BERITABETA.COM, Ambon – Pemerintah melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) diminta untuk meninjau ulang kebijakan pengelolaan laut laut di atas 12 mil, sebagaimana diatur Undang –Undang (UU) No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Desakan ini disampaikan politisi PKS Maluku yang juga Anggota DPR RI Komisi IV, Saadiah Uluputty, ST dalam Musrenbang Provinsi Maluku yang juga dihadiri langsung perwakilan Bappenas.

Uluputty menegaskan, kebijakan yang ditetapkan melalui Undang –Undang (UU) No. 23 Tahun 2014  itu, telah merugikan Maluku sebagai daerah penghasil aneka potensi laut.

“Maluku memiliki kekayaan alam luar biasa, khususnya di sektor perikanan, karena 92,6% wilayahnya adalah laut. Namun, realitasnya Maluku justru tetap berada di posisi keempat termiskin nasional berdasarkan data BPS,” tegas Uluputty.

Wakil rakyat Maluku di Senayan ini mengurai, akar masalah kemiskinan yang terus terjadi ini,  salah satunya terletak pada kewenangan yang membatasi pengelolaan laut di atas 12 mil.

“Secara faktual, laut itu ada di Maluku, tapi yang mengelola pusat. Kita dapat bagi hasil 20 persen, sementara 80 persennya dibagi ke seluruh kabupaten di Indonesia, termasuk yang tidak punya laut. Ini seperti ada yang janggal,” ungkapnya.

Saadiah juga menyoroti tidak adanya formula khusus bagi hasil sektor perikanan sebagaimana sektor kehutanan atau pertambangan.

Hal ini memperparah kesenjangan karena masyarakat pesisir Maluku tidak merasakan manfaat optimal dari kekayaan alam mereka.

Kondisi ini diperparah dengan tidak ada satu pun industri pengolahan perikanan di Maluku,  melainkan hasil tangkapan semua dikirim ke Bitung.

Pelabuhan perikanan skala besar pun tidak tersedia, padahal ada tiga Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) di Maluku.

“Kalau bicara hilirisasi, ya kita tertinggal jauh. Tidak ada industri, tidak ada dermaga samudra, padahal potensi besar itu ada di tangan kita,” tegasnya.

Saadiah juga mengangkat persoalan kehutanan, khususnya terkait kawasan konservasi dan hutan adat.

Ia mengingatkan bahwa masyarakat adat yang hidup di kawasan hutan justru semakin terpinggirkan karena belum ada pengakuan resmi negara, padahal Mahkamah Konstitusi sudah menetapkan bahwa hutan adat bukanlah hutan negara.

“Selama kebijakan struktural ini tidak berubah, jangan harap rakyat Maluku bisa hidup layak,” ujarnya lantang.

Saadiah menitipkan harapan besar kepada perwakilan Bappenas agar aspirasi ini dibawa hingga rapat Badan Anggaran DPR RI mendatang.

“Bapak dari Bappenas hadir di sini adalah momentum penting agar kita bisa menemukan akar persoalan, supaya ke depan Maluku tidak lagi hanya menjadi penonton atas kekayaan alamnya sendiri,” pungkasnya (*)

Editor : dhino.p