Legenda ‘Putri Duyung’ dari Ambon yang Menggemparkan Eropa

BERITABETA.COM – Bulan Juni Tahun 1706, seorang serdadu asal Belanda tiba di Ambon, Maluku dalam sebuah pelayaran. Ia baru saja memulai karir sebagai krankbezoeker (pendeta pembantu) yang dipercayakan untuk menghibur orang-orang sakit di Ambon.
Oleh pemerintah Belanda, serdadu itu ditempatkan di pos utama penjagaan benteng Victoria. Namanya Samuel Fallours. Ia warga Belanda kelahiran Rotterdam.
Samuel memulai petualangan-nya dengan berlayar dari Goere, Belanda dengan menaiki kapal The Belois yang dinakhodai oleh Jacob van Belle, dan tiba di Batavia (Jakarta) pada tanggal 13 Desember tahun 1703.
Ia tinggal di Batavia hingga akhir tahun 1705, namun pada Juni 1706 ia ditugaskan sebagai serdadu di Ambon.
Selama kediamannya di Ambon (1706-1712), Samuel berkesempatan menyalurkan bakat seninya dengan membuat banyak lukisan yang indah dengan objek utama biota laut sepeti ikan,kepiting, dan udang. Selain itu ada juga tentang serangga.
Ketertarikannya pada biota laut itu didorong oleh kenyataan bahwa biota laut yang dijumpainya di Ambon sangat beragam dan indah, sangat berbeda dengan apa yang ada di negerinya di Belanda.
Lukisan-lukisannya dengan warna-warni yang indah banyak menjadi koleksi para elit Kompeni dan para hartawan di Belanda.
Samuel mengklaim bahwa lukisan-lukisannya tentang biota laut di Ambon itu dibuat berdasarkan apa yang diamatinya dalam alam aslinya. Namun dalam kenyataannya tidaklah selalu seperti itu.
Gambar-gambar yang dibuatnya kemudian dikumpulkan oleh Louis Renard terdiri dari 100 lembar dengan 415 gambar ikan dan 41 krusta sea yang kemudian dicetak di Belanda tahun1 719 dengan judul “Poissons, Ecrevisses et Crabes de Diverses Couleurs et Figures Extraordinaires” (Ikan, Udang dan Ketam dengan Aneka Warna dan Bentuk yang Luar Biasa).

Salah satu lukisannya yang banyak menarik perhatian adalah mengenai dugong (duyung), yang sering dirujuk sebagai lukisan tertua di Indonesia yang berkenaan dengan mamalia laut ini, yang diberinya judul “Sirenne”.
Samuel Fallours menyatakan bahwa ia telah mengamati satu mahluk aneh yang disebutnya sebagai “Sirenne”, yang dicoba pelihara dalam suatu bak sampai akhirnya mati setelah empat hari kemudian.
Disebutkan bahwa mahluk aneh ini tertangkap di Pulau Buru yang masih termasuk Propinsi Ambon ketika itu. Panjangnya adalah 59 inci (sekitar 1,5 m) dan bentuknya memanjang.
Kadang kala mahluk itu mengeluarkan suara mencicit seperti suara tikus. Telah dicoba untuk memberinya makan berupaikan kecil, kerang, ketam, dan lain-lain, tetapi ditolaknya.
Samuel mengaku setelah mengamati tentang hewan laut itu. Ia pun memberikan kesimpulan bahwa mahluk ini bukan lah ikan, tetapi mempunyai banyak persamaan dengan manusia.
Pengamatannya dan imajinasinya dipadu dan diperkaya dengan dongeng tentang duyung yang berupa mahluk setengah manusia dan setengah ikan.
Ia akhirnya menghasilkan lukisannya yang diberinya judul “Sirenne” yang memang berpenampilan setengah perempuan dan setengah ikan.
Syrenne dalam bahasa Inggris, diterjemahkan sebagai “Mermaid” yang kalau diterjemahkan secara literal berarti “putri laut” atau putri duyung yang dikenal sebagai makhluk mitologis yang dalam puisi-puisi kuno.
Dari catatan terjemahan ilmuwan Theodore. W. Pietsch yang dikutip dari blog Saparua menyebutkan ‘kemunculan putri duyung” di perairan Maluku, khususnya pada wilayah kekuasaan Gubernemen Ambon pada abad ke-18 (1700an), telah banyak menyita perhatian dan menimbulkan “perdebatan” di kalangan ilmuwan Eropa pada masa itu.
Theodore kemudian menceritakan masa -masa itu melalui artikel memukau tentang kisah dan karya Samuel berjudul ‘Samuel Fallours and his “Sirenne” from the province of Ambon’.
