Oleh : Novita Irma Diana Magrib, ST. MT. IPM (Akademisi UKIM Ambon)

PADA akhir abad ke-18 antara tahun 1750-1850, terjadi peralihan dalam penggunaan tenaga kerja di Inggris yang sebelumnya menggunakan tenaga hewan dan manusia, berganti dengan penggunaan mesin yang berbasis manufaktur akibat penemuan mesin uap oleh James Watt yang sangat fenomenal.

Inilah “embrio” revolusi industri pertama atau revolusi industri 1.0. Hampir selama dua abad setelah Revolusi Industri saat itu, rata-rata pendapatan perkapita negara-negara di dunia meningkat lebih dari enam kali lipat. Kemudian revolusi industri kedua atau revolusi industri 2.0 ditandai dengan ditemukannya tenaga listrik, yang merubah peradaban dan kesejahteraan manusia. Revolusi ini juga dikenal dengan revolusi teknologi, sebuah fase pesatnya industriliasasi di akhir abad ke -19 dan awal abad ke-20.

Selanjutnya pada era revolusi industri ketiga atau revolusi industri 3.0 pada tahun 1970 sampai dengan tahun 1990-an membawa`perubahan besar dengan adanya otomatisasi pada pabrik-pabrik manufakturing juga farmasi hingga saat ini. Revolusi industri 3.0 juga dikenal dengan nama revolusi digital karena waktu dan ruang tidak lagi berjarak.

Kini kita berada di zaman Revolusi Industri 4.0, suatu masa yang menjadi trending topic perbincangan para pelaku industri saat ini.  Revolusi industri ini merubah atmosfir interaksi antara manusia dengan manusia dan antara manusia dengan alat produksi. Perubahan pola interaksi ini mencakup segala aspek kehidupan bermasyarakat baik dari aspek sosial, ekonomi, hukum, politik dan budaya serta keamanan.

Revolusi Industri 4.0 ini menerapkan konsep automatisasi yang dilakukan oleh mesin tanpa memerlukan tenaga manusia dalam pengaplikasiannya sehingga hasil pekerjaan menjadi  efektif dan efisien. Fase perubahan pada` Revolusi Industri 4.0. secara umum berkaitan dengan otomatisasi dan pertukaran data dalam teknologi pabrik, robotic dan artificial intelligence, yang pada akhirnya menghasilkan “Smart Process”.

Di dalam Smart Process tersusun moduler, algoritma, sistem cyber-fisik mengawasi proses fisik, menciptakan salinan dunia fisik secara virtual, dan membuat keputusan secara desentralisasi    Penerapan Revolusi Industri 4.0 di pabrik-pabrik saat ini dikenal dengan istilah Smart Factory.

Secara singkat, pelaku industri yang mengimplementasikan tekhnologi 4.0. membiarkan komputer saling terhubung dan berkomunikasi satu sama lain untuk akhirnya membuat keputusan tanpa keterlibatan manusia. Kombinasi dari sistem physic-cyber, Internet of Things (IoT), dan Internet of Systems membuat Industri berteknologi 4.0 menjadi mungkin, serta membuat pabrik pintar menjadi kenyataan.

Revolusi industri 4.0 dicetuskan oleh  sekelompok perwakilan ahli berbagai bidang asal Jerman, pada tahun 2011 di acara Hannover Trade Fair. Hasil penelitian mereka sampai pada sebuah konklusi bahwa industri dunia harus memasuki inovasi baru agar produksi lebih pesat dihasilkan. Pemerintah Jerman menganggap serius gagasan ini dan tidak lama kemudian menjadikan gagasan ini sebuah gagasan resmi.

Setelah resminya gagasan ini maka pemerintah Jerman membentuk kelompok khusus untuk membahas implementasi pola Industri 4.0. Pada era 2015, Angella Markel mengenalkan gagasan Revolusi Industri 4.0 di acara World Economic Forum (WEF). Jerman sendiri menggelintirkan modal sebesar €200 juta untuk menyokong akademisi, pemerintah, dan pebisnis untuk melakukan penelitian lintas akademik mengenai Revolusi Industri 4.0.

Amerika Serikat menyambutnya dengan membentuk Smart Manufacturing Leadership Coalition (SMLC), sebuah organisasi nirlaba yang terdiri dari produsen, pemasok, perusahaan teknologi, lembaga pemerintah, universitas dan laboratorium yang memiliki tujuan untuk memajukan cara berpikir di balik Revolusi Industri 4.0.

