Kerentanan Cermin Digital : Fenomena Psikosis AI Pengguna Indonesia

Dengan prompt direksional mendalami insight pengguna -membaginya dalam kategori- didapatkan angka. Kalau bicara angka, skala ini sebenarnya kecil: hanya 6% sampai 8% pengguna ChatGPT di seluruh dunia yang masuk kategori rentan. Tapi karena basis penggunanya raksasa, itu setara 10 juta hingga 16 juta orang.
Indonesia, menurut data lalu lintas web, menyumbang 3% sampai 4% dari populasi rentan itu. Artinya, kita sedang bicara antara 300 ribu hingga 600 ribu orang di negeri ini yang berpotensi masuk ke kategori rentan.
Sekali lagi catatannya, data ini dihasilkan lewat penelusuran mesin chatGPT ke dalam dirinya sendiri, dan masih perlu dikaji lagi secara mendalam dan ilmiah.
Dari pola percakapan global, kerentanannya terbagi ke empat rupa. Ada yang saya sebut "romantis–immersif". Kategori ini meminjam Wei dalam publikasinya di Psychology Today dan The Guardian pada tahun 2025. Adalah mereka yang memposisikan AI sebagai pasangan batin, teman curhat setia, dan sumber afeksi yang diharap konsisten.
Lalu kategori "mentoring emosional eksklusif", ketika AI jadi satu-satunya sumber validasi diri dan kompas moral. Ada juga "fantasi heroik" atau "misi mesianik", saat pengguna yakin AI memberinya peran menyelamatkan dunia.
Dua kategori ini saya pinjam juga dari Wei (Psychology Today, 2025) dan Østergaard (Schizophrenia Bulletin, 2023). Dan terakhir, "konsultasi personal harian tanpa filter". Kategori ini disumbangkan mesin analisis ChatGPT untuk mengidentifikasi pengguna yang menggantungkan setiap keputusan, besar atau kecil pada jawaban mesin.
Jika kita sudah memahami fenomenanya, pertanyaan berikutnya bagi para pengguna AI adalah, apakah kita masuk dalam kelompok-kelompok rentan itu? Gejalanya tidak selalu dramatis. Kadang cuma perasaan yang pelan-pelan tumbuh: menghabiskan berjam-jam setiap hari bersama AI, lalu merasa ada ruang kosong yang aneh saat jeda.