti umbai dan bentuk mulut, yang merupakan karakter kunci dalam menentukan jenis teritip.

Observasi ini dilakukan menggunakan mikroskop cahaya dan mikroskop stereo. Tidak seperti dalam ilmu taksonomi tradisional, taksonomi integratif juga melibatkan analisis molekular DNA untuk membentuk filogeni atau pohon kekerabatan.

“Analisa DNA berguna karena karena selain mengetahui kekerabatan dari jenis-jenis teritip itu sendiri, kita juga bisa mengetahui asal muasal teritip itu sendiri. Misalnya spesies tertentu hanya ada di suatu daerah, maka itu bisa menjadi dasar agar daerah itu dijadikan daerah konservasi atau daerah yang wajib dilindungi oleh pemerintah,” ujar Pipit Pitriana.

Dari 2000 sampel dari Kepulauan Maluku yang diteliti Pipit sejak awal tahun 2018, sampai sekarang sudah ditemukan lebih dari 100 jenis teritip berbeda, seperti Yamaguchiella coerulescens, Chthamalus moro dan Lepas anserifera.

23 diantara jenis yang sudah ditemukan adalah spesies yang baru pertama kali tercatat di Kepulauan Maluku.  Penelitian taksonomi yang merupakan dasar ilmu biologi ini juga bertujuan untuk memberi manfaat bagi sektor-sektor lain seperti industri, teknik dan kedokteran.

Dengan melibatkan kajian biogeografi, hewan kosmopolit ini nantinya juga bisa dijadikan indikator perubahan iklim global.

“Teritip bisa hidup dimanapun, dari arktik sampai tropis, dari dingin sampai panas, dari laut dangkal sampai laut dalam, teritip juga bisa menjadi indikator perubahan iklim,” ujar Pipit.

“Jika jenis teritip yang biasanya hidup di iklim dingin ditemukan di daerah beriklim hangat, ini merupakan indikasi bahwa daerah tersebut mungkin terkena dampak dari pemanasan global,” sambungnya.

Dengan perairan Kepulauan Maluku yang sangat jernih, Pipit juga melihat potensi teritip Indonesia Timur untuk dibudidayakan sebagai bahan makanan eksotis yang nantinya bisa diekspor, seperti yang sudah dilakukan oleh Jepang dan Korea.

Penelitian lebih lanjut terkait pencegahan menempelnya teritip di berbagai permukaan juga bisa membantu dalam kesuksesan penanaman pohon bakau, yang selama ini banyak terganggu karena teritip yang menempel di akar-akar tanaman bakau muda.

“Jika kita mengenal organisme yang kita punya, maka kita pun dapat mengetahui kegunaan atau potensi makhluk hidup tersebut sekarang atau di masa depan,” ujar Pipit Pitriana.

Pipit merupakan salah satu ahli taksonomi dan sistematik di Indonesia. Ilmuan di bidang masih sangat sedikit.

“Jika saya kembali bertugas di Indonesia, saya ingin membagikan ilmu taksonomi yang saya dapatkan disini dan saya berharap di masa mendatang akan muncul ahli-ahli taksonomi dari Indonesia dan menguasai hewan, tumbuhan, dan semua makhluk hidup yang ada di Indonesia,” tutupnya (BB-DIO)