Oleh : Muh. K. Ramdhani Pelupessy (Magister Psikologi Sains Universitas Negeri Yogyakarta)

SEJAK gempa berkekuatan 6,5 magnitudo melanda Pulau Ambon dan sekitarnya, Kamis,  26 September 2019, tak sedikit yang mengalami perasaan takut dan traumatis pasca gempa.

Setelah gempa kemarin, banyak yang mengalami halusinasi akibat post-traumatic stress disorder (PTSD), seperti perasaan takut ketika mendengar suara gemuruh dan lain-lain. Bahkan, suara yang terdengar dari gesekan daun-daun di pohon pun dikira suara gempa padahal bukan gempa.

Sindrom psikologis ini, jika tidak ditangani secara serius, akan berdampak pada turunnya tingkat bahagia. Perasaan bahagia yang rendah akan berdampak pada turunnya kualitas hidup. Kualitas hidup yang rendah akan berdampak pada naiknya angka kematian.  Untuk itu, penanggulangan PTSD setelah bencana alam gempa harus dipandang serius oleh semua pihak.

Kenapa penanggulangan trauma pasca bencana gempa ini penting dibahas sekarang? Jawabannya ialah karena Maluku dan sekitarnya masuk dalam ring of fire. Selain itu, Maluku juga termasuk daerah rawan gempa dan tsunami karena terletak pada pertemuan tiga lempeng besar yakni Pasifik, Indo Australia dan Eurasia (Hananto,  https://beritabeta.com/news/iptek/terjadi-284-kali-gempa-susulan-di-maluku-ini-penjelasan-ahli/).

Karena Maluku termasuk daerah yang rawan gempa, maka jawaban atas proses penanggulangan bencana (gempa) harus di pandang serius, terutama dari aspek psikologis.

Ahli Psikologi Bencana lulusan Universitas Leeds Beckett, Inggris, Nuryanti  dalam kuliah umum di UGM tahun 2015 lalu mengatakan bahwa bencana merupakan hasil interaksi antara tingkat bahaya dan kerentanan. Tingkat bahaya ini adalah gempa, longsor, banjir, kebakaran hutan, dst.

Sedangkan kerentanan ialah dampak dari gempa yakni hancurnya bangunan fisik, turunnya angka demografi yang disebabkan jatuhnya korban jiwa (meninggal, luka-luka, dst), serta gangguan ekonomi. Hasil interaksi antara tingkat bahaya dan kerentanan ini akan berdampak pada gangguan psikologis individu yakni PTSD.

Belakangan, titik fokus paling dominan dalam proses penanggulangan bencana ialah bantuan material seperti terpal, kompor, dan sejumlah peralatan lainnya. Begitu pula bantuan kesehatan fisiologis seperti makanan, obat-obatan.

Sepertinya bantuan psikologis sangat jarang tersentuh. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Nuryanti, bahwa hingga tahun 1990-an, paradigma kebencanaan terbagi menjadi dua, yaitu : Pertama,   paradigma teknokratik yang menangani bencana dari segi teknis dan kedua,  paradigma struktural yang berfokus pada kerentanan (bantuan material dan kesehatan).

Akhir-akhir ini, kedua paradigma tersebut mulai bergeser menjadi MutuallyParadigm, paradigma yang memfasilitasi psikologi untuk ikut dalam penanganan kebencanaan.

Berdasarkan ulasan singkat di atas, maka dapat dikatakan bahwa secara teoritik yakni Mutually Paradigm, serta secara praktis bahwa Maluku termasuk daerah rawan bencana, maka posisi psikologi bencana patut mendapat perhatian. Baik oleh pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang concern terhadap penanggulangan bencana. Untuk selanjutnya, dibawah ini akan di terangkan secara praktis bagaimana pendekatan psikologis dalam penanggulangan bencana.

Salah satu usaha yang dilakukan untuk mencegah dampak setelah bencana (Seperti: PTSD) adalah psychological first aid (PFA) atau dukungan psikologis awal. PFA dilakukan terbatas hanya tenaga profesional seperti psikolog dan psikiater yang dapat melakukan intervensi psikologis segera setelah bencana atau peristiwa traumatik terjadi.

Intervensi psikologis (PFA) ini pernah digunakan oleh Jackie Viemilawati dan pegiat Yayasan Pulih di Aceh tahun 2004 silam setelah bencana tsunami, dan positifnya ialah mereka berhasil menurunkan perasaan traumatis pada korban bencana tsunami Aceh.

Menurut Jackie bahwa untuk menangani gejala traumatis setelah bencana ialah dengan memberikan dukungan psikososial. Upaya ini digunakan untuk melepaskan seseorang dari rasa takut terhadap bencana yang akan muncul di kemudian hari. Misalnya, takut mendengar suara gemuruh yang disebabkan gesekan daun-daun dari pohon yang dikira gempa padahal bukan gempa, maka perasaan takut ini bisa diturunkan melalui pemberian dukungan psikososial dengan pernyataan, “Suara yang terdengar itu adalah suara gesekan daun-daun pohon bukan gempa, dan Anda sangat pandai membedakan mana suara gempa dan gesekan daun-daun dari pohon!”. Dengan pernyataan seperti ini dapat menurunkan perasaan traumatis dari korban bencana alam.

Metode intervensi psikologis lainnya yang dapat menurunkan perasaan traumatis setelah bencana ialah menyesuaikan dengan konteks kultural-agama setempat.  Misalnya, yang pernah dilakukan Bram dan timnya pada masyarakat Aceh tahun 2004 lalu, yakni dengan menyutikkan pernyataan ke dalam pikiran masyarakat seperti, “Jika jantung Anda berdebar maka relaksasi dilakukan dengan berdzikir sambil atur pernapasan”.  Menanamkan kalimat-kalimat “positif” seperti itu juga dapat menurunkan perasaan traumatis.

Itulah langkah-langkah teknis dalam penanggulangan bencana bagi korban yang mengalami perasaan traumatis dari segi psikologis. Pendekatan psikologis dalam penanggulangan bencana ini sangat penting, terutama di Maluku karena termasuk daerah rawan bencana.

Semoga di masa mendatang, pendekatan psikologis ini mendapat perhatian dari semua pihak, tanpa melupakan pendekatan material seperti bantuan fisik  serta kesehatan (***)