Kembalinya Sang Legenda Ajax untuk Tanah Leluhur

Catatan : dhino pattisahusiwa (Pimred Beritabeta.com)
Johan Cruyff Arena, Amsterdam, Belanda, pada Minggu 3 Maret 2024, menjadi hari istimewa bagi pria paruh baya ini. Namanya dielukan ribuan fans klub papan atas Belanda, Ajax Amsterdam yang memadati salah satu stadium terbesar di Belanda itu.
Hari itu, Ajax Amsterdam akan menjamu FC Utrecht di laga lanjutan Liga Belanda. Sesaat kemudian, namanya dipanggil oleh pembawa acara di Johan Cruyff Arena untuk masuk ke dalam stadion.
Sosok dengan tubuh mungil yang dikenal dengan nama Simon Tahamata akhirnya tampil sambil melambaikan tangan. Pemilik nama lengkap Simon Melkianus Tahamata adalah legenda Ajax Amsterdam sekaligus timnas Belanda.
Hari itu, per 1 Maret 2026 Simon Tahamata mengakhiri tugasnya sebagai pelatih di Akademi Ajax dan akan mengawali tugas baru menjadi pelatih muda di Deutsche Football Academy di Berlin.
Saat tampil di tengah lapangan, Tahamata disambut ribuan fans. Mereka menyuguhkan salam perpisahan dengan membentangkan banner di atas tribun bertuliskan "Oom Simon Terima Kasih".
Tulisan menggunakan bahasa Indonesia, seakan menjadi tanda identitasnya sebagai pesepakbola keturunan Indonesia tak pernah lekang.

Padahal, ia lahir di Vught, Belanda, pada 26 Mei 1956. Ayahnya, Lambert Tahamata, seorang prajurit KNIL, dan ibunya Octovina Leatemia yang berasal dari Maluku.
Peristiwa perpisahan Om Simon dengan Ajax pun ramai diberitakan di media sosial Belanda. Banyak pecinta sepak bola Belanda mengakui sosoknya sebagai orang yang berjasa untuk sepak bola di Belanda.
Di hari yang sama, ia juga mengucapkan kata-kata perpisahannya melalui Instagram story-nya "Terima kasih untuk semuanya pada hari terakhir di Ajax sebelum berangkat ke akademi sepak bola Deutsche."
Karir Sepak Bola yang Mentereng
Simon Tahamata sejak kecil, tubuh mungilnya berhenti tumbuh di angka 1,64 meter. Postur tubuhnya serupa orang Ambon, Maluku. Namun postur itu tidak pernah menjadi halangan. Simon menjadikan kecepatannya sebagai senjata.
Ia adalah pemain sayap klasik, lincah, kreatif, dan tak kenal takut. Bersama Timnas Belanda, Tahamata memiliki 22 caps dengan torehan dua gol dan satu "asis"(assist).
Karier juniornya dimulai di TSV Theole, lalu berlanjut ke akademi legendaris Ajax Amsterdam. Di klub Ajax Amsterdam, Simon tampil pada kelompok umur mulai pada tahun 1971 hingga 1980 sebelum kemudian ia pidah ke klub Belgia Standart Liege.
Semasa membela Ajax, pria yang kini berusia 68 tahun itu mencetak 17 gol dan 33 asis dari 149 penampilannya di semua kompetisi dengan total sumbangan trofi 3x Liga Belanda (1976/1977, 1978/1979, 1979/1980) dan 1x Piala KNVB (1978/1979).
Pada 24 Oktober 1976, ia menjalani debut di tim utama Ajax dengan kemenangan 7-0 atas FC Utrecht.
Sejak itu, Simon menjadi bagian penting dari masa kejayaan Ajax, meraih tiga gelar Liga Belanda, satu Piala KNVB, dan mencapai semifinal Piala Eropa (1979/1980).
Selain Ajax, Simon juga memperkuat empat klub lainnya yaitu Standard Liege dimana ia mendapatkan gelar 2x Liga Belgia (1981/1982, 1982/1983) dan 1x Piala Belgia (1981), Germinal Ekeren, VAR Beerschot, dan Feyenoord.
Setelah pensiun sebagai pemain, Om Simon berkarier sebagai pelatih, terutama di bidang pengembangan pemain muda. Ia pernah menjadi pelatih di akademi Standard Liège, Germinal Beerschot, dan Ajax.
Selain itu, ia juga mendirikan Simon Tahamata Soccer Academy dan pernah bekerja sebagai pelatih teknik untuk tim muda Al-Ahli di Arab Saudi. Sejak Oktober 2014, ia kembali bekerja di Ajax sebagai pelatih teknik untuk kelompok usia muda.
Tahamata dikenal sebagai salah satu pemain Belanda berdarah Maluku yang sukses di Eropa dan dihormati baik di Belanda maupun Belgia atas kontribusinya di dunia sepak bola.
Ia secara khusus melatih aspek teknis dan pengembangan individu pemain, terutama para pemain sayap, sehingga banyak lulusan akademi Ajax mendapat pondasi teknik yang kuat.
