BERITABETA.COM – Tahun 2012, ketika dia baru berusia 18 tahun, inventor dan juga entrepreneur muda berkebangsaaan Belanda ini berbagi ide briliannya di TEDx Talk. Tidak main-main, CEO dan Pendiri The Ocean Cleanup ini memaparkan misinya membersihkan laut.

Dia adalah Boyan Slat. Dia memberi gagasan membersihkan The Great Pacific Garbage Patch, kawasan luas yang penuh sampah plastik. Tepatnya, di Laut Pasifik utara antara California dan Hawaii.

Pada 2014, Slat menjadi penerima penghargaan lingkungan termuda dari PBB, Champion of the Earth. Dan, prototipe Ocean Vacuum Ocean Cleanup dinobatkan sebagai salah satu penemuan terbaik 2015 versi Majalah Time.

The Great Pacific Garbage Patch pertama kali ditemukan pada 1997 oleh peneliti kelautan Charles Moore. Ketika itu, ia berpartisipasi dalam lomba kapal pesiar Transpacific.

Kumpulan-kumpulan sampah plastik dikawasan itu, kini meluas dengan ukuran luar biasa, hingga 1,6 juta km persegi. Sebagai perbandingan, luas daratan Indonesia sekitar 1,9 juta km persegi. Hal ini dilaporkan dalam Jurnal Scientific Reports, edisi 22 Maret 2018.

Charles Moore pernah memperkirakan, butuh waktu 79.000 tahun untuk membersihkan kawasan tersebut. Sementara Boyan Slat mengatakan, dengan teknologi dan pendekatan yang tepat, sampah-sampah itu bisa hilang hanya dalam waktu lima tahun.

Sampah plastik yang dikumpulkan saat mega ekspedisi The Great Pacific Garbage Patch 2015. (Foto: The Ocean Cleanup)

Tidak hanya itu, dia juga bisa membersihkannya dengan cara yang memiliki dampak lingkungan minimal dan jugamenguntungkan. Apakah benar apa yang dikatakan pemuda jenius ini? Atau dia mengada-ada?

Ternyata Slat berkata serius. Organisasi yang didirikannya akan memulai mega proyek tersebut pertengahan 2018. Sejak mengawali Ocean Cleanup Foundation 2013, Slat terus mempelajari problematika sampah plastik di lautan ini dengan mengembangkan teknologi untuk membersihkannya

Banyak ide dan gagasan yang muncul, namun mengembangkannya hingga eksekusi berkelanjutan merupakan tantangan besar.

Slat telah menghabiskan enam tahun mempelajari arus laut dan The Great Pacific Garbage Patch untuk lebih memahami ruang lingkup masalah dan mengembangkan cara paling efektif untuk mengumpulkan sampah, membersihkannya dari lautan. Organisasinya mempekerjakan lebih dari 70 insinyur, peneliti, ilmuwan, dan pemodel komputer untuk pekerjaan ini.

Slat dan timnya menyatakan, di wilayah itu terdapat sekitar 1,8 triliun potongan plastik. Jika dibagi rata, 241 potongan plastik untuk setiap manusia yang hidup di Bumi. Banyak di antara plastik-plastik tersebut terurai menjadi bagian-bagian lebih kecil, yang mengancam kehidupan laut, burung, dan manusia saat kita mengonsumsi makanan laut.

“Lebih buruk dari yang kita duga sebelumnya,” kata Slat, dikutip dari Upworthy.

Slat tetap optimis proyeknya akan terlaksana dan berhasil. Satu hal penting yang mereka pelajari adalah “untuk menangkap plastik,” kita harus “bertindak seperti plastik.” Mesin Ocean Cleanup menggunakan arus laut itu sendiri untuk mengumpulkannya,tanpa harus menggunakan energi atau sumber daya yang tidak perlu.

Sampah-sampah plastik tersebut terakumulasi di lima lautan dunia. Jika dibiarkan menyebar tanpa ada usaha, akan mempengaruhi ekosistem, kesehatan, dan ekonomi dunia. Memecahkan masalah ini, butuh kombinasi penutupan sumber-sumber plastik ke lautan dengan membersihkan apa yang sudah menumpuk.

Kita berharap, upaya Boyan Slat akan menginspirasi generasi muda dan bangsa-bangsa di dunia, untuk bergerak menyelamatkan Bumi.

