BERITABETA.COM, Ambon –Kondisi serangan HIV/AIDS disebutkan ibarat fenomena ‘gunung es’ meski tidak tampak di permukaan dengan temuan kasus, namun potensi penderitanya cukup besar. Untuk itu, setiap ibu hamil diwajibkan untuk melakukan pemeriksaan darah.

“Jadi kalau ibu hamil yang datang berkunjung ke Puskesmas wajib diperiksa dengan pengambilan darah guna pemeriksaan yang bersangkutan apakah menderita HIV atau tidak,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Ambon Wendy Pelupessy di Ambon, Rabu (6/3/2019).

Wendy Pelupessy mengatakan, upaya ini dilakukan menyusul adanya  meningkatnya penderita HIV/AIDS sesuai data dari para pegawai kesehatan yang proaktif di lapangan.

Artinya, kalau ibu tersebut menderita HIV maka bisa dilakukan pengobatan teratur untuk memutus mata rantai dari ibu ke anak, sehingga pada saat anak yang dikandung itu dilahirkan tidak menderita HIV.

Ada teman-teman di Puskesmas yang bekerja sama dengan yayasan Pelangi untuk proaktif mencari dilapangan. Setiap bulan, katanya,  teman-teman turun ke lapangan atau lokasi yang berpotensi terjadinya HIV, kemudian ke kelompok-kelompok rawan, misalnya ke karaoke dan sebagainya, atau ke komunitas-komunitas seks lelaki, waria-waria di datangi.

“Kenapa kita harus proaktif, supaya kita bisa mendapat lebih dini, kalau yang bersangkutan dalam kondisi HIV bisa berobat lebih teratur tidak akan jatuh kedalam AIDS,” ujarnya.

Upaya lainnya, lanjut Wendy kegiatan sosialisasi ke tokoh agama, tokoh masyarakat, karena ini menyangkut perilaku masyarakat. Oleh karena itu di sekolah-sekolah juga dilakukan sosialisasi tentang perilaku-perilaku yang berisiko seperti konsumsi narkoba dengan jarum suntik bersama, dan seks bebas atau tidak aman.

“Kita mengetahui penyebarannya seperti apa, seks yang berganti-ganti pasangan, bisa menular dari ibu ke anak, atau bisa juga dari jarum suntik,transfusi darah dan sebagainya,” katanya.

Dia menambahkan, data terakhir yang merupakan kasus baru, artinya yang didapat di tahun 2018 dalam kondisi baru yang menderita HIV itu sebanyak 264 kasus, itu dalam satu tahun. Bayangkan, kalau akumulasi dari 2004 sampai sekarang mencapai 2.000-an.

“Pengobatan tetap dilaksanakan, ART-nya tersedia, jadi kalau misalnya Puskesmas bisa mendeteksi dan memeriksa, ada di 22 Puskesmas.  Kecuali ada beberapa Puskesmas yang bisa mengobati lanjutan, sebab ketersediaan ART hanya di beberapa Puskesmas, mengingat hak asasi manusia (HAM) dari mereka harus dilindungi, dan juga pemberian ART secara gratis,” ujarnya. (BB-DIO)