Hoaks & Bocoran Psikologis, Harus Mendapat Perhatian
Oleh : Muh Kashai Ramadhani Pelupessy (Magister Psikologi)
ADA pepatah kuno mengatakan, “Meskipun kesalahan lari secepat kilat, tapi suatu saat kebenaran pasti mengalahkannya”. Artinya, informasi-informasi yang salah pasti akan kalah dengan informasi yang benar. Oleh sebab itu, kita harus berpegang pada informasi yang benar saja.
Saat ini, kita hidup di dalam dunia tanpa batas. Beragam informasi bisa kita peroleh dari mana saja. Entah dari facebook, whatsapp, instagram, dll.
Hampir setiap hari kita dipapar oleh berjuta informasi, baik tentang politik, sosial, ekonomi, bahkan gejala alam. Akibatnya, situasi ini membuat kita menjadi pribadi yang tahu “sedikit” hal dari banyak hal yang ada.
Anehnya, dari “sedikit” hal yang diketahui ini membuat kita percaya dan menganggapnya sebagai kebenaran yang tidak bisa di ganggu-gugat (taken for granted). Padahal, pengetahuan yang “sedikit” ini belum tentu benar sebagaimana mestinya.
Ambil contoh, informasi tentang pulau Maluku yang bakal tenggelam akibat gempa. Saat kita cek informasi tsb, rupanya mengandung kesalahan yang sangat fatal.
Informasi yang salah itu kita sebut “berita hoaks”. Individu yang membuat berita hoaks memiliki motif cukup beragam. Psikiater Griffith mengatakan bahwa ada dua motif dari si pembuat berita hoaks. Pertama, motif mencari keuntungan finansial., dan kedua sekedar bersenang-senang.
Akibat dari berita hoaks itu, akhirnya membuat si penerima informasi mengalami kerugian yang cukup besar. Kerugiannya bukan hanya pada si penerima informasi, bahkan individu yang “membantu” menyebarkan berita hoaks pun juga mengalami kerugian yang sama. Terutama kerugian secara psikologis.
Secara psikologis, bagi si penerima berita hoaks akan mengalami sindrom ketakutan. Ketakutan ialah bagian dari kecemasan. Individu yang cemasnya tinggi dapat turun rasa bahagianya.
Kebahagiaan yang rendah akan berakibat pada turunnya kualitas hidup. Kualitas hidup yang rendah berakibat pada kematian. Inilah fatalnya. Sedangkan, individu yang “membantu” menyebarkan berita hoaks mengalami ‘cognitive biases’, yakni sandaran kepercayaan yang salah kepada orang lain. Padahal, orang yang dipercayai itu belum tentu benar seratus persen. Hal ini akan sangat merugikan kondisi psikologisnya di kemudian hari.
Berdasarkan ulasan tsb, maka terlihat ada tiga klasifikasi individu yang secara psikologis mengalami kerugian yang cukup besar. Pertama, individu yang membuat berita hoaks. Motif psikologisnya ialah bersenang-senang dan meraih keuntungan finansial. Motif ini, dalam istilah psikologi pendidikan dinamai “bullying”, tapi dalam konteks sosial dapat di sebut “social bullying”.
Bullying adalah perilaku merugikan orang lain demi keuntungan diri sendiri. Secara psikologis, pelaku bullying memiliki harga diri dan empati yang rendah. Artinya, pelaku bullying mengalami kerugian psikologis yang sangat memprihatinkan.
Kedua, individu yang “membantu” menyebarkan berita hoaks. Sebagaimana ulasan sebelumnya, bahwa motif psikologisnya ialah “cognitive biases”. Yaitu kecenderungan yang salah mempercayai orang lain. Secara psikologis juga mengalami kerugian yang fatal.
Ketiga, individu yang menerima berita hoaks akan mengalami ketakutan. Bahkan sampai berakibat pada kematian. Artinya, secara psikologis juga mengalami kerugian yang sangat fatal.
Dari simtom-simtom psikologis yang berakibat fatal itu, maka untuk pengambil kebijakan (dalam hal ini, pemerintah), selanjutnya ialah tidak hanya fokus pada si pembuat berita hoaks. Melainkan juga pada individu yang membantu menyebarkan berita hoaks sekaligus si penerima berita hoaks.
Untuk selanjutnya, mungkin pusat-pusat rehabilitasi psikologis dalam menangkal berita-berita hoaks ini harus segera di upayakan. Kalau tidak, kita semua akan mengalami kerugian psikologis (bocoran psikologis) yang sangat fatal di kemudian hari. Hal ini karena kita hidup di dalam dunia tanpa batas sebagaimana penjelasan di atas.
Itulah ulasan singkat mengenai bahaya berita hoaks dari perspektif psikologis. Semoga di masa depan, ulasan ini mendapat perhatian penuh dari pengambil kebijakan, LSM, dan lainnya. (***)