BERITABETA.COM, Ambon – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) akhirnya menjatuhkan sanksi berupa Peringatan Keras dan Pemberhentian dari jabatan Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) kepada Teradu Rosna Sehwaki.

Keputusan ini ditetapkan dalam sidang kode etik penyelenggara Pemilu dengan agenda pembacaan 16 Putusan Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu di Ruang Sidang DKPP, lantai 5, Jalan MH Thamrin No. 14, Jakarta Pusat pada Rabu (21/8/2019).

Seperti dikutip beritabeta.com dari situs resmi dkkp.go.id, pada rubrik Publikasi dengan sub rubrik Rilis Pers, Kamis malam (22/8/2019) menyebutkan,  sidang ini menyertakan 76 penyelenggara Pemilu yang menjadi Teradu dalam 16 perkara yang dibacakan, mulai dari tingkat Kabupaten/Kota hingga pusat. Dari jumlah keseluruhan, 27 Teradu berasal dari KPU dan 49 Teradu berasal dari Bawaslu.

Dalam sidang ini, ada dua penyelenggara Pemilu yang mendapat sanksi berupa Pemberhentian dari Jabatan Ketua, yaitu Andri Oktaviana dari KPU Lampung Timur dan Rosna Sehwaki dari Bawaslu Kabupaten Seram Bagian Timur.

Rosna merupakan Teradu pada perkara 154-PKE-DKPP/VI/2019, sedangkan Andri menjadi Teradu dalam perkara 118-PKE-DKPP/VI/2019. Keduanya juga dijatuhi sanksi berupa Peringatan Keras.

“Menjatuhkan sanksi berupa Peringatan Keras dan Pemberhentian dari Jabatan Ketua kepada Teradu I Andri Oktaviana,” kata Ketua majelis, Alfitra Salamm dalam sidang.

“Menjatuhkan sanksi berupa Peringatan Keras dan Pemberhentian dari Jabatan Ketua kepada Teradu Rosna Sehwaki,” lanjut Alfitra ketika membaca putusan 154-PKE-DKPP/VI/2019.

Putusan DKPP

Khusus untuk Andri, DKPP juga memberikan Rehabilitasi atau pemulihan nama baik dalam perkara nomor 140-PKE-DKPP/VI/2019. Ia dan empat anggota KPU Lampung Timur memang menjadi Teradu dalam dua perkara yang putusannya dibacakan dalam sidang hari ini, yaitu perkara 118-PKE-DKPP/VI/2019 dan 140-PKE-DKPP/VI/2019.

Jumlah Teradu yang nama baiknya dipulihkan atau mendapat rehabilitasi dari DKPP mencapai 42 orang. DKPP juga mengeluarkan sanksi peringatan (15 Teradu) dan peringatan keras (12 Teradu).

Selain itu, DKPP juga mengeluarkan Ketetapan untuk perkara Nomor 69-PKE-DKPP/IV/2019 yang melibatkan tujuh Teradu. Dalam prosesnya, Pengadu perkara ini mencabut aduannya sebelum sidang pemeriksaan perkara ini dilaksanakan.

“Pengaduan Pengadu tidak dapat dilanjutkan ke tahap putusan karena Pengadu telah mencabut Pengaduan,” kata Ketua majelis, Alfitra Salamm membacakan ketetapan tersebut.

Sidang pembacaan putusan ini dipimpin oleh Dr. Alfitra Salamm selaku Ketua majelis yang didampingi oleh dua Anggota majelis, yaitu Prof. Teguh Prasetyo dan Dr. Ida Budhiati.

Meskipun tidak secara gamblang diuraikan terkait aduan perkara yang melilit Rosna Sehwaki, namun informasi yang dihimpun beritabeta.com menyebutkan, sanksi yang dijatuhkan DKPP terhadap Ketua Bawaslu SBT ini, terkait laporkan yang disampaikan Firdaus Arey, warga SBT pada Jumat 31 Mei 2019 silam.

Laporan Firdaus diterima oleh DKPP dengan nomor tanda terima 15-31/PP.01/5/2019. Laporan tersebut terkait rekaman dugaan percakapan Sehwaki yang memerintahkan anggota Panwascam Teor, Rahman Ellys untuk mendongkrak suara iparnya, Royanto Rumasukun pada 22 April lalu.

Dalam rekaman berdurasi 5 menit berisi percakapan antara Rosna Sehwaki selaku Ketua Bawaslu SBT, dan anggota Panwascam Teor, Rahman Ellys, beredar luas di masyarakat, Rosna menyuruh Rahman Ellys untuk mendongkrak jumlah suara iparnya, Royanto Rumasukun.

Royanto Rumasukun merupakan caleg DPRD SBT dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) nomor urut 2 daerah pemilihan III (Gorom, Gorom, Timur, Kesui, Teor dan Watubela, dan Pulau Panjang). Berdasarkan data C1-KWK, Royanto hanya memperoleh 200 lebih suara.

Karena belum mencukupi suara individu dan akumulasi parpol untuk lolos ke DPRD SBT, Rosna memerintahkan Panwascam Teor untuk melakukan negosiasi dengan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) setempat untuk menaikan suara Royanto.

Menurut Firdaus, yang juga pemantau pemilu 2019, Rosna Sehwaki sudah melanggar sumpah dan janji kode etik, sebagaimana tercantum dalam dalam Pasal 134 ayat 2 Undang-Undang nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Selain itu, Rosna juga diduga melanggar Peraturan DKPP nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu. Pada pasal 8 disebutkan, dalam melaksanakan prinsip mandiri, penyelenggara pemilu bersikap dan bertindak netral atau tidak memihak terhadap partai politik, calon, pasangan calon, dan/atau peserta Pemilu.

Kemudian, menolak segala sesuatu yang dapat menimbulkan pengaruh buruk terhadap pelaksanaan tugas dan menghindari intervensi pihak lain, tidak mengeluarkan pendapat atau pernyataan yang bersifat partisan atas masalah atau isu yang sedang terjadi dalam proses pemilu, dan tidak mempengaruhi atau melakukan komunikasi yang bersifat partisan dengan peserta Pemilu, tim kampanye. (BB-DIO)