Peran Psikologi Dalam Mengontrol Transparansi Dana Desa

Aplikasi itu diluncurkan untuk memuluskan proses transparansi dan akuntabilitas dana desa, yang alhamdulillah sudah berjalan bagus. Namun, Dana Desa yang sangat besar itu, tidak menutup kemungkinan melahirkan motif baru dalam kehidupan birokrasi desa, yakni praktik ‘leadership transaksional’.
Dalam situasi demokrasi “liberal” seperti sekarang ini, “money politics” menjadi trend baru ketika seseorang punya keinginan untuk menjadi pemimpin dalam satu perangkat birokrat tertentu seperti di desa. Inilah yang di sebut sebagai praktik ‘leadership transaksional’ yang gejalanya cukup terasa di tingkat desa.
Artinya, bisa dikatakan bahwa selain indikasi korupsi dana desa, ada juga motif “money politics” demi merebut kuasa di tingkat desa. Alokasi dana yang besar, membuka peluang bagi lahirnya praktik korupsi serta “gila kuasa” di tingkat desa. Hal ini sungguh ironis, karena tidak sesuai dengan asas demokrasi yang sehat di negeri kita sekarang ini. Buah dari gejala-gejala itu, akhirnya situasi desa mengalami kekosongan pemimpin. Karena setiap individu yang ber-“niat” menjadi pemimpin berkompetisi secara tidak “sehat”.
Berdasarkan ulasan di atas, dapat ditemukan tiga masalah utama yang harus kita selesaikan. Pertama, motif perilaku korupsi yang di lakukan kepala desa atau bawahan-bawahannya. Kedua, praktik “money politic” oleh para calon kepala desa demi meraih kucuran dana desa yang bombastis. Ketiga, kekosongan pemimpin desa akibat konflik kepentingan yang berkepanjangan.
Desain Institusi Harus Diperketat
Sebetulnya, sistem birokrasi kita sudah berjalan baik. Hal ini terlihat dari beberapa aturan yang dengan tegas mengontrol pengelolaan dana desa. Seperti pengembangan Aplikasi SISKUEDES dalam rangka tersenggalaranya penerapan UU Nomor 6 tahun 2014. Aplikasi ini memiliki beberapa fitur untuk memudahkan proses pengelolaan dana desa.
Beberapa fitur yang ada di dalam aplikasi tersebut seperti; (1) Dokumen penatausahaan; (2) Bukti penerimaan; (3) Bukti permintaan pembayaran; (4) Surat setoran pajak; (5) Laporan-laporan lainnya; (6) Laporan penganggaran; dan (7) Laporan penataausahaan seperti buku kas umum, buku bank, dll. Jadi, aplikasi ini di gunakan untuk memuluskan transparansi dan akuntabilitas dana desa.
Meskipun demikian, aplikasi itu terlampau berat bagi sebagian besar desa. Oleh karenanya, di perlukan sistem audit pengontrolan dana desa melalui BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Yang mana BPK harus melakukan audit dana desa paling lambat tiap 1000 hari sejak dana desa di kucurkan oleh pemerintah pusat.
Selama lima tahun, BPK harus mengontrol dana desa sampai ke akar rumput, mulai dari penerimaan dana desa oleh pemerintah desa, dan pengeluaran dana desa oleh pemerintah desa. Setelah lima tahun berikutnya, barulah BPK merilis hasil kelulusan adminstrasi keuangan desa yang berjalan transparan dan akuntabel. Desa-desa yang berhasil itu kemudian di berikan sertifikasi kelulusan untuk kemudian mendapat dana desa di 5 tahun berikutnya. Desain birokrasi seperti inilah yang di rasa cukup signifikan untuk mencapai transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana desa di masa mendatang.