Theodore berkisah, Samuel Fallours, pada tahun 1712, telah mendapati “makhluk aneh” dari putranya yang membeli dari seorang “hitam” di pulau Buru.
Ia sempat memeliharanya selama 4 hari dalam bak air di rumahnya di Ambon dan “menemukan” bahwa itu mirip seorang wanita, kemudian menggambarnya.
Informasi itu kemudian sampai ke telinga Gubernur Ambon pada masa itu, Adriaen van der Stel. Sang gubernur memintanya. Hasil lukisan makhluk itu, kemudian dikirim Samuel Fallours ke Eropa. Dan kisah “menggemparkan” itu mulai jadi “perdebatan” di Eropa.
Pietsch juga menulis beberapa informasi yang sangat menarik tentang “kemunculan” putri duyung itu di Ambon. Ia menyebut bahwa 10 tahun sebelumnya (mungkin antara 1700 – 1702), putri duyung itu muncul di Nusalaut dan ditangkap. Kali ini berjenis kelamin laki-laki.
Selain itu, Pietsch juga menuturkan kesaksian dari Abrahamus Parent, seorang pendeta yang pernah bertugas di Honimoa (Saparua) sejak Februari 1704 – Desember 1706.
Pendeta itu menyebut pada suatu waktu pernah melihat kemunculan putri duyung, saat melakukan perjalanan mengunjungi gereja-gereja dan sekolah dari negeri Hulaliu ke negeri Kariu.
Setelah Gubernur Ambon, kira-kira awal tahun 1703, kemampuan artistik Samuel Fallours diketahui oleh beberapa pejabat penting yang juga berdinas di VOC. Diantaranya adalah Balthasar Coyett, Gubernur van Ambon pada periode 1701 – 1706, yang suka memesan lukisan-lukisan hingga pengunduran dirinya.
Pengganti Coyett, Adriaen van der Stel, Gubernur Ambon hingga kematiannya pada tahun 172010, juga terbukti tertarik pada objek-objek sejarah alam dan memanfaatkan bakat Samuel Fallours dengan baik.
Selain para gubernur itu, figur-figur lainnya juga memiliki minat luar biasa melalui himpunan koleksi “barang-barang antik” pribadi.
Salah satunya, yang paling penting adalah mungkin Francois Valentijn, yang mengajarkan Injil pada kongregasi Belanda di Ambon selama kira-kira 12 tahun, dan pastilah menjadi atasan dari Samuel Fallours.
Menyadari hasrat besar pada figur-figur lukisannya diterima dengan baik, Samuel membuat, atau menyewa seniman lokal untuk membuat salinan tambahan dari pekerjaannya, yang mana ia jual atau persembahkan sebagai hadiah kepada orang-orang berpengaruh di Eropa.
Hasil dari seluruh aktivitas ini adalah produksi dari beberapa koleksi yang kira-kira lukisan-lukisan serupa, beberapa koleksi menggambarkan sekitar 528 hewan, termasuk ikan dan udang-udangan, serangga (kumbang dan serangga bertongkat), kadal, dugong atau putri duyung.
Seiring waktu berjalan, karya Samuel banyak diketahui, menyimpang dengan mengubah tampilan objek lukisannya mengikuti imajinasinya atau khayalannya sendiri agar lukisannya tampak lebih menarik.
Jadilah banyak tampilan lukisan biota laut yang dibuatnya tidak lagi mencerminkan bentuk dan warna yang sebagaimana aslinya tetapi telah menampung imajinasi atau khayalannya. Ia lebih merupakan pelukis surealis yang tak mau terkekang oleh berbagai aturan dan logika.
Karya besar ini dilihat dari segi artistik dan kesejarahan merupakan salah satu karya terbaik yang pernah ada dalam kaitannya dengan sejarah alam (natural history), meskipun ilustrasi detailnya banyak yang kurang cermat.
Tak kurang kritik dilontarkan terhadap lukisan Fouler ini karena telah mencampur-adukkan kenyataan dan imajinasinya.
Tetapi sebagian ilmuwan kontemporer tetap menghargainya karena dari lukisannya tentang ikan misalnya, sampai kini pun sebagian besar masih dapat dikenali dan diidentifikasi sampai ke tingkat genus ataupun spesies.
Bagaimana pun, lukisannya telah memberi sumbangan akan perjalanan sejarah alam kita,khususnya mengenai lingkungan Ambon dan sekitarnya.
Salah satu lukisannya Sirenne yang sering dirujuk sebagai lukisan tertua di Indonesia yang berkenaan dengan mamalia laut ini (*)
Editor : Redaksi
Sumber : negerisaparua.blogspot.com/ oseanografi.lipi.go.id