Oleh : Azrul Baranratut (Devisi Komunikasi Publik AMPUN-E)

PEREKONOMIAN global tahun 2020 tengah diselimuti awan mendung. Sekurang-kurangnya sudah ada lima negara yang secara resmi mengumumkan dirinya masuk dalam jurang resesi – Jerman, Amerika Serikat, Singapura, Korea Selatan, dan Hong Kong. Dengan diterpanya negara-negara tersebut oleh resesi, terdapat kemungkinan akan terjadi dampak berantai (multiplier effect).

Untuk Indonesia sendiri sebenarnya tengah berada dalam bayang-bayang resesi. Dalam laporan terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bila output perekonomian nasional atau Produk Domestik Bruto (PDB) di kuartal ke II-2020 mengalami kontraksi alias pertumbuhan negatif minus 5,3 persen.

Sedangkan di kuartal I-2020 perekonomian nasional tumbuh minus 2,41 persen. Merujuk pada data tersebut, sebetulnya menandaskan jika Indonesia tengah masuk dalam fase resesi tekhnikal (technical recession).

Bila mencermati wacana publik yang berkembang sejak beberapa bulan – bahkan tahun – terakhir, nyatanya sejumlah ekonom kawakan seperti Rizal Ramli dan Ichsanudin Noorsy, sudah mengingatkan akan kemungkinan perekonomian di bumi archipelago cenderung rentan terhadap resesi.

Lebih-lebih status negara ekor ular yang hendak di sandang Indonesia, pastinya di determinasi oleh faktor eksternal sejauh fondasi ekonomi di internal cenderung lemah.

Dalam laporan BPS di kuartal ke II 2020, memang Maluku dan Papua mencatat pertumbuhan positif sebesar 2,36 persen. Tentunya hasil positif ini patut di apresiasi.

Kendati demikian tetap saja pemerintah pusat dan daerah, utamanya pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara, hendak perlu mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan multiplier effect di tengah awan mendung yang masih menyelimuti dan/atau melintasi perekonomian nasional.

Dengan mencermati realitas objektif kondisi perekonomian nasional dan lokal yang berpotensi terjun ke dalam resesi. Pemerintah pusat perlu kiranya memikirkan opsi memperluas subsidi bagi masyarakat rentan, sedangkan pemerintah daerah perlu merumuskan kebijakan taktis yang mengatur mekanisme penyaluran bantuan sosial yang berkeadilan.

Selain dari pada itu, sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) hendaknya diberikan insentif dalam rangka memperkuat fondasi ekonomi lokal maupun nasional.

Kalau berkaca terhadap sejarah ketika resesi datang menghantam perekonomian negara, seperti kasus 1997 dan 2008. Sesungguhnya UKM dan UMKM-lah yang selalu menjadi penyelamat ketika ekonomi dalam keadaan sulit. Oleh karenanya UKM dan UMKM tidak boleh di nomor duakan, apalagi dalam kondisi genting sekarang ini.

Dalam konteks Kabupaten Maluku Tenggara, dari pengamatan kami komunitas AMPUN-E (Angkatan Pemuda Membangun Evav), perekonomian setempat cenderung didominasi oleh UKM dan UMKM. Sekaligus menempatkan dua entitas ini sebagai tulang punggung ekonomi di Kabupaten Malra.

Program bantuan sosial yang dicanangkan pemerintah pusat, semestinya bisa digunakan secara instrumental menggerakkan dan menghidupkan ekonomi Malra di tengah badai Covid-19.

Ini menegaskan jika penyaluran bantuan sosial tidak bisa di monopoli hanya oleh segelintir pelaku usaha yang notabene mempunyai akses terhadap modal dan kekuasaan. Tujuannya agar aliran dana bantuan sosial dapat mengalir ke semua pelaku usaha, tanpa terkecuali.

Selain itu mekanisme penyaluran bantuan sosial di Malra, khususnya Kei Besar, semestinya di salurkan secara langsung melalui Bank Cabang terkait, bukan melalui pihak ketiga: pemakai Bank Link yang notabene akan melakukan pemotongan yang tidak semestinya. Tujuan dari ini adalah masyarakat yang menerima bantuan sosial seperti PKH mendapatkan uangnya tanpa ada pemotongan.

Yang terakhir dan yang tidak kala pentingnya adalah kebijakan retribusi terhadap para pelaku usaha. Kami tidak menolak kebijakan ini, hanya saja waktunya yang tidak tepat.

Mengingat di tengah kondisi Covid-19 dan realisme objektif perekonomian nasional dan lokal yang tampak terpuruk, mayoritas pelaku usaha nyatanya mengalami kesulitan. Kalau kebijakan retribusi ini cenderung dipaksakan dalam kondisi perekonomian yang kurang baik jelas sangat berpotensi mendatangkan implikasi buruk bagi pertumbuhan usaha.

Untuk itu, kami dari Komunitas AMPUN-E mendorong supaya pemerintah Kab. Maluku Tenggara mengevaluasi kembali hal-hal tersebut. Untuk:

  1. Pemkab Maluku Tenggara perlu mengkaji ulang kebijakan retribusi yang tampaknya cenderung membebankan pelaku usaha di tengah kondisi Covid-19 dan ancaman akan resesi ekonomi.
  2. Pemkab Maluku Tenggara perlu mereformulasi mekanisme penyaluran bantuan sosial demi mencegah terjadinya monopoli oleh segelintir pelaku usaha yang memiliki akses terhadap modal dan kekuasaan.
  3. Pemkab Maluku Tenggara perlu menata kembali program PKH dimana masyarakat yang menerima bantuan tersebut mengambil langsung melalui bank-bank terkait, tidak melalui bank-bank link yang pada akhirnya akan mengenakan pemotongan yang tidak semestinya (***)