Kisah Wallace, Surat dari Ternate ‘Menghentak’ Charles Darwin
BERITABETA.COM - Ketika rilis perdana On the Origin of Species by Means of Natural Selection, karya ilmiah inovatif dari naturalis Inggris Charles Darwin diterbitkan di Inggris pada 24 November 1859, tak ada yang menyangka, ada sosok lain di balik maha karya itu.
Maha karya itu kemudian dikenal dengan teori Darwin yang menyatakan bahwa organisme dapat berevolusi secara bertahap melalui proses 'seleksi alam'.
Darwin mengemukakan organisme dengan variasi genetik yang sesuai di lingkungan akan cenderung dapat memperbanyak keturunan, dari pada oranisme dari spesies yang sama tetapi tidak memiliki variasi.
Ternyata, terbitnya buku karya Darwin itu dipicu sebuah konsep yang diusung oleh seorang ilmuwan yang memang belum dikenal dan pamornya tertutup Darwin saat itu.
Sosok ilmuan itu adalah Wallace, nama lengkapnya Alfred Russel Wallace. Ia seorang cendekiawan Inggeris yang namanya masyhur karena perjalanannya yang legendaris di Nusantara pada pertengahan abad 19.
Wallace lahir di Usk, Wales, tahun 1823, sebagai anak ke-delapan dari Sembilan bersaudara. Ia masuk sekolah dasar (Grammar School) di Hertford, tetapi karena kesulitan keuangan keluarganya, ia terpaksa berhenti di tahun 1836.
Ia kemudian mengikuti kakaknya William, bekerja sebagai surveyor, dan selanjutnya menjadi guru di Collegiate School, Leicester, yang dilakoninya hanya setahun.
Tahun 1848, ia ikut bersama seorang naturalis, Henry Walter Bates, ke Brazil di Amerika Selatan untuk mengoleksi spesimen biologi dari hutan-hujan Amazon.
Tetapi malang, kapal yang ditumpangnya pulang ke Inggeris tahun 1852, terbakar dan tenggelam di tengah perjalanan, dan sebagian besar koleksinya hilang.
Setelah terkatung-katung selama 10 hari di atas sebuah perahu kecil di Tengah Samudra Atlantik, ia akhirnya dapat diselamatkan oleh kapal yang melintas dekatnya.
Tetapi, pengalamannya di Brazil justru merupakan awal yang menggugahnya untuk bertualang ke bagian dunia lainnya yang tak kalah menantangnya.
Wallace melakukan perjalanan tidak hanya dengan kapal api yang ada di zaman itu. Ia pun mengarugi Nusantara dalam pelayaran dengan perahu tradisional dari Makassar hingga ke Dobo (Kepulauan Aru) Maluku pergi-pulang, dan menuliskan rekaman yang detail tentang perahu tradisional pada zaman itu.
Kisah perjalananya di Nusantara dilakukan-nya seorang diri dari 1854 hingga 1862. Pengembaraan-nya itu kemudian dituangkan dalam bukunya ‘The Malay Archipelago’ yang pertama kali diterbitkan tahun 1869. Buku ini kemudian populer dan menjadi literatur klasik dunia yang terus dicetak ulang sampai abad ke-21 ini.
Saat berada di Ternate (Maluku Utara), Wallace juga mempelajari konsep teori evolusi, yang mencoba menerangkan mekanisme terjadinya spesies (speciation).
Hobinya berinteraksi dengan alam yang sangat tinggi keanekaragaman hayatinya, membuatnya bertanya bagaimana spesies-spesies yang beragam itu bisa terjadi.
Pertanyaan itu terus-menerus mengusiknya. Di suatu hari, di bulan Februari 1858, ketika ia sedang menderita demam malaria, di gubuk pondokannya di Pulau Ternate (Maluku Utara), tiba-tiba ia bersorak karena merasa telah menemukan jawabannya.
Mungkin seperti Archimedes yang bersorak “Eureka, Eureka” ketika masuk ke bak mandi, air melimpah keluar, yang membuatnya menemukan jawaban mengenai berat jenis.
