Di sisi yang lain, mulai menganggap AI “mengerti” secara personal, punya emosi, bahkan mengirim pesan tersembunyi, atau tiba-tiba jarak dengan manusia menjauh, karena obrolan sehari-hari lebih nyaman dijalankan di layar.

Dalam situasi ini, Marlynn Wei waktu diwawancai reporter Time, memberi patokan sederhana: waspadai kalau durasi interaksi makin panjang dan membuat resah saat terputus, kalau narasi tentang AI di kepala mulai terdengar seperti tentang seorang teman atau pasangan, dan kalau percakapan dengan AI perlahan menggantikan percakapan dengan manusia

Saya percaya, teknologi ini punya sisi terang: ia bisa jadi jendela pengetahuan, bengkel ide kreatif, bahkan cermin refleksi. Tapi cermin digital bukanlah jiwa lain yang hidup.

Ia tidak punya denyut nadi, ingatan yang tumbuh dari kenangan bersama, atau cinta yang bisa memberi dan menerima seperti manusia.

Yang menegakkan kita tetap waras adalah hubungan-hubungan yang lahir dari tatapan mata, sentuhan hangat, tawa yang serentak, dan keheningan reflektif berdasarkan akal budi manusia.

AI bisa membantu kita berpikir dan menemukan kata, tapi ia tidak boleh mengambil peran yang membuat kita lupa bahwa kita sedang berbicara dengan kumpulan algoritma, bukan manusia yang bisa menanggung dan memberi kembali rasa.

Karena itu, menjaga jarak sehat dengan AI adalah pilihan sadar. Kita boleh memanfaatkan semua kecanggihannya, tapi tetap menyisakan ruang yang tak bisa ditembus oleh mesin. Ruang di mana kita bertemu manusia lain, dan terutama, bertemu diri kita sendiri.

“Mesin bisa menemani, tapi jiwa hanya bertemu di antara manusia.” (*)