(Strategi Pengembangan Desa Mandiri di Maluku)

TERKADANG persoalan yang kerap kali dihadapi adalah akses untuk memperoleh data yang paling valid, kaitannya dengan tulisan ini adalah kesulitan memperoleh data yang eksak tentang berapa ‘jumlah keseluruhan desa’ di Provinsi Maluku, namun Penulis memperkirakan terdapat lebih dari 1.100 desa yang tersebar di 11 kabupaten/kota.

Berdasarkan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Provinsi Maluku, diperoleh data bahwa Maluku memiliki status desa dengan kategori “desa mandiri” cukup sedikit,  yaitu ‘empat desa’, serta lebih dari 500 dengan status “desa tertinggal” serta “desa sangat tertinggal” sebanyak lebih dari 300 desa.

Kategori untuk mengklasifikasikan status “desa sangat tertinggal, desa tertinggal, desa berkembang, desa maju dan desa mandiri” adalah berdasarkan indikator yang ditetapkan dalam Permendesa Nomor 2 Tahun 2016.

Bila berbasis pada data tersebut, kondisi ini merupakan tantangan tentang bagaimana upaya dan strategi untuk merancang desa-desa yang khususnya dengan kategori “sangat tertinggal dan tertinggal”  menjadi “desa-desa mandiri”, setidaknya menjadi “desa maju dan desa berkembang”.

Desa dikategorikan “mandiri” bila memiliki kemampuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan melalui “ketahanan sosial, ekonomi, dan ekologi” secara berkelanjutan atau desa yang memiliki agregasi Indeks Desa Membangun (IDM) lebih dari 0,8155 berdasarkan pada tiga aspek yaitu: “Sosial, Ekonomi dan Ekologi” dengan lebih dari 50 indikator ukur yang digunakan.

Hal yang menarik untuk dibahas pada tulisan ini adalah tidak hanya semata-mata tugas Pemerintah Daerah untuk melakukan “pemutakhiran data” menjadi data yang “real time”, namun bagaimana “Organisasi Perangkat Daerah” dapat menciptakan satu rumusan program yang sifatnya “kolaboratif dan integrated”. Tentu bukanlah tugas yang mudah, sebaliknya ini merupakan tantangan yang enak atau tidak harus dihadapi para pemangku kebijakan di Maluku.

Desa-desa Program Peningkatan Kesejahteran Petani Kecil (SOLID)

Terkait dengan status terkini tentang status desa-desa tersebut, Penulis ingin menyampaikan bahwa kini telah terbangun “24 titik Sentra Bisnis” di 5 Kabupaten Kota  melalui program “Peningkatan Kesejahteraan Petani Kecil” di 104 rentang kendali Desa. Pertanyaan ini untuk menjawab kategori status ke 104 desa tersebut.

Penulis memastikan bahwa sebagian desa-desa tersebut khususnya desa rentang kendali tempat berdirinya “Sentra Bisnis” memenuhi kualifikasi untuk berkembang menjadi “desa mandiri’. Hal ini dikatakan bila berpijak pada aspek ketahanan sosial, ekonomi dan ekologi sebagai persyaratan untuk menjadi “desa mandiri”, setidaknya untuk jangka waktu yang tidak terlalu panjang mampu di konversi menjadi “desa maju”.

Dimana desa-desa tersebut Desa memiliki potensi sumber daya sosial, ekonomi dan ekologi, serta kemampuan mengelolanya untuk peningkatan kesejahteraan, kualitas hidup manusia, dan menanggulangi kondisi pra-sejahtera.

Perlu penanganan super intensif melalui program kolaboratif untuk mendorongnya menjadi desa maju. Jika dicermati dari indikator sosial, desa-desa tersebut telah di fasilitasi dengan berbagai pelatihan yang menstimulus terciptanya solidaritas, komunikasi dan alih pengetahuan, indikator perkembangannya adalah bila awalnya masyarakat bekerja secara individu kini telah bekerja melakukan usaha produktif secara bersama melalui kelompok.

Pada aspek ekonomi, kini masyarakat telah melaksanakan usaha produktif secara kolektif melalui kelembagaan “Sentra Bisnis” dengan berbagai fasilitas seperti infrastruktur bangunan seperti: rumah produksi, gudang bahan baku, kantor pengelola, rumah penjualan serta berbagai peralatan produksi dan pasca panen (post harvest equipments) serta alat transportasi seperti motor roda tiga dan kapal fiber untuk menangkap ikan pada sebagian wilayah pesisir dimana masyarakat sebagai penghasil pada sektor perikanan.

Melalui berbagai pelatihan yang telah dilalui, masyarakat telah mengenal bagaimana pengelolaan lingkungan, utamanya yang berkaitan dengan usaha produktif, seperti penanganan limbah hasil produksi.

Andai saja ke 24 titik “Sentra Bisnis” di 104 rentang kendali desa tersebut dapat digenjot secara maksimal, tentu akan meningkatkan rasio IDM Desa Provinsi Maluku. Kalkulasinya adalah peningkatan status 104 dari 1100 desa tersebut setidak-tidaknya meningkatkan angka agregasi kategori “Desa Maju dan Mandiri” senilai 9-10%.

Pertumbuhan Ekonomi

Menilik data BPS 2018, perekonomian Maluku dilihat dari besaran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan mencapai Rp.7,65 triliun, dengan pertumbuhan pada triwulan IV-2018 sebesar 6,41 persen (year-on-year), dari sisi produksi pertumbuhan didorong dengan pertumbuhan tertinggi yang dicapai dari Pengadaan Listrik dan Gas sebesar ‘8,59%’ dan urutan berikutn

Menilik data BPS 2018, perekonomian Maluku dilihat dari besaran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan mencapai Rp.7,65 triliun, dengan pertumbuhan pada triwulan IV-2018 sebesar 6,41 persen (year-on-year), dari sisi produksi pertumbuhan didorong dengan pertumbuhan tertinggi yang dicapai dari Pengadaan Listrik dan Gas sebesar ‘8,59%’ dan urutan berikutnya adalah sektor “Pertanian, Kehutanan dan Perikanan” sebesar 7.49 %.

