Peraih Nobel Ini, Prediksi Pandemi Virus Corona Tak Lama Lagi Berakhir
BERITABETA.COM – Virus Corona (COVID-19) terus menjadi isu utama di belahan dunia. Seanteru dunia kini dalam ketakutan, menyusul belum adanya kepastian kapan ancaman virus itu akan berakhir. Apalagi, otoritas kesehatan dunia (WHO) telah menetapkan penyebaran virus Corona sebagai pandemi.
“Fakta bahwa kasus baru yang sedang diidentifikasi berjalan lebih lambat daripada jumlah kasus baru itu sendiri. Ini adalah tanda awal bahwa lintasan wabah telah bergeser. Sehingga, tingkat peningkatan jumlah kematian akan melambat pada pekan-pekan mendatang,”
Sejumlah ilmuwan dan ahli virus bekerja ekstra dan bergerak cepat. Gerakan cepat yang dilakukan para ilmuwan tersebut adalah respon untuk meneliti apa yang membuat virus corona bisa berkembang begitu cepat.
Selain itu juga untuk mecari vaksin yang tepat untuk segera membuat wabah ini segera berakhir. Namun apa yang ditemukan oleh para peneliti di lapangan mengenai perkembangan COVID-19 itu ternyata membuat banyak pihak ketar-ketir.
Di tengah kabar mencemaskan mengenai wabah virus corona di berbagai negara, masih ada sejumlah kabar yang menenangkan hati.
Hal itu bermula dari analisis seorang ilmuwan yang pernah memenangkan Nobel sekaligus ahli biofisika mengenai virus ini. Bahkan analisisnya mengenai COVID-19 sebelumnya juga dikatakan sangat akurat seperti apa yang terjadi di China beberapa waktu yang lalu.
Ahli biofisika Stanford, Michael Levitt ternyata memiliki pandangan berbeda dengan banyak ahli virus yang kini sedang menunjukkan konsentrasinya untuk meneliti virus yang bermula dari Wuhan, China ini.
Meski ilmuwan lain memprediksi virus corona akan berkembang lumayan lama di berbagai wilayah, Levitt justru memperkirakan virus tersebut akan segera berakhir.
Pada awal merebaknya virus corona di China bulan Desember dan memuncak pada bulan Januari lalu, Levitt memprediksi apa yang akan terjadi di China pada waktu itu.
Apa yang diprediksinya itu ternyata sangat akurat dengan fakta yang terjadi di China pada waktu tersebut. Saat ini, dia memperkirakan, situasi serupa akan terjadi di Amerika Serikat dan negara-negara lain di dunia yang terdampak corona.
Jika sejumlah ahli epidemiologi memprediksi akan ada gangguan sosial besar-besaran dan berkepanjangan serta jutaan kematian, analisis Levitt justru berkebalikan dengan skenario mengerikan itu.
“Yang kita butuhkan saat ini adalah mengendalikan kepanikan. Dalam skala besar, kita akan baik-baik saja,” katanya, seperti dilansir dari LA Times.
31 Januari, China mencatat 46 kasus kematian baru karena Covid-19 dan 42 kematian baru sehari sebelumnya. Meski jumlah kematian meningkat setiap harinya, tetapi tren kenaikan itu perlahan mereda.
Dalam pandangannya, fakta bahwa kasus baru yang sedang diidentifikasi berjalan lebih lambat daripada jumlah kasus baru itu sendiri adalah tanda awal bahwa lintasan wabah telah bergeser.
Dampak yang disebabkan oleh merebaknya virus corona pada penduduk dunia itu ia ibaratkan seperti mobil yang melaju di jalan raya.
“Ini menunjukkan bahwa tingkat peningkatan jumlah kematian akan melambat pada pekan-pekan mendatang,” tulis Levitt dalam sebuah laporan yang dikirim kepada teman-temannya, 1 Februari lalu, yang secara luas dibagikan di media sosial China.
Hal itu pula yang menjadi rujukannya memperkirakan jumlah kematian akan berkurang setiap harinya. Tiga minggu setelahnya, Levitt mengatakan kepada China Daily News bahwa tingkat pertumbuhan virus telah memuncak.
Dia memperkirakan bahwa jumlah total kasus Covid-19 yang terkonfirmasi di China akan mencapai sekitar 80.000, dengan sekitar 3.250 kematian.
Perkiraan ini ternyata sangat akurat. Pada 16 Maret, total kasus Covid-19 di China tercatat sejumlah 80.298 kasus dan 3.245 kematian, dengan total penduduk negara mencapai 1,4 miliar orang dan sekitar 10 juta penduduk meninggal setiap tahunnya.
Jumlah pasien yang baru didiagnosis telah turun menjadi sekitar 25 setiap harinya, tanpa ada kasus penyebaran yang dilaporkan sejak Rabu.
Peraih Nobel tahun 2013 untuk pengembangan model kompleks sistem kimia itu melihat adanya titik balik serupa di berbagai negara lain. Bahkan, titik balik itu juga diprediksi akan terjadi pada negara yang tak memberlakukan aturan isolasi total seperti di China.
Kesimpulan itu didapat setelah Levitt menganalisis data dari 78 negara yang melaporkan ada kasus Covid-19. Bukan jumlah total kasus yang menjadi fokusnya di suatu negara, tetapi lebih pada jumlah kasus baru yang teridentifikasi setiap harinya.
“Angka-angkanya masih tinggi, tetapi jelas ada tanda-tanda pertumbuhan melambat,” katanya.
Namun Levitt memprediksi kasus Covid-19 di Itali masih akan terus meninggi.
Dia mengakui bahwa angka-angka tersebut memang masih berantakan dan jumlah kasus resmi di banyak negara terlalu rendah karena sistem pengujian sangat buruk. Tetapi walau dengan data yang tidak lengkap, tren penurunan itu bisa ia prediksi akan konsisten lantaran adanya beberapa faktor penentu. (BB-DIO)