Oleh :  Mukjizat Sengan (Mahasiswa Jurusan Ekonomi Syariah, IAIN Ambon)

COVID 19 melanda dunia dalam beberapa bulan terakhir, wabah ini bermula dari Negeri Jiran selanjutnya menjalar begitu cepat ke seluruh penjuru dunia, akibat dari interdepedensi antar wilayah dan Negara yang terhubung tanpa batas, ditandai dengan tingginya mobilitas warga dunia.

Pola penanganan oleh beberapa Negara yang sangat populer adalah mengunci pergerakan penyebaran virus dengan melakukan lock down, dimana warga tidak perkenankan untuk melakukan kegiatan sambil penanganan dilakukan oleh tim medis terhadap warga yang telah terjangkit.

Sekarang bagaimana dengan kita di Indonesia sebagai Negara dunia ketiga yang wilayahnya terdiri dari pendesaan, baik itu desa pesisir atau desa pendalaman. Bisa jadi jalan keluarnya adalah memaksimalkan potensi pedesaan dan potensi gotong royong atau aksi kolektif rakyat.

Keputusan Gubernur no 148/2020 tentang  Status Tanggap Darurrat Covid 19, maka shalat jum’at untuk sementara belum bisa dilaksanakan dan diganti dengan sholat dhuhur di rumah masing masing. Keputusan ini juga diperkuat dengan hasil rapat antara RT/RW dengan MUI Provinsi Maluku dan MUI Kota Ambon dengan himbauan kepada kaum muslimin seperti seruan di atas.

Hal ini juga senada dengan pernyataan Al-Qur’an tentang “Taatilah Allah, Taatilah Rasul dan Ulil Amri”. Semoga dengan taatnya kita insya Allah kita bebas dari COVID 19.

Sejatinya, lockdown barulah kita ketahui tetapi jauh sebelum itu Al-Qur’an telah menceritakannya. Lihatlah ketika seekor semut merasakan adanya bahaya yang akan mengancam penduduk kampungnya lantas ia berkata,

“Udkhuluuu Masaakinakum” (Q.S. Naml: 19)  yang artinya Masuklah ke dalam rumah-rumah kalian.

Secara pikiran logis kita, pimpinan dari bangsa semut saja mampu mengintruksikan kepada kelompok semut untuk melakukan lockdown ketika bahaya mengancam, apalagi manusia yang dibekali dengan akal yang mampu membedakan kita dengan kelompok hewan lainnya, maka kedepankanlah akal untuk berpikir jernih agar kita tidak terjebak.

“Saya tidak takut corona, hanya takut Allah”. Kalimat ini kelihatannya benar dan menggambakan keimanan mereka yang tinggi, tapi sebenarnya “syarat akaan paham jabariyah” dalam kajian Aqidah.

Lalu bagaimana dengan keimanan Baginda Nabi yang mengatakan “Larilah engkau dari lepra sebagaimana larinya engkau dari singa,” (H.R. Bukhari). Apakah keimanan mereka lebih tinggi dari keimanan Baginda Nabi ? Bahkan ada sebagian yang mengatakan bahwa; mesjid adalah rumah Allah, tak mungkin Allah turunkan wabah-wabah di rumah-Nya, maka fatwa para ulama itu keliru.

Itupun tampak manis didengar dan keluar dari bibir mereka, tapi bagaimana dengan sabda Nabi  bahwa : Janganlah kalian mencampurkan antara yang sakit dengan yang sehat (H.R. al-Bukhari), hadits ini umum dan berlaku di semua tempat.

Tapi tampaknya di wilayah kita aman-aman saja, semoga kalimat ini benar sesuai fakta. Tapi, disisi lain ahli virus mengatakan bahwa Corona adalah wabah dengan sifatnya yang mudah tersebar dengan inkubasi yang cukup panjang, sehingga orang yang terpapar baru akan ketahuan setelah 14 hari.

Fenomena kalimat-kalimat di atas merupakan bentuk bagaimana otoritas keilmuan tak lagi diharrgai, baik ilmu agama maupun sains  dan ironisnya hal itu dilakukan dengan bungkusan agama.

Tak mungkin para ulama berfatwa tanpa didasari pemahaman ilmu agama yang kuat. Mesir, Saudi Arabia, Kuwait adalah negara-negara yang lebih dahulu mengeluarkan fatwa berkaitan dengan ibadah jum’at selama wabah corona berlangsung. Mereka berfatwa dengan ilmu, ratusan hadits mereka hafal.

Tak perlu ditanya mengenai hafalan Qur’an mereka, jangankan ulama, disana orang biasa yang bukan ulama saja  mampu menghafal Al-Qur’an. Para ulama sangat paham bagaimana Himayatun Nafs yang merupakan salah satu cabang Maqashid Syariah.

Perbandingannya bahwa dalam hal ilmu agama dan penguasan dan hafalan tehadap Al-Qur’an pasti sedikit berbeda, para ulama berfatwa berlandaskan pada pengetahuan mendalam mereka mengenai ilmu agama dan satu mendengarkan keterangan ahli virus yang merupakan perwujudan dari ilmu pengetahuan.  Jadi merendahkan fatwa mereka sama saja dimaknai sebagai meragukan  otoritas ilmu agama dan sains sekaligus.

Situasi yang terjadi di Kota Ambon adalah dilema yang terjadi pada masyarakat. Apakah harus mengikuti himbauan dari MUI Provinsi Maluku, MUI Kota Ambon yang dibijaki oleh RT/RW se- Kota Ambon?.  Ataukah tetap pada pendirian bahwa harus melaksakan ibadah sholat jum’at secara berjamaah di mesjid, atau melaksanakan sholat dhuhur secara berjamaah di mesjid ?

Dilema inilah yang membuat sebagian mesjid di Kota Ambon mengikuti himbauan dengan tidak melaksanakan sholat jum’at dan sebagian juga tidak mengikuti himbauan dan tetap  melaksanakan sholat jum’at secara berjamaah di Mesjid.

Bagitupun pun banyak jamaah yang datang ke mesjid dengan tujuan melaksakan sholat jumat,  tapi ketika sampai di mesjid, bukan sholat jumat secara bejamaah,  melainkan hanya mlakukan adalah sholat dhuhur bersama di mesjid.

Pertanyaan siapa yang harus disalahkan dalam peristiwa ini? Apakah lamanya informasi dari MUI ke masyarakat? Ataukah masyarakat enggan mengikuti himbauan MUI?

Apapun jawabannya, sudah tidak penting untuk dibahas. Semua kembali kepada sikap dan pola pikir masing-masing individu, sebab setiap kebijakan yang diambil terkait kepentingan umat, pastinya memiliki alasan yang lebih besar pula untuk kepentingan umat. (***)