Pendekatan ini sejalan dengan filosofi "Ajax DNA", yaitu menekankan teknik, kreativitas, dan pengembangan talenta sejak usia dini.
Kiprah Om Simon membuat Ajax secara terbuka menyebutnya sebagai ikon klub yang memiliki dampak besar, baik sebagai pemain maupun pelatih.
Kontribusinya dalam membentuk generasi pemain muda mendapat penghargaan tinggi dari klub dan suporternya.
Ingin Majukan Sepak Bola Indonesia
Kini di usia 68 tahun, ketika sebagian besar orang seusianya memilih pensiun penuh dan menikmati masa tua, Om Simon justru memulai babak baru: kembali ke akar, kembali ke Indonesia.
Tanah leluhur yang dulu hanya hadir sebagai cerita di meja makan keluarganya di Vught, Belanda, kini menjadi ladang perjuangan nyata.
PSSI, pada Kamis, 22 Mei 2025, resmi menunjuk Simon Tahamata sebagai Kepala Pemandu Bakat Sepak Bola Nasional Indonesia (Head of Scouting).
“Terima kasih atas semua pesan yang baik yang saya terima. Saya menantikan bekerja bersama coach Patrick Kluivert dan staf teknis lainnya di Indonesia,” ucapnya dalam sebuah pernyataan singkat dikutip dari laman PSSI.
Kalimat sederhana, tapi terasa penuh makna bagi seorang Simon, sosok yang telah menghabiskan hampir seluruh hidupnya di Eropa namun tak pernah kehilangan ikatan batin dengan identitas Indonesia, khususnya darah Maluku yang mengalir di tubuhnya.
Pria berdarah Maluku-Belanda itu mempunyai peran untuk mengidentifikasi dan merekrut talenta potensial baik dari dalam negeri maupun diaspora Indonesia di luar negeri, khususnya di Belanda.
Om Simon diharapkan mampu bekerja sama dengan pelatih timnas Indonesia baik di level senior maupun kelompok umur seperti Patrick Kluivert, Gerald Vanenburg, dan Nova Arianto.
Setelah resmi ditunjuk PSSI, pada Senin 2 Juni 2025, jelang sesi latihan Timnas Indonesia di Stadion Madya, Jakarta, Om Simon akhirnya untuk pertama kali menyapa para jurnalis yang datang meliput.
Ia tampil berbicara dalam bahasa Indonesia penuh dialeg Ambon. Om Simon menjelaskan alasan kenapa menerima tawaran untuk bekerja dengan Indonesia, tanah leluhurnya.
Simon Tahamata merasa Indonesia memiliki potensi yang besar.
"Saya di sini karena kami punya talenta. Saya bisa kembali ke Ajax, tapi kami mau pulang kembali ke sini," tutur Simon Tahamata.
Ia pun menjelaskan sistem bermain favoritnya dan karakteristik pemain yang disukai.
"4-3-3. Sistem, kiri luar, kanan luar, striker, tiga gelandang, dan empat bek, satu kiper," kata Simon Tahamata.
"Saya ingin memilih pemain yang bagus menggunakan kedua kakinya, secara teknik sangat bagus, secara mental harus seorang pemenang. Semuanya yang dibutuhkan pemain profesional," ujarnya.
Pemain dengan rata-rata tinggi orang Indonesia tetap bisa menjadi pemain hebat. Om Simon mencontohkan dirinya yang bisa bersaing dengan pemain-pemain Eropa saat berkostum Ajax dan timnas Belanda.
"Saya kecil, tapi setelah bermain dengan orang-orang yang tinggi-tinggi, saya harus pakai cara lain, harus pintar," tutur Simon.
Om Simon mengaku akan membidik talenta Timnas Indonesia dengan mengutamakan pemain lokal ketimbang keturunan.
"Mungkin kalau kita hanya memakai anak-anak dari luar Indonesia, tidak. Saya tidak mau," ucap Simon.
Ia juga membantah dugaan bahwa kesediaannya menerima pinangan PSSI tidak 100 persen berasal dari motif sepakbola. Simon Tahamata dengan tegas membantah dugaan itu.
"Saya ke sini tidak ada politik, saya datang buat sport (olahraga, sepakbola). Saya mau Indonesia ke muka (terkenal di mata dunia), dan tanah Indonesia akan jadi besar," kata Simon dengan tegas.
"Jadi kami bawa (mantan anggota) Ajax di sini untuk menolong Indonesia, karena Indonesia mau bermain di Piala Dunia. Saya ada di sini untuk menolong Timnas Indonesia dan anak-anak muda Indonesia," ujarnya menambahkan.
Sebagai seorang yang berkecimpung di sepakbola, Simon mengaku tertantang dengan misi yang sedang diusung PSSI. Timnas Indonesia ingin naik level dalam persepakbolaan internasional.
"Timnas Indonesia mau bermain di Piala Dunia. Dari itu saya di sini. Saya mau Indonesia ke muka (dunia), dan tanah Indonesia ini akan besar," ucap Simon (*)