Indonesia saat ini mulai menggarap konsep Revolusi Industri 4.0 secara serius. Strategi Indonesia salah satunya, melalui Kementerian Perindustrian yang telah mencoba membuat sebuah roadmap bertajuk Making Indonesia 4.0. Sosialisasipun sudah dilakukan dibeberapa kesempatan, dan mengharapkan Indonesia mengikuti trend ini agar dapat bersaing dengan negara lain di bidang industri.

Revolusi Industri 4.0 merupakan upaya transformasi menuju perbaikan dengan mengintegrasikan dunia online dan lini produksi di industri, di mana semua proses produksi berjalan dengan internet sebagai penopang utama. Memasuki era globalisasi, otomatisasi, dan revolusi industri 4.0, disamping mengandung banyak hal positif, tentu dapat menimbulkan masalah baru diberbagai sektor, salah satunya yaitu sektor ketenagakerjaan.

Di tambah lagi dengan masuknya Indonesia ke dalam pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN, tentu akan menambah sengit persaingan. Karena itu, tenaga kerja Indonesia harus mampu meningkatkan dan mempertahankan posisi mereka agar sektor-sektor pekerjaan di Indonesia tidak dikuasi pihak asing, atau  bahkan bila perlu pekerja Indonesia harus menjadi kompetitor yang unggul pada dunia kerja di luar Indonesia. Karena itu, Indonesia harus mampu menjawab dan mengantisipasi segala peluang, tantangan dan hambatan yang muncul di era revolusi industri 4.0 ini.

Revolusi industri 4.0 memberi banyak tantangan transformasi ketenagakerjaan yang harus diantisipasi semua pihak. Tantangan transformasi ketenagakerjaan itu diantaranya adalah tantangan transformasi keterampilan, tantangan transformasi pekerjaan, dan tantangan transformasi masyarakat.

Oleh karena itu pekerja sebagai sumber daya manusia yang menghasilkan jasa, tentunya harus mampu menghadapi berbagai tranformasi ketenagakerjaan yang merupakan tantangan di era pasar bebas dan revolusi industri 4.0 ini.

Upaya untuk meningkatkan dan memperkuat posisi tenaga kerja Indonesia  baik itu di dalam negeri maupun di luar negeri, akses peningkatan kompetensi yang masif serta kehadiran negara melalui jaminan sosial yang mampu melindungi pekerjaan dan sumber pendapatan warga negaranya menjadi sangat krusial dalam menghadapi revolusi industri 4.0.

Selain itu, peran pemerintah juga sangat menentukan nasib para tenaga kerja di Indonesia. Pemerintah juga harus bekerja sama dengan dunia industri dalam mengantisipasi semua tantangan ketenagakerjaan yang muncul di era revolusi industri ini.

Pemerintah memiliki tugas melindungi tenaga kerja dan harus melakukan upaya agar tenaga kerja Indonesia menjadi kompetitor yang unggul dan kuat di dunia ketenagakerjaan pada era pasar global dan revolusi indusri 4.0, agar tidak tergantikan oleh tenaga kerja asing yang notabene memiliki kompetensi yang  baik.

Bentuk perlindungan pemerintah terhadap tenaga kerja Indonesia dapat  berupa kebijakan dan regulasi yang nantinya akan menjadi kaidah penuntun dan kaidah pelindung bagi tenaga kerja Indonesia juga pemerintah itu sendiri.

Kemajuan teknologi pada era Industri 4.0 ini tentu membawa perubahan yang sangat pesat pada pola pikir dan aktivitas secara keseluruhan. Respon terhadapnya harus dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan politik lokal maupun global, mulai dari sektor publik, swasta, akademisi, hingga masyarakat sipil, sehingga tantangan industri 4.0 dapat dikelola menjadi peluang.

Pemerintah disamping harus membuat regulasi dan kebijakan, juga harus mampu memastikan kompetensi sumber daya manusia sudah sesuai dengan kebutuhan pasar kerja dengan industri yang berbasis teknologi. Oleh karena itu kerjasama pemerintah dengan semua kementerian terkait juga dengan dunia industri dan pengusaha sangatlah penting dan dibutuhkan untuk mempertahankan dan meningkatkan posisi bargaining pekerja Indonesia baik di dalam maupun luar negeri.

Era industri 4.0., era perubahan yang menciptakan peluang, tantangan dan hambatan seluruh negara di dunia saat ini termasuk Indonesia. Masyarakat dan pemerintah harus mampu merespon perubahan tersebut secara terintegrasi dan komprehensif, demi perkembangan dan kemajuan industri modern berbasis teknologi informasi. Tak dapat dipungkiri bahwa revolusi 4.0 merupakan era baru teknologi industri.***