Kiprah Heroik Abdul Kadir Tuakia Bagi Republik Indonesia

Begitu pun referensi lain yang relevan, Maulwi Saelan ; Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa : Dari revolusi 45 Sampai Kudeta 66 (2009), blog Rana News ; Sejarah Perjuangan Rakyat Pulau Buru Dalam Menentang Penjajah Belanda : Peristiwa Heroik 8 April 1946 (2016), dan situs Wikipedia : Pertempuran Ambon (2019).
Terlepas dari itu, kiprah heroik Abdul Kadir Tuakia bagi republik, bermula saat Indonesia di proklamirkan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945, tak lama setelah pada 15 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu, yang diikuti dengan hengkangnya tentara pendudukan Jepang dari Ambon.
Rupanya, Belanda tidak tinggal diam, dengan kemerdekaan Indonesia, dan perginya tentara pendudukan Jepang dari Ambon, keinginan untuk kembali begitu kuat. Hal ini sudah dipersiapkan jauh hari, dimana Pemerintah Kolonial Belanda telah membentuk Pemerintah Sipil Hindia Belanda di pengasingan, yang dikenal dengan sebutan Nederlandsch Indië Civiele Administratie (NICA) pada 3 April 1944 di Australia, yang berkedudukan di Camp Colombia Brisbane.
Pada awalnya fungsi NICA yakni, menghubungkan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di pengasingan dengan Komando Tertinggi Sekutu di Wilayah Pasifik Barat Daya (SWPA/South West Pacific Area). NICA sebelumnya bernaung di bawah struktur komando Sekutu.
Pada awal 1944, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Hubertus Johannes van Mook dan Panglima Tertinggi SWPA, Jenderal Douglas Mac Arthur dari Amerika Serikat, menyepakati bahwa wilayah Hindia Belanda yang berhasil direbut pasukan Sekutu akan diserahkan kepada pemerintahan sipil NICA.
Pasca menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945, Australia diberikan kewenangan oleh Inggris untuk merebut Ambon, sehingga Australia kembali lagi mendaratkan pasukannya di Ambon, pada Agustus 1945 dibawah pimpinan Brigadir Jenderal Sir Frederick Oliver Chilton yang lebih pro Belanda, menggantikan Brigadir Jenderal Dougherty, yang berkesan lebih bersimpati kepada perjuangan rakyat Indonesia.
Mereka bertugas menerima penyerahan tentara Jepang, melucuti senjata-senjata tentara Jepang, dan mendorong Belanda untuk mengadakan pendekatan terhadap masyarakat Ambon. Padahal sebelumnya armada laut Jepang dibawah komando Laksmana Muda Ibō Takahashi, dan Devisi 38 (Nagoya) dibawah komando Mayor Jenderal Takeo Ito melibas tentara Australia di Ambon.
Dimana pertempuran itu diawali dengan pendaratan pasukan Jepang di pantai utara Hitu-Lama, pantai selatan Semenanjung Leitimur, Hutumuri, dan di Batugong pada 30 Januari 1942. Klimaksnya terjadi pertempuran Ambon (Ambon battle), sejak 30 Januari hingga 3 Februari 1942. Pertempuran itu tidak saja melibatkan tentara Australia, tapi juga Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL).
Akibat serbuan itu Overstee Joseph Kapitz, yang mengkomandai pasukan Australia dan KNIL di Ambon menyerah dan ditawan Jepang. Tatkala tentara Australia meninggalkan Ambon di tahun 1946, maka Pemerintah Hindia Belanda menanamkan pengaruhnya di wilayah Indonesia Timur, dan mengambil alih kekuasaan di Ambon. Hal ini sebagaimana kesepakatan antara Pemerintah Hindia Belanda dan Sekutu sebelumnya.
Meresponi sikap Belanda yang menguasai Ambon kembali, maka para kaum nasionalis Ambon yang pro republik, berusaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia di wilayah Ambon. Langkah yang mereka tempuh adalah dengan membentuk Badan Pembela Indonesia (BPI), yang dipimpin oleh M.Q. Maruapey, dan Pemuda Republik Indonesia Maluku Ambon (PRIMA), yang dimpimpin oleh Abdul Kadir Tuakia pada Maret 1946.
Abdul Kadir Tuakia adalah salah seorang, dari kebanyakan pemuda Maluku kala itu, yang kemudian menggagas PRIMA. Ia berasal dari Pelau-Ori di Pulau Haruku. Kebanyakan anggotanya beragama Islam, yang rata-rata berasal dari Buton, Kei, serta yang terkonsentrasi di sekitar Pelau-Ori. Sebelumnya, pada masa pendudukan Jepang, ia menjadi anggota Heiho di Sulawesi Selatan sejak tahun 1943.
Tatkala berada di bagian selatan Pulau Sulawesi (Celebes Island) itu, dia juga turut terlibat dalam perlawanan mempertahankan Sulawesi Selatan. Keterlibatannya itu, karena dia telah mengintegrasikan dirinya kedalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR), seiring dengan dikeluarkannya maklumat Pemerintah Republik Indonesia pada 5 Oktober 1945, yang berisi tentang pembentukan tentara kebangsaan.
Dalam perjalanannya, PRIMA yang dipimpin Abdul Kadir Tuakia memiliki kontribusi, dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia di wilayah Ambon, dan wilayah sekitarnya. Hal ini, dapat dilihat pada peristiwa 8 April 1946, dimana salah satu pemimpin PRIMA, Hamid Kodja dan beberapa temannya ; Adam Patisahusiwa, Abdulah Bin Thalib, dan Jamaludin Mahulete telah terlibat dalam peristiwa Namlea, dengan menyerbu Kantor Houfd Van Plastelyk Bestuur (HPB) di Namlea, dimana dalam peristiwa itu mereka berhasil merobek warna biru bendera Belanda, yang berada di tiang bendera di depan Kantor HPB Namlea, sehingga berubah menjadi bendera merah putih.
Bendera merah putih itu pun dikibarkan kembali di depan Kantor HPB Namlea, melalui proses upacara yang khidmat sekaligus menandai eksistensi kedaulatan Republik Indonesia di Bumi Bupolo. Berkibarnya bendera merah putih, membuat kegembiraan meliputi seluruh warga yang ada di Namlea kala itu. Selama empat hari kota Namlea dikuasai oleh merah putih.
Penyerbuan ini, diikuti pula dengan penyerahan kedaulatan dan kekuasaan dari Pemerintah Hindia Belanda, yang dipimpin oleh Kepala Kantor HPB G. Gaspers kepada Pimpinan Gerakan Merah Putih Adam Pattisahusiwa. Begitu pula pada 30 April 1946, PRIMA juga menghalangi perayaan hari ulang tahun Ratu Juliana di Ambon, akibatnya banyak anggota PRIMA yang ditangkap, kecuali Abdulmanaf Latuconsina wakil pimpinan PRIMA, yang berhasil lolos dari upaya penangkapan itu. Namun, persenjataan yang kurang, dan jumlah pasukan yang tidak sebanding dengan KNIL, membuat mereka mengalami kekalahan.
Konsekuensi dari aktivitas pergerkan Abdul Kadir Tuakia dalam menentang Pemerintah Hindia Belanda, yang kembali lagi di Ambon berdampak pada upaya pencarian, yang dilakukan oleh KNIL terhadapnya.
Pada suatu kesempatan, seperti yang dituturkan familynya, Abdul Kadir Tuakia lantas menghindar dari incaran Pemerintah Hindia Belanda, dengan bersembunyi di negerinya Ory pada salah satu dusun yang namanya Hawa.