Stunting, Salmiah Pun Salah
Di kampung jika ada anak yang postur tubuhnya pendek dari anak-anak lainnya, sering dibilang KOTEL. Orang zaman itu kemudian memaklumi kondisi anak demikian dengan berasumsi bahwa mungkin karena pengaruh turunan (gen).
Ketika postur kedua orang tuanya terlihat kekar dan tinggi, kemudian ada pula asumsi lain, mungkin si anak mewarisi gen dari kakek, nenek atau moyangnya. Nah, seiring perkembangan zaman dan teknologi, KOTEL atau umumnya disebut KERDIL, lambat laun kini menjadi isu sentral. Istilah lain kemudian muncul yakni STUNTING.
Istilah STUNTING juga sempat menarik perhatian masyarakat setelah dibahas dalam Debat Calon Wakil Presiden, 17 Maret lalu. Masing-masing kandidat memaparkan strategi penanganan yang bakal diambil bila kelak menang.
Uniknya, dimasa bernama KOTEL atau KERDIL sepertinya tidak terlalu menjadi perhatian. Mungkin kerana perkembangan teknologi belum terlalu maju, sehingga wajar jika kemudian keberadaannya diamini sebagai warisan gen. Padahal, saat ini STUNTING dan masuk katagori penyakit yang sudah menjadi perhatian dunia.
Kalau direnungi ternyata sejak dulu teman-teman yang punya postur tubuh pendek itu karena sakit. Tapi juga aneh kenapa di kampung saya disebut KOTEL? Istilahnya cukup menyepelakan, karena setelah dicari-cari kesamaannya lewat Mr. Google tidak ditemukan kata serupa yang mencerminkan arti sebenarnya. Sebab, biasanya ada adopsi Bahasa Belanda yang dipakai semisal kadera (kursi) dan borot (roti) dan lainnya.
Hanya ada satu bocoran dari Mr. Google yang menyebutkan KOTEL adalah nama yang dipakai untuk jenis makanan khas Besuki (Situbondo). Ohh, mungkin karena diamine oleh generasi itu akhirnya namanya juga sama seperti makanan ini, weehh cilaka.
Ternyata bukan saja orang awam seperti kita yang punya asumsi yang sama. Petugas kesehatan pun ada yang demikian. Seperti yang dialami Salmiah.
Salmiah yang sejak tahun 2000 bekerja sebagai petugas Posyandu di Batukliang, Lombok Tengah, mengira ia sudah mengetahui semua yang diperlukan terkait pertumbuhan anak. Ibu tiga anak itu terpukul ketika anak perempuannya yang berusia dua tahun tumbuh kurang sehat.
“Akibat kurangnya asupan makanan sehat saat saya hamil, anak saya lahir dengan bobot kurang, dan pada usia dua tahun dia terkena stunting,” ujar Salmiah..
Derita Salmiah inilah yang kini membuka mata kita, tentang apa itu STUNTING. Ternyata, KOTEL, KERDIL atau STUNTING adalah gagalnya seseorang mencapai potensi pertumbahnnya, disebabkan oleh malnutrisi kronis dan sakit berulang saat masih anak-anak. Kondisi ini dapat secara permanen membatasi kapasitas fisik dan kognitif anak-anak, dan menyebabkan kerusakan seumur hidup. Hampir seperempat balita di seluruh dunia mengalami stunting.
Angka STUNTING di Indonesia ada pada tahap mengkhawatirkan. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, 37% anak berumur di bawah lima tahun di Indonesia, atau hampir sembilan juta anak, mengalami STUNTING.
Pada tahun 2017, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyerukan perlunya pengembangan Strategi Nasional Percepatan Pencegahan STUNTING. Strategi ini, yang didukung oleh Bank Dunia, dibuat berdasarkan pembelajaran di Indonesia dan global, terutama keberhasilan Peru menurunkan tingkat STUNTING menjadi setengah hanya dalam tujuh tahun.
Komitmen nasional tersebut akan memerlukan kerjasama lebih kuat di antara para pemangku kepentingan.
“Stunting merupakan masalah bersama,” kata Nila Moeloek, Menteri Kesehatan. “Perlu kerjasama lebih baik antara lembaga pemerintah di tingkat nasional dan daerah. Juga dengan sektor swasta, organisasi masyarakat, dan akademisi.”
Menurut UNICEF, stunting didefinisikan sebagai persentase anak-anak usia 0 sampai 59 bulan, dengan tinggi di bawah minus (stunting sedang dan berat) dan minus tiga (stunting kronis) diukur dari standar pertumbuhan anak keluaran WHO. Selain pertumbuhan terhambat, stunting juga dikaitkan dengan perkembangan otak yang tidak maksimal, yang menyebabkan kemampuan mental dan belajar yang kurang, serta prestasi sekolah yang buruk.
Lalu bagaimana dengan Maluku? Ternyata, Maluku menjadi satu diantara daerah yang masuk kategori penderita STUNTING cukup tinggi di Indonesia. Kategori ini ditentukan berdasarkan standar yang ditetapkan World Health Organization (WHO).
Pemantauan Status Gizi (PSG) tentang prevalensi (jumlah penderita dalam populasi ) balita STUNTING di Provinsi Maluku pada tahun 2016 yang mencapai angka 29 % dan tahun 2017 meningkat menjadi 30 %.
Belum diketahui angka pastinya, namun yang dipakai adalah pendekatan prevalensi. Dan dari 11 kabupaten/kota yang ada di Maluku, terdapat sebanyak tiga kabupaten yang menjadi lokasi fokus penanganan STUNTING di tahun 2018 dan 2019, masing-masing, Kabupaten Maluku Tengah, Seram Bagian Barat dan Kabupaten Kepulauan Aru.
Sedangkan untuk tahun 2020, telah ditargetkan pula tiga kabupaten yang akan menjadi lokasi fokus penanganan stunting yakni, Kabupaten Seram Bagian Timur, Kabupaten Maluku Barat Daya dan Kabupaten Maluku Tenggara.
Dan dalam rangka pencegahan STUNTING di Maluku, Dinkes Provinsi Maluku pada tanggal 26 Juni 2019 mendatang akan menggelar kegiatan Sosialisasi Pencegahan Stunting di Provinsi Maluku.
Temanya juga unik pakai Bahasa Ambon “Potong Pele Stunting”. Kegiatan ini akan melibatkan sebanyak 500 orang peserta yang terdiri dari, pengurus PKK Provinsi Maluku, pengurus PKK 11 kabupaten/kota, pimpinan SKPD Provinsi Maluku, Pengurus Persit, Pengurus Bhayangkari, Organisasi Profesi, Badan Usaha, Akademisi dan media massa.
Dan pada kesempatan itu, ada pula penganugerahan Duta Parenting (Duta Perangi Stunting) yang akan disematkan kepada Ibu Widya Murad Ismail (Ketua PKK Provinsi Maluku) sebagai wujud komitmen dan partisipasi dalam meningkatkan kesadaran publik menuju perubahan perilaku masyarakat dalam Maluku mencegah STUNTING. Pendeknya biar tidak anggap enteng KOTEL dengan otak KOTEL. (***)