Atau seperti Newton yang kejatuhan buah appel, yang membuatnya menemukan rumus gravitasi (gaya berat). Wallace yang belum sembuh dari demamnya, masih berselimut di tempat tidurnya, segera bangun membuat catatannya.
Ia teringat akan buku karya Thomas Malthus, Essay on Population, yang menguraikan batas-batas pertumbuhan penduduk. Dengan latar belakang itu, ia sontak menemukan jawaban kuncinya yakni survival of the fittest, hanya yang terkuat yang bisa terus hidup.
Seleksi alami (natural selection) akan terjadi. Yang lemah, yang penyakitan, yang kalah cepat, yang kalah cerdik, akan tersingkir dengan sendirinya, dan menyisakan unsur-unsur yang lebih unggul untuk diwariskan.
Dua malam ia menuliskan konsep itu yang diberinya judul On the tendency of varieties to depart indefinitely from the original type. Naskah itu kemudian segera dikirimnya ke Charles Darwin di Inggeris.
Wallace mengharapkan agar Darwin dapat membacanya dan meneruskan juga ke Charles Lyell, seorang tokoh geologi yang ternama, untuk melihat kemungkinannya untuk diterbitkan.
Tetapi surat dari Wallace itu, yang kemudian terkenal sebagai “Ternate Paper” , justru membuat Darwin tersengat bahkan bagai tersambar halilintar di siang bolong.
Masalahnya, Darwin saat itu tengah menyelesaikan bukunya yang sudah digarapnya dengan susah payah sejak hampir 20 tahun tetapi belum juga rampung. Ia sudah meramalkan bahwa bukunya nanti akan menjadi “big book” yang menggemparkan.
Itu sebabnya ia sangat terperanjat ketika mengetahui bahwa kesimpulan yang akan ditulisnya dalam bukunya itu ternyata sama dengan yang dibuat oleh Wallace, suatu kebetulan atau koinsidensi.
Meskipun keduanya tidak saling mengenal dan masing-masing bekerja terpisah dalam jarak hampir separuh keliling bumi.
Pertanyaannya adalah, bersediakah Darwin yang telah mempunyai nama besar itu tiba-tiba disalip atau didahului oleh seorang muda, Wallace, pendatang baru yang selama ini tidak dikenal dalam lingkar elit ilmuwan Inggeris, apalagi Wallace bukan pula berasal dari keluarga dengan status sosial yang terpandang?
Disini tampak ada kemungkinan “rekayasa” di kalangan para elit ilmuwan di Inggeris untuk menepikan Wallace, dan lebih dulu menyelamatkan muka Darwin.
Atas desakan kuat tokoh ilmuwan besar Charles Lyell (geologist) dan Joseph Hooker (botanist), Darwin buru- buru menyelesaikan ringkasan bukunya yang kemudian dibacakan dalam sidang yang terkenal di forum Linnaean Society di London, tanggal 1 Juli 1858.
Tanpa sepengetahuan Wallace, makalahnya yang dikenal sebagai “Ternate Paper” dibacakan juga dalam forum itu sekedar untuk melengkapi presentasi Darwin. Itu pun judulnya telah diubah tanpa sepengetahuan penulisnya.
Di lain pihak, Wallace juga tak tahu kalau “Ternate Paper”-nya sudah dibacakan dalam sidang yang sangat bergengsi di Linnaean Society, sampai beberapa bulan kemudian.
Pada hari makalahnya dibacakan di Linnaean Society di London, Wallace malah masih sedang mengejar kupu-kupu di belantara Manokwari, Papua. Setahun kemudian (1859) barulah karya monumental Darwin “The origin of species” diterbitkan.
Wallace sendiri, menyadari posisinya, tidak merasa sakit hati pada Darwin. Ia malah merasa ada hikmahnya bahwa namanya ikut terbawa oleh Darwin. Siapa pula yang akan mendengarkannya sebagai seorang pemula dalam lingkar ilmuwan, dibandingkan dengan sosok Darwin yang namanya telah benderang bagai matahari?
