Oleh : Iskandar Pelupessy ( Pemerhati Masalah Sosial)

APAKAH kebetulan atau tidak kata kawaja yang oleh orang Ambon yg berarti pelit/kikir, apa mungkin terpengaruh oleh kata khawaja (Orang Koja)? jangan keburu menafsirkan cocoklogi ini.

Orang Ambon sendiri dikenal sebagai salah satu dari sekian orang dengan bahasa kreol, sebagai berkumpulnya berbagai orang dari latar belakang yang berbeda.

Melayu Ambon rumpun kreol ini bisa jadi menjelaskan asal-usul kata kawaja ini atau bahkan tidak sama sekali, meskipun kita akan melihat ada alur yang punya kemiripan. Karena dugaanku kata kawaja sendiri hampir tidak kita temukan asalnya dari rumpun-rumpun bahasa di Maluku semisal dari bahasa Tanah (bahasa asli Maluku) atau Nusantara lainnya, menurut akun @potert lawas di masa tersebut koja adalah istilah untuk para pendatang muslim dari daratan India.

Jika kawaja (tanpa H) Ambon itu pelit/kikir maka kata Koja sendiri akarnya dari bahasa Persia Khawaja semacam panggilan hormat untuk pandit, saudagar dan sebagainya.

Jonathan Rigg (1862), Dictionary of the Sunda Language of Java.(@potretlawas). Orang Koja umumnya berdagang. Soal itu ada gambaran menarik dalam Suluk Mas Nganten (1818), wong Koja busananira cara Arab kadi santri, “Pantese atine pethak tan pati amikir dhuwit. Suprandene yen anuju nagih potang yen wus mangsane samaya, anggujeg tan sidhang siring” yang artinya Disebut orang Koja berbusana putih macam Arab.

Harusnya hatinya pun putih, tak terlalu pikirkan uang. Tapi jika menagih hutang akan nampak wataknya yang sulit kompromi. Apalagi jika ditangguh, ia akan terus menagih. Ini terkait kebiasaan orang Jawa mengulur pembayaran hutang.

Berkaca dari suluk itu interpretasi kita bahwa para pandit itu kawaja/pelit, penuh perhitungan dalam berbisnis dengan sendirinya dari seperti kisah suluk ini. Walau tidak bisa dinafikan kebiasaan meminjam dengan memberi janji palsu juga salah satu perilaku yang salah besar.

Akan halnya kaitan kata kawaja dan khawaja dalam hubungan India dan Ambon memang sulit kita dapatkan dalam arti sebenarnya. Walau kita tidak bisa menafikan bahwa masa penjajahan kolonial banyak budak dari India yang kemudian dimerdekakan yang kenal dengan istilah mardikjers.

Bahkan para keturunan India sendiri dari kaum Mardijkers (para budak yang dimerdekakan) asal India menurut Sejarawan Simon Maelissa dalam Jelajah Pusaka Bahari Teluk Ambon yang digelar oleh Balai Arkeologi Maluku, sampai sekarang masih sulit ditelusuri, baik keturunan maupun tempat-tempat yang pernah dihuni oleh mereka.

Sejauh ini belum ada peneliti yang berhasil menemukan jejak Mardijkers di Ambon, ia mengatakan sulitnya menelusuri jejak Mardijkers asal India Selatan dan Nepal, disebabkan oleh pembauran yang terlalu mendalam, seperti perkawinan campuran antara mereka dengan masyarakat lokal dan bangsa Portugis yang seharusnya menjadi proses asimilasi budaya, tapi tidak terjadi demikian.

Diduga akibat dalamnya pembauran tersebut, para Mardijkers juga mengganti nama dan marga mereka mengikuti bangsa Portugis dan masyarakat lokal, sehingga menyebabkan tidak adanya ciri khas tradisi, budaya maupun kesenian khas India maupun Nepal yang ditinggalkan.

Dalam beberapa catatan sejarah disebutkan bahwa rata-rata para Mardijkers menganut agama Kristen Katolik mengikuti bangsa Portugis, tapi kemudian berganti menjadi Protestan setelah Hindia-Belanda mengambil alih Ambon.

Perkawinan campuran memang memberi pengaruh besar. Tidak ada catatan penggunaan nama dan marga asli mereka, sepertinya mereka juga mengubahnya untuk menyesuaikan diri. Ciri tradisi dan budaya juga tidak bisa ditemukan,” katanya.

Sementara menurut Annas Salim, salah satu sesepuh Kampung Pekojan, awal cerita kampung dan Masjid Pekojan di Semarang bermula semenjak 150 tahun silam, dimana banyak saudagar Pakistan dan India yang memilih menetap di Kota Lumpia ini.

“Koja sendiri memiliki arti kampung yang didiami oleh suku-suku sempalan dari India dan Pakistan. Suku-suku terdahulu memang memilih hijrah dan syiar Islam di sejumlah tempat. Semarang salah satunya, ” ujar Annas kepada VIVA co.id di Masjid Pekojan, Semarang, Rabu, 8 Juni 2016.

Jika sejarawan Maelissa mengungkapkan sulit mencari jejak kaum mardijkers asal India sampai saat ini, tapi ada informasi turunan pekojan India/pakistan muslim kini tinggal 1 atau 2 fam/marga yg kini masih bertahan di Ambon turunannya itu masih memakai marga India itu sampai sekarang, munhkin gnerasi ini adalah generasi baru saat dating ke Ambon. Wallahu Alam (***)