Budaya Malra Dibangkitkan Melalui Tiga “Tungku”
BERITABETA.COM, Ambon – Budaya leluhur Maluku Tenggara kembali dibangkitkan oleh Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara (Malra). Pelestarian budaya di Malra itu dilakukan dengan menjadikan tiga tungku atau tiang penopang yaitu; Adat, Pemerintah dan Agama, sebagai pengarah.
Pemerintah Kabupaten Malra di bawah kepemimpinan Bupati M. Taher Hanubun kini membangkitkan kembali legecy para leluhurnya itu.
“Dahulu kalau bangun Gereja, bukan cuma orang Kristen saja, tapi semua orang termasuk muslim juga ikut membantu,” ujar Bupati Maluku Tenggara, M. Taher Hanubun, usai mengikuti Pembukaan Persidangan Sinode GPM ke-38, Minggu (07/02/2021) di Gereja Maranatha, Kota Ambon.
Ia mengungkapkan di masa kepemimpinannya yang kini berjalan 2 Tahun 3 bulan ini, budaya kearifan lokal telah dibangkitkan kembali di Malra.
“Saat ini tidak ada lagi sumbangan dari masyarakat, karena masyarakat penuh dengan keterbatasan, sementara yang mempunyai sarana dan prasarana adalah Pemerintah. Untuk itu, saya mencoba melakukan pembangunan gereja maupun mesjid untuk dianggarkan dalam APBD, walaupun ada sumbangan-sumbangan lainnya yang tidak mengikat,”kata Hanubun.
Menurut dia, untuk Maluku Tenggara tidak ada lagi sumbangan 50 juta, karena telah dianggarkan oleh pemerintah kabupaten.
“Gereja 2,5 milyar, ayo kita anggarkan dan saya buktikan itu baik untuk gereja Protestan, Katolik dan Mesjid. Hal ini kami lakukan karena hidup orang Maluku Tenggara bertumpu pada 3 tungku yaitu Adat, Pemerintah dan Agama. Tiga tungku ini apabila disatukan untuk mengurus masyarakat akan mempermudah pembangunan di Malra,”jelas Hanubun.
Target setiap tahun Bupati Malra memastikan ada pembangunan Gereja maupun Mesjid. Ia berharap Ketua Sinode yang baru nantinya bisa turun ke Malra.
“Ketua Sinode yang saat ini luar biasa, bisa satu bulan sekali mengunjungi Kabupaten Malra. Mudah-mudahan ketua Sinode yang akan datang bisa seperti itu,” harapnya.
Ia mengakui kearifan lokal Maluku Tenggara maupun Maluku pada umumnya sangat luar biasa dan tidak bisa dipertanyakan lagi. Karena, lanjut dia, khusus kearifan lokal di Maluku Tenggara itu sudah ada sebelum adanya agama di (Malra).
“Saya tidak tahu dengan di Lease, kalau untuk Maluku Tenggara sebelum datang agama kita bersaudara betul-betul satu darah, ale rasa beta rasa, Ain ni ain, itu terjadi disana,” ungkapnya.
Soal toleransi, lanjut dia, itu juga sudah terbangun sejak dahulu kala. “Populer dikenal dengan nama Marin atau gotong royong dan tidak pernah membedakan agama, saat ini dipakai di Kota Tual,,” pungkasnya. (BB-YP)