Wallace tetap sangat menghargai Darwin, bahkan dalam bukunya yang sangat populer “The Malay Archipelago” (1860) di halaman depannya ditulisnya: To Charles Darwin, author of “The Origin of Species” I dedicate this book not only as token of personal esteem and friendhip but also to express my deep admiration for his genius and his works”.
Wallace, yang dipandang sebagai penemu bersama (co-founder) teori evolusi, Namanya kurang terdengar karena selalu berada di bawah bayang-bayang Darwin yang sudah menyandang nama besar.
Ia juga sangat menghargai Darwin dan karya-karyanya, hingga tahun 1889 ia pun menulis buku berjudul “Darwinism” meskipun ia tak selalu sepaham dengan Darwin.
Tetapi sebagian orang menilai, bila saja Wallace mendapat perlakuan yang fair (adil) di Linnaean Society atas asas prioritas, bukan tak mungkin ide terobosan tentang teori evolusi berdasarkan seleksi alami (natural selection) itu lebih dikenal orang bukan bermula dari pengamatan di Kepulauan Galapagos oleh Darwin, tetapi dari Pulau Ternate, Maluku Utara, oleh Wallace.
Dengan kian dilupakannya nama Wallace, makin dilupakan pula peran bumi Nusantara yang memberi sumbangan pencetusan teori evolusi.
Ketika Wallace meninggal, ia telah menulis lebih 20 buku dan sekitar 700 artikel yang sudah dipublikasikan. Namanya hingga kini banyak digunakan atau diacu untuk berbagai tujuan, seperti nama yayasan, nama ekspedisi, dan sebagainya.
Kisah Wallace dengan maha karyanya ini membuatnya makin dikenal. Natural History Museum, London, mengkoordinasikan acara-acara peringatan seabad Wallace di seluruh dunia dalam proyek 'Wallace100' pada tahun 2013.
Pada 24 Januari potret dirinya diresmikan di aula utama museum tersebut oleh Bill Bailey, seorang pengagum beratnya. Dalam sebuah program BBC Two berjudul "Bill Bailey's Jungle Hero", Bailey mengungkapkan bagaimana Wallace memecahkan evolusi dengan mengunjungi kembali tempat-tempat di mana Wallace menemukan spesies eksotik.
Episode pertama menampilkan orang utan dan katak terbang dalam perjalanan Bailey di Pulau Kalimantan. Episode kedua menampilkan burung cenderawasih.
Pada tanggal 7 November 2013, saat peringatan 100 tahun wafatnya Wallace, David Attenborough meresmikan sebuah patung Wallace di museum tersebut. Patung tersebut disumbangkan oleh A. R. Wallace Memorial Fund, dan dipahat oleh Anthony Smith.
Wallace dirupakan dalam patung tersebut sebagai seorang pemuda yang sedang melakukan pengumpulan. Bulan November 2013 juga ditandai dengan penayangan perdana The Animated Life of A. R. Wallace, sebuah film animasi boneka kertas yang didedikasikan untuk peringatan seratus tahun Wallace.
Di Indonesia, salah satunya acara juga digelar pada tangal 10-13 Desember 2008 di Makassar yakni Konferensi Internasional “Alfred Walter Wallace and the Wallacea” untuk mempeingati 150 tahun surat Wallace dari Ternate (“Ternate Paper”) yang didukung oleh AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia), LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan Yayasan Pengembangan Wallacea.
Pada kesempatan itu dibacakan Deklarasi Ternate (disusun di Ternate 2 Desember 2008) yang salah satu butirnya adalah komitmen Pemerintah Kota Ternate untuk membangun monumen Wallace di Ternate, memberikan tempat terhormat bagi sang penjelajah yang pemikirannya menjangkau jauh dari zamannya (*)
Pewarta : dhino pattisahusiwa
Sumber : wikipedia.org, liputan6.com dan oseanografi.lipi.go.id