Hasrul Buamona, S.H., M.H (Advokat dan  Konsultan Hukum Kesehatan)

POLITIK hukum terkait pelayanan kesehatan di Indonesia, diatur dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945, berbunyi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Sekilas dari bunyi pasal di atas, bahwa pelayanan kesehatan bagian dari ‘hak’ yang sudah tentu tak bisa lepas dari konsep dan nilai-nilai fundamental hak asasi manusia itu sendiri.

Dalam ulasan yang singkat, penulis hendak membuka mata hukum pembaca sekalian bahwa terdapat titik masalah hukum dalam UU Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit (UU Rumah Sakit), yang setengah hati dalam memposisikan rumah sakit nirlaba, sehingga berpotensi rumah sakit nirlaba menjadi rumah sakit perseroan terbatas atau perseroan (Rumah Sakit PT).

Rumah sakit nirlaba yang dimaksud yakni rumah sakit swasta yang berbadan hukum yayasan dan perkumpulan yang diatur dalam UU No 16 Tahun 2001 dan UU No 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan dan terkait perkumpulan diatur dalam Permenkumham No 3 Tahun 2016 Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum Dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Perkumpulan.

Titik lemah sekaligus potensi berubahnya rumah sakit nirlaba menjadi rumah sakit PT, terdapat dalam Pasal 20 ayat (4) UU Rumah Sakit yang berbunyi “Rumah Sakit Publik yang dikelola Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana di maksud pada ayat (2) tidak dapat dialihkan menjadi rumah sakit privat.

“Selain itu, dalam Pasal 20 ayat (2) berbunyi “ Rumah Sakit Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba”.

Menjadi pertanyaan besar, mengapa pembentuk undang-undang tidak konsisten memasukan rumah sakit nirlaba sebagai rumah sakit publik yang tidak bisa dialihkan menjadi rumah sakit privat yang nota bene berbentuk perseroan terbatas  atau persero sesuai Pasal 21 UU Rumah Sakit, padahal dalam Pasal 20 ayat (2), rumah sakit nirlaba masuk dalam pengelolaan rumah sakit publik.

Melihat Pasal 20 ayat (4) UU Rumah Sakit di atas, jelas bahwa pembangunan rumah sakit Indonesia, telah sengaja di desain oleh pembentuk undang-undang untuk menjadi wadah industri dalam bidang perumah sakitan.

Selain itu, membuka peluang rumah sakit nirlaba akan tunduk pada UU Perseroan Terbatas, yang merupakan legitimasi dari persekutuan modal yang tujuannya bukan sebagai wadah sosial-kemanusiaan, namun mengutamakan keuntungan ekonomi sebagai wadah kapitalisme yang anti terhadap intervensi negara.

Bukankah dalam dunia pelayanan kesehatan, kehadiran negara harus aktif sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (3) UUD 1945, yang berbunyi “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.

Kalaupun negara membutuhkan partisipasi warga negara, menurut penulis secara konstitusional hanya yayasan dan perkumpulan yang sesuai dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.” Dan hal ini, telah dibuktikan dengan kehadiran rumah sakit Muhammadiyah, yang memiliki kontribusi sosial-kemanusiaan pada negara.

Maka melalui penulisan ini, penulis menghimbau untuk secara bersama-sama meninjau kembali dan melakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi, terhadap Pasal 20 ayat (4) UU Rumah Sakit, apakah telah sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan politik hukum nasional (***)