Oleh : Muh Kashai Ramdhani Pelupessy (Lulusan Magister Psikologi Universitas Negeri Yogyakarta/Staf pengajar di Jurusan Bimbingan Konseling Islam IAIN Ambon)

Saat ini, negara kita telah berusia 74 tahun. Hal itu berarti bahwa negara kita sudah terbilang sangat tua. Seperti manusia pada umumnya, usia biologis sangat menentukan kondisi psikologis seseorang.

Ilmuwan psikososial Erick Erickson mengatakan bahwa, ketika manusia mulai memasuki usia biologis 65 tahun sampai kematian, maka secara psikologis seseorang akan mengalami ketidakseimbangan antara ‘integrity’ (potensi kewibawaan dan kejujuran) versus ‘despair’ (keputusasaan atau kehilangan harapan).

Dalam konteks birokrasi, ketidakseimbangan itu terlihat ketika para birokrat di hadapkan pada persoalan kejujuran saat mengelola anggaran yang dikucurkan negara. Kalau dana yang digunakan itu tidak jujur atau transparan, maka akan menimbulkan kondisi ‘despair’ (kehilangan harapan), yang hal ini sangat terasa oleh kita semuanya.

Belakangan ini, mencuat beberapa kasus penangkapan pejabat publik mulai dari tingkat daerah sampai pusat karena terindikasi melakukan korupsi. Sekitar tiga minggu yang lalu (24 Januari 2020) diberitakan bahwa mantan Kepala Desa Gedung Agung di Sumatera Selatan, harus meringkuk di jeruji besi lantaran telah menghabiskan Dana Desa sebesar Rp.500 juta untuk berfoya-foya.

Kasus di atas itu hanya secuil dari banyaknya kasus-kasus serupa. Ironisnya, kasus korupsi itu tidak hanya terjadi di level pemerintah pusat, melainkan juga di level pemerintah desa, pun nyaris terindikasi melakukan korupsi. Hal ini bisa di katakan bahwa kondisi negara kita dalam keadaan “sakit parah”.

Karena situasi itulah, muncul beberapa pertanyaan yakni apakah peluang untuk melakukan korupsi itu disebabkan oleh desain institusi yang terlalu “longgar”? Ataukah karena persoalan moralitas pejabat publik yang belum tuntas? Berikut ini akan kami soroti satu-persatu, terutama di level desa.

Merebut Kuasa Karena Incar Dana Desa?

Sejak disahkannya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa diberikan kesempatan besar untuk mengurus tata pemerintahannya sendiri, termasuk pengelolaan keuangannya. Sebagai tindak lanjutnya, dalam APBN-P 2015 telah mengalokasikan Dana Desa sebesar ± Rp 20,776 triliun untuk 74.093 desa yang tersebar di Indonesia, dan pada tahun-tahun berikutnya akan terus bertambah bahkan akan mencapai lebih dari 1 milyar untuk tiap desa. Hal ini bukan perkara yang main-main.

Dana Desa yang sangat besar itu, jika tidak di kelola dengan baik maka akan berdampak buruk bagi proses pembangunan dan kemajuan infrastruktur plus SDM di masa mendatang. Untuk menjaga agar dana desa tetap kelola secara transparan dan akuntabel, maka pemerintah mencoba menghadirkan aplikasi Sistem Keuangan Desa (SISKEUDES).