Agama-Agama dan Hidup Baru Normal
Oleh: Rudy Rahabeat (Pendeta di Maluku)
APA gunanya agama-agama jika ia tidak membawa maslahat bagi kemanusiaan? Akhir-akhir ini agama-agama makin diuji dan ditantang untuk menunjukan relevansinya di era yang sulit saat ini. Sebenarnya ini bukan hal baru bagi agama-agama. Sebab sejak awalnya agama lahir untuk mengatasi kesulitan. Atau dalam bahasa yang lebih positif, untuk menghadirkan kebaikan bagi semesta.
Tapi sejarah juga mencatat agama-agama kerap lalai bahkan gagal menjalankan misi suci itu, atau tepatnya orang beragama, terlebih pemimpin agama kadang tersandung dan jatuh. Mereka bisa takabur dan salah arah. Mengambil langkah yang terlambat atau terlalu terburu-buru. Atau terserah.
Misalnya, seorang pendeta di Amerika beberapa waktu lalu dengan begitu pongah menyatakan tidak takut kepada Covid- 19, lalu terus menjalankan ibadah bersama, lalu pada akhirnya ia mati karena virus itu.
Ini sama sekali bukan berarti agama tidak berarti sama sekali. Agama tetap berarti sepanjang tetap setia pada fitrahnya, pada elan vitalnya. Pertama, basis transcendental agama tetap perlu diperkuat.
Agama senantiasa terkoneksi dengan kuasa Ilahi, dan bukan manusia. Sehingga ketika umat beragama, termasuk pemimpin agama tidak sungguh-sungguh terkoneksi dengan Sang Ilahi dan hanya mengandalkan diri sendiri, maka besar kemungkinan ia telah salah arah.
Kedua, agama-agama mesti terus memberi respons dan tidak ikut-ikutan bilang terserah. Sebagai lembaga moral agama-agama mesti hadir memberi arah sekaligus solusi. Ini bukan berarti ia berjalan sendiri. Arah dan solusi itu bisa juga merupakan buah kolaborasi dan sinergi.
Sinergi antar agama, sinergi dengan pihak yang berkompeten (ahli medis), sinergi dengan negara (pemerintah) termasuk sinergi dengan masyarakat. Dengan begitu, agama-agama tidak berjalan sendiri, melainkan terbuka untuk dialog dan kerjasama dengan siapa saja demi kebaikan bersama.
Ketiga, agama-agama terus memperkuat harapan. Salah satu kerentanan saat ini adalah hilangnya harapan. Orang menjadi kalut, depresi dan putus asa. Sebab bencana kovid belum juga reda, sedangkan ada begitu banyak berita dan informasi berseliweran tumpang tindih. Fakta dan fiksi kadang bercampur. Dunia makin kalut dan panik. Dalam konteks ini agama-agama harus hadir memberi cahaya harapan. Agama-agama memberi pegangan agar dunia tidak hanya jauh ke absurditas dan fatalisme. Bukankah salah satu kekuatan agama-agama adalah energi harapan yang harus diaktivasi dalam cuaca ekstrim saat ini?
Akhirnya, agama-agama memberi penguatan kepada hidup baru normal bagi dunia yang menderita saat ini. Apa itu? Tetap memperhatikan protokoler medis agar umat manusia tetap imun dan aman, jug protokoler iman agar umat beriman bahkan umat manusia tetap kuat dan tangguh. Iman, aman dan imun adalah tripanggilan agama-agama saat ini.
Agama-agama tak boleh lengah apalagi pongah. Ia selalu rendah hati dan berkomitmen kuat untuk melaksanakan tripanggilan itu dengan sepenuh hati. Sanggupkah agama-agama menjalankan panggilan itu secara konsisten? Kita doakan dan beri dukungan. Salam sehat (***)