Jika melihat data diatas Maluku memiliki peluang yang besar untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi regionalnya melalui ketiga “Leading Sector” tersebut (pertanian, perikanan dan kehutanan) yang notabene berbasis di wilayah Desa.

Model Core Periphery

Teori Friedman Menekankan analisanya pada hubungan yang erat dan saling mempengaruhi antara pembangunan kota (core) dan desa (periphery), dimana pengaruh pembangunan sektor perkotaan memiliki dampak pada pembangunan desa artinya ada gerak linier antara desa dan kota (spatial interaction).

Pembangunan perkotaan akan secara sistematis memberi pengaruh inovasi ke wilayah pinggiran di sekitarnya yang terletak dalam wilayah pengaruhnya, hingga pada suatu titik tertentu pertumbuhan daerah inti cenderung mempunyai pengaruh positif dalm proses pembangunan.

Gravitasi Produktifitas Desa

Bila kita sepakat menyatakan bahwa desa merupakan pilar ekonomi bangsa, maka kita fokus bagaimana upaya untuk membangun desa-desa produktif, desa yang mampu berkontribusi dalam peningkatan arus produktifitas barang dan jasa.

Dapat dibayangkan bila rendahnya produktifitas di desa, maka yang terjadi kemudian adalah lemahnya distribusi aliran barang dan jasa sehingga minimnya konsumsi pada masyarakat perkotaan (urban sector). Desa harus memberikan tekanan yang tinggi berupa arus produktifitas barang dan jasa yang memiliki efek domino pertumbuhan ekonomi regional.

Berbekal pengalaman selama di lapangan, Penulis meyakini sumber persoalan sulitnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi desa adalah problem “Produktifitas”.

Berbicara mengenai produktifitas maka ada tiga indikator yang membungkusnya yaitu “Produksi, Distribusi dan Konsumsi”.  Untuk memastikan siklus ketiga indikator tersebut dapat berjalan seperti rantai (chain) yang tidak terputus maka upayanya adalah integrasi program dari berbagai domain sektor.

Konsep Perencanaan Satu Obyek

Mungkin konsep “perencanaan program satu obyek adalah merupakan “ide klasik”, secara teori mungkin mudah untuk menyampaikannya, namun faktanya sulit sekali ini dapat di rumuskan apalagi di integrasikan melalui satu pola perencanaan yang “berintegrasi dan kolaboratif”.

Penulis mencoba menuangkan pemikiran tentang eksekusi program melalui “perencanaan satu obyek” hasil inisiasi beberapa OPD terkait, yaitu dengan  di rencanakannya pembangunan sebuah “Sentra Bisnis Desa”.

Mengapa “Sentra Bisnis Desa” yang dijadikan sebagai model?, karena didalamnya terdapat tiga indikator penting yang dapat mendorong perencanaan secara kolaboratif melalui konsepsi “Rantai Nilai”. Kita coba tarik satu sampel, yaitu indikator Produksi. Berbicara produksi tentu kita akan membahas tentang penyiapan inputnya berupa teknik produksi, budidaya, prasarana seperti rumah produksi, peralatan produksi dan pasca panen, strategi pemasaran, entitas usaha sentra bisnis hingga penguatan kelembagaan.

Dari hal yang disebutkan diatas beberapa OPD dapat terliibat dan melipatkan diri untuk mengambil peran dalam konteks produksi, seperti Dinas Pertanian, Dinas Ketahanan Pangan, Dinas Perindustrian, Dinas Koperasi, Dinas Kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat. Jadi, betapa pentingnya melakukan sebuah perencanaan yang kolaboratif, berbagai hal positif dapat di peroleh seperti efektif dan efisien, mereduksi terjadinya “overlapping dan mis-leading” program, karena kesemuanya menuju pada satu hasil (outcome).

Efek Menetes ke Bawah

Ikhtiar tersebut merupakan pengejawantahan dari beberapa teori yang membahas tentang pengembangan wilayah yang tujuan besarnya bermuara pada upaya mendorong “pertumbuhan ekonomi desa” yang menghasilkan pijaran (spectrum) keberbagai penjuru. Seperti meningkatnya perluasan kesempatan untuk mereduksi angkatan kerja yang tidak produktif, menekan laju inflasi, peningkatan pendapatan, ketahanan pangan (food secutiry), jaminan kesehatan, pendikan dan secara makro akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi regional.

Melihat dari sudut pandang investasi, hal ini akan menciptakan “Gravitasi sebagai sebuah daya tarik bagi investor yang akan memberi ruang fiskal berupa penanaman modal dan penerapan teknologi.

Tinjauan dari Perspektif Islam

Basis demografi populasi Muslim pada banyak wilayah desa mendorong peluang pengembangan entitas usaha dengan platform syariah, seperti pengembangan dua jenis “Koperasi Syariah Produksi” (KSP) pada dua Sentra Bisnis di Desa Yanuielo dan Sakanusa yang berada di Kabupaten Maluku Tengah, yang Insyaa Allah akan di ikuti beberapa desa lainnya melalui usaha produktif yang dilakukan oleh Kelompok Masyarakat di desa-desa tersebut dan melalui pola kerjasama (syirkah) dan akad-akad sesuai syariat (***)

Oleh: Dr. Teuku Fajar Shadiq (Penulis Konsultan Pemberdayaan Masyarakat & Praktisi Ekonomi Syariah)