Diuji Coba

Pada 8 September 2018, The Ocean Cleanup untuk pertama kalinya diuji teknologi pengumpul sampah plastik lautan. Sebuah alat berupa tabung apung sepanjang 600 meter yang berfungsi seolah sebagai garis pantai artifisial, perlahan akan mengumpulkan sampah-sampah plastik di permukaan laut. Selanjutnya, dibawa untuk disortir dan didaur ulang. Jika lancar, setahun ke depan, akan ada 60 tabung lagi yang diluncurkan.

Proyek The Ocean Cleanup ini menarik perhatian masyarakat luas karena akan menyasar The Great Pacific Garbage Patch, kawasan di Samudera Pasifik yang dipenuhi sampah. Bongkahan-bongkahan sampah plastik yang mengambang di permukaan maupun di dalam air laut pastinya akan diangkut.

Uji coba alat pembersih sampah laut ini dilakukan saat badai. (Sumber: The Ocean Cleanup)

Boyan Slat, yang sudah berumur 24 tahun, di kantornya di Rotterdam, mengatakan timnya yang terdiri lebih dari 70 insinyur, peneliti, dan ilmuwan sedang sibuk mempersiapkan uji coba tersebut.

“Ini sangat menarik, setelah lima tahun pengujian dan ekspedisi yang akhirnya dapat kami luncurkan sekaligus mengujinya,” kata Slat dikutip dari HowStuffWork.com.

Dilansir dari International Business Times, Slate juga mengatakan dalam lima tahun ke depan, setidaknya 50% sampah-sampah di The Great Pacific Garbage Patch bisa dibersihkan dengan teknologi tersebut.

The Great Pacific Garbage Patch kini meluas dengan ukuran luar biasa, hingga 1,6 juta kilometer persegi. Sebagai perbandingan, luas daratan Indonesia sekitar 1,9 juta kilometer persegi. Hal ini dilaporkan dalam Jurnal Scientific Reports, edisi 22 Maret 2018.

Tak semua orang setuju dengan rencana besar ini. Beberapa kritikus paling keras dari The Ocean Cleanup adalah sesama organisasi konservasi laut dan ilmuwan lingkungan hidup yang mempelajari efek polusi plastik pada kehidupan laut.

Tentu, mereka setuju bahwa plastik laut makin tidak terkendali. Puing plastik akan melebihi jumlah ikan pada 2050 dan menimbulkan ancaman racun pada ikan, burung laut, dan mamalia laut. Meski begitu para ahli dan aktivis konservasi meyakini bahwa alat yang diciptakan Slat takkan mampu mengatasi masalah, selain sampah plastik mengapung, yakni mikroplastik yang berada di bawah permukaan.

Jennifer Provencher dari Universitas Acadia yang meneliti bagaimana plastik laut mencemari kehidupan laut, mengatakan bahwa jutaan dollar yang dipakai oleh Ocean Cleanup akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk mencari alternatif dari plastik, yang bisa terurai di alam. Atau, upaya-upaya untuk mencegah agar plastik tidak sampai ke lautan.

Bonnie Monteleone, Executive Director Plastic Ocean Project, menambahkan bahwa uang yang didapat Slat lebih berguna jika dipakai untuk mengumpulkan plastik di sungai-sungai dengan teknologi yang lebih sederhana dan murah. Sebelum, sampah-sampah terbawa ke laut.

Menanggapi hal tersebut, Slat mengatakan bahwa ide-ide itu bisa juga dilakukan. Namun, dia menegaskan harus ada orang yang membersihkan sambah plastik di lautan. “Tumpukan sampah laut ini tidak hilang dengan sendirinya. Sebagian besar plastik yang sudahdiidentifikasi berasal dari tahun 70-an, 80-an dan 90-an. Kita harus melakukan keduanya.”

Sebuah survei yang dilakukan 15 ahli ekologi dan peneliti ikan hiu David Shiffman dari Simon Fraser University di Vancouver menyatakan,tidak mungkin perangkat yang mengapung akan membersihkan sejumlah besar plastik tanpa membahayakan satwa laut.

Seperti ditulis di Southern Fried Science, Shiffman mengatakan, perangkat ini dirancang untuk mengumpulkan objek dengan ukuran tertentu untuk diambil dari air. “Tetapi, alat ini ten tidak dapat membedakan antara plastik dan makhluk hidup,” jelasnya.

Namun The Ocean Cleanup menjelaskan, perangkat yang akan diluncurkan tersebut bergerak cukup pelan sehingga setiap hewan akan memiliki waktu untuk melarikan diri dengan mudah. Alat ini bergerak bersama arus laut, mirip sampah sampah plastik yang mengapung. (***)

Sumber : mongabay.co.id