Antigen Bekas Kimia Farma Merusak Etik Moral Medis
Oleh : Dr. Hasrul Buamona,S.H.,M.H. (Advokat dan Pakar Hukum Kesehatan Universitas Widya Mataram Yogyakarta)
Kebijakan yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo sebagaimana yang termuat dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional, tidak lantas diikuti sikap bermoral dari oknum pegawai PT Kimia Farma Diagnostic.
Pemberitaan terakhir, tertanggal 16 Mei 2021, Menteri BUMN Erick Thohir melakukan pemecatan terhadap Adil Fadilah Bulqini dan Ilham Sabariman yang merupakan Direksi Utama dan Direksi Keuangan PT Kimia Farma Apotek.
Hal in disebabkan Polda Sumatera Utara melakukan penggerebekan rapid test antigen bekas yang dilakukan oleh oknum pegawai PT Kimia Farma Diagnostic di Bandara Kualanamu Sumatera Utara (kompas.com 16/05/2021 dan iNewsSumut.id 28/04/ 2021).
PT Kimia Farma Apotik yang sahamnya dikuasai BUMN PT Kimia Farma, sangat tidak patut melakukan tindakan tersebut, dikarenakan lahirnya BUMN itu sendiri bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum, sebagaimana yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945 dan Sila ke- 5 Pancasila,sehingga perbuatan tersebut jelas merugikan masyarakat.
Bukankah kehadiran BUMN untuk mencapai kesejahteraan sosial ?
Harus diketahui bahwa pelaksanaan “Rapid Test Antigen” masuk dalam pelayanan kesehatan. Dalam etik moral medis menyebutkan bahwa pelayanan kesehatan merupakan bagian dari prinsip hak asasi manusia, selain itu pelayanan kesehatan harus bertujuan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan untuk pembentukan sumber daya manusia bagi pembangunan nasonal.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1962 Tentang Lafal Sumpah Janji Apoteker, jelas mengatur bahwa “Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kefarmasian saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan”.
Selain itu, apabila melihat Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1960 Tentang Sumpah Dokter mengatur bahwa “Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan”.
Dari dua lafal sumpah profesi medis di atas, jelas bahwa “hukum perikemanusiaan adalah nilai etik moral medis tertinggi dalam dalam pelayanan kesehatan, yang tidak bisa digadaikan dengan nafsu meraih keuntungan ekonomi semata-mata.
Dalam dimensi hukum, ketika yang digunakan oknum Kimia Farma adalah rapid tes antigen bekas, maka secara hukum “Surat Hasil Pemeriksaan Rapid Test Antigen” tersebut juga tidak sah secara medis dan hukum.
Maka telah patut secara hukum, surat hasil pemeriksaan rapid test antigen tersebut, juga merupakan surat keterangan palsu,sehingga secara hukum oknum pegawai PT Kimia Farma Diagnostica tersebut dapat dipidana sesuai Pasal 267 KUHP atau Pasal 268 KUHP.
Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 menyebutkan “tujuan hadirnya BUMN adalah menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak”.
Menurut penulis, rapid test antigen bagian dari barang, sedangkan oknum pegawai bagian dari jasa medis, dan bermutu tinggi mengandung makna bahwa tidak dibenarkan menggunkan rapid tes antigen bekas.
Selanjutnya ketika berbicara hajat hidup orang banyak, rapid tes antigen bagian dari keadaan darurat Covid-19 yang ditetapkan sebagai Presiden sebagai bencana nasonal yang mana sangat dibutukan dalam setiap aktivitas masyarakat.
Dari sini, jelas tindakan oknum pegawai tersebut tidak sesuai dengan tujuan hadirnya BUMN.
Presiden Joko Widodo sebagai panggung jawab tertinggi hukum kemanusiaan dalam pelayanan kesehatan, sudah sepatutnya melakukan upaya proses hukum tidak hanya oknum pegawai, namun level pimpinanpun ataupun aktor intelektual harus dimintai pertanggungjawaban hukum pidana.
Selain itu penting juga melakukan pengawasan terhadap seluruh rumah sakit, klinik, apotik baik yang dimiliki pemerintah maupun swasta agar perbuatan amoral dan melawan hukum penggunaan antigen bekas tidak terulang kembali.
Saran penulis, alangkah baiknya rapid tes antigen ditiadakan saja, diganti dengan vaksinasi, agar masyarakat tidak terbebani secara ekonomi dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Joko Widodo (***)