Tak lama berselang, dia ditemukan KNIL pada tempat persembunyiannya itu, dia kemudian dibawa dengan paksa ke Ambon, dia lantas diperhadapkan pada majelis hakim di Ambon, untuk mempertanggungjawabkan berbagai aktivitasnya bersama PRIMA, yang menentang Pemerintah Hindia Belanda pada hari ulang tahun Ratu Juliana di Kota Ambon.

Tatkala dihadapan majelis hakim yang menyidangkannya, Abdul Kadir Tuakia mengenakan setelan baju putih dan celana putih, dengan mengenakan dasi berwarnah merah, yang bermakna merah putih, sebagimana warna dari sang saka merah putih bendera kebangsaan, dan kenegaraan Indonesia.

Ketika dia dipersilahkan berdiri, untuk memberikan penghormataan kepada majelis hakim yang mulia, sebelum sidang dimulai, dia pun berdiri bukannya untuk menghormati majelis hakim, yang tengah duduk dihadapannya. Namun sebaliknya Abdul Kadir Tuakia menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan suara keras, lantang dan berani dihadapan majelis sidang. Hingga majelis hakim pun mengetuk palu sidang keras, agar dia menghentikan lagu kebangsaan dan kenegaraan Indonesia itu, tapi dia tetap menyanyikannya dengan suara keras, lantang dan berani. Nasib mujur berpihak kepadanya, jika sidang itu tetap dilanjutkan kemungkinan besar nyawanya akan berakhir dihadapan regu tembak KNIL.

Beruntung pada 23 Agustus-2 November 1949 dilaksanakan Konferensi Meja Bunda (KMB), dimana poin pertama dari KMB ; Kerajaan Nederland menyerahkan kedaulatan atas Indonesia yang sepenuhnya kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat lagi dan tidak dapat dicabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat.

Seiring dengan janji penyerahan kedaulatan kepada RIS pada 30 Desember 1949, maka tak lama berselang Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang kala itu bertranformasi menjadi Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS), dibawah pimpinan Kolonel Alexander Evert Kawilarang kemudian mendarat di Ambon pada 28 September 1950, untuk melakukan operasi dalam rangka menumpas gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS), yang memproklamirkan kemerdekaannya pada 25 April 1950.

APRIS pun menguasai Ambon, sehingga Abdul Kadir Tuakia, yang kala itu masih mendekam di penjara akhirnya dapat bebas. Membaca kronik historic kiprah Abdul Kadir Tuakia di PRIMA adalah suatu kebanggaan, dalam upayahnya, yang gigih dan berani mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia di Ambon dari keinginan Belanda, yang tetap berkuasa di Ambon sebagai suatu wilayah integral, yang tidak terpisahkan dari Republik Indonesia.

Dia bersama kawan-kawannya di PRIMA telah menunjukkan dharma baktinya kepada ibu pertiwi, mulai dari Peristiwa 8 April 1946 di Namlea hingga pada 30 April 1946 PRIMA melakukan penghalangan hari ulang tahun Ratu Juliana di Ambon, dan sejumlah peristiwa heroik penting lainnya di saat revolusi fisik, yang tidak terekam dalam kronik historic kenegaraan dan kebangsaan kita. Di luar tiga peristiwa itu, masih banyak lagi peristiwa heroik, yang kemudian melibatkan PRIMA yang dipimpinan Abdul Kadir Tuakia didalamnya.

Dia telah melakukan apa pun, yang mampu dilakukannya, dengan selalu mempertaruhkan jiwa dan raganya, dalam berbagai momentum peristiwa penting tatkala revolusi fisik dulu, yang tak lain demi eksistensi kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, yang dicintainya. Hal ini, sebagaimana ungkapan Romain Rolland salah seorang penulis berkebangsaan Perancis, kelahiran Clamecy pada 29 Januari 1866, yang pernah diganjar Nobel Prize bidang sastra untuk karya utamanya Jean-Cristophe i 1915 bahwa, “pahlawan adalah seseorang yang melakukan apa yang mampu dia lakukan”.

Tatkala usai menghadapi revolusi nasional Indonesia, yang berlangsung sejak 17 Agustus 1945 hingga 27 Desember 1949, yang dinamikanya juga terasa sampai ke Ambon dan wilayah sekitarnya, Abdul Kadir Tuakia tetap mengabdikan dirinya dalam jajaran TNI Angkatan Darat (AD), dengan aktif pada Corps Polisi Militer (CPM).

Dia pun pernah mengemban jabatan sebagai Komandan CPM Ambon, Ternate, Manado, dan Komandan CPM Jember.  Hingga kemudian pada 29 Mei 1979, prajurit pejuang yang gagah berani pada berbagai front itu pun menghadap Sang Khalik, sebagai seorang kusuma bangsa, yang telah mendharma baktikan jiwa dan raganya bagi ibu pertiwi, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Jember (***)

Catatan :  M.J. Latuconsina, S.IP, MA (Pemerhati Sosial-Politik)