Ramadhan dan Celoteh Sang Bedug
Oleh : Iskandar Pelupessy(Aktif di Forum KajianPamanawa Community)
RAMADHAN sebagai sebuah fase menempa ketakwaan seseorang dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi setiap larangan-Nya sebentar lagi akan usai. Kerinduan akan Ramadhan yang dalam salah satu riwayat dikisahkan kesedihan ini (kerinduan akan Ramadhan) bukan hanya dirasakan manusia tetapi juga malaikat dan makhluk-makhluk Allah lainnya. Tak heran rindu akan bulan penuh berkah ini dikemas apik dalam lirik Bimbo akan kerinduannya, kerinduan setiap umat muslim akan nilai-nilai ketakwaan yang tertanam di dalamanya. Ramadhan juga bisa disebut sebagai bulan hadiah.
Dimana banyak sekali hadiah yang Allah berikan di bulan ini. Bagi yang tidak mendapatkan adalah orang yang paling rugi, karena belum tentu Ramadhan berikutnya mereka diberi kesempatan. Dengan berbagai keunikan dan keistimewaan serta kebiasaan yang terselip di dalamnya, Ramadhan masih tetap meninggalkan cerita yang selalu unik dan selalu enak untuk dikisahkan, seperti halnya tradisi membuat takjil yang khas di tiap daerah dengan keistimewaannya, hingga tradisi menunggu bedug waktu berbuka, tak ayal Ramadhan seakan terus membuat rindu.
Di Maluku sendiri, tradisi menunggu bedug di beberapa negeri (desa) masih kental terasa, kebiasaan yang hampir setiap orang Indonesia melakukannya, terlebih menjadi hiburan bagi anak-anak yang baru belajar puasa. Keceriaannya menunggu waktu berbuka menjadi pemandangan yang sangat mengasyikan, seolah suara bedug sebagai puncak sang rindu karena waktu berbuka telah tiba dengan makanan takjil yang berselera, tak heran suara bedug menjadi primadona magis tanda matahari mulai terbenam.
Memukul bedug sendiri, menurut Van Dijk seperti dikutip Historia.id, sepertinya merupakan tradisi lama, pada 1659, ketika Wouter Schouten, seorang dokter kapal Belanda mengunjungi Ternate, dia mencatat penggunaan bedug untuk memanggil orang-orang datang ke masjid. Dua tahun kemudian, ketika berada di Banten, dia melihat sebuah bedug dengan tinggi dan lebar delapan kaki di samping menara masjid, suaranya terdengar bermil-mil sampai ke pegunungan.
Zaman dahulu suara bedug bukan hanya sebagai pelengkap ritual ibadah dan politik bahkan sebagai alat komunikasi tradisional dimana suaranya juga menjadi pertanda akan adanya bahaya yang mengancam. Seiring berlalunya waktu dan perkembangan teknologi dewasa ini, kini suara bedug pun mulai jarang terdengar, perannya lebih banyak digantikan oleh speaker, radio dan TV dalam mengumandangkan azan.
Bedug sendiri seperti dikutip dari Wikipedia adalah alat musik tabuh seperti gendang. Bedug terbuat dari sepotong batang kayu besar atau pohon enau sepanjang kira-kira satu meter atau lebih. Bagian tengah batang dilubangi sehingga berbentuk tabung besar. Ujung batang yang berukuran lebih besar ditutup dengan kulit binatang yang berfungsi sebagai membran atau selaput gendang. Bila ditabuh, bedug menimbulkan suara berat, bernada khas, rendah, tetapi dapat terdengar sampai jarak yang cukup jauh
Mungkin hanya di Indonesia saja bedug telah memasuki relung kehidupan kita (Umat Islam). Pada zaman zaman Rasulullah dan para sahabat, mengutip artikel mengenal tradisi bedug Nahdatul Ulama (http://www.yuk-kenal-nu.net/) bedug sendiri tidak dikenal ataupun sebagai pengiring ritual agama. Demikian pula di masa empat imam mazhab Abu Hanifah, Malik, AsySyafi’i, dan Ahmad bin Hambal. Dalam beberapa catatan sejarah bedug sebenarnya berasal dari India dan Cina, kemudian mulai dikenal oleh pribumi nusantara melalui perantara seorang Laksamana dari Cina yang dikenal bernama Cheng Ho, lalu disambut dengan baik oleh Raja Jawa pada masa itu,
Pendapat lain dikemukakan oleh arkeolog Universitas Negeri Malang Dwi Cahyono, akar sejarah bedug sudah dimulai sejak masa prasejarah, tepatnya zaman logam. Saat itu manusia mengenal nekara dan moko yang terbuat dari perunggu, berbentuk seperti dan banyak ditemukan di Sumatera, Jawa, Bali, Sumbawa, Roti, Leti, Selayar, dan Kepulauan Kei. Fungsinya untuk acara keagamaan, mas kawin, dan upacara minta hujan.
Hingga pada masa Hindu, jumlah bedug masih terbatas dan penyebarannya belum merata ke berbagai tempat di Jawa. Seiring dengan perkembangan Islam,keberadaan bedug kemudian dikaitkan dengan Islamisasi yang mulai intensif dilakukan Walisanga sekitar abad ke-15/16, dimana bedug ditempatkan di masjid-masjid. Fungsinya: mengajak umat Islam melaksanakan salat lima waktu, tak ayal seiring dengan perkembangan Islam keberadaan bedug saat itu mulai menyebar hingga keseluruh nusantara.
Belakangan, seperti yang dikutip dari Historia.id, tak semua umat Muslim di Indonesia menerima kehadiran bedug di masjid-masjid. Ia akrab dengan warga NahdlatulUlama (NU), tapi tidak bagi kelompok musim Persatuan Islam (Persis) dan Muhammadiyah yang menganggap bedug bid’ah. Penggunaan bedug tampaknya sempat menjadi perdebatan hangat di kalangan Islam tradisional dan modernis. NU sendiri, pada Muktamar ke-11 di Banjarmasin Kalimantan Selatan tahun 1936, kembali mengukuhkan penggunaan bedug dan kentongan di masjid-masjid karena diperlukan untuk syiar Islam.Walaupun bukan sebagai tradisi asli Islam, perdebatan mengenai bedug mulai mereda sekarang. Peran bedug sudah tergantikan dengan pengeras suara, walau ada sejumlah masjid yang tetap menabuhkan bedug dan sebagai pembuka azan, tak jarang ia juga dianggap sebagai praktik budaya dan seni yang ditabuhkan untuk menyambut bulan Ramadan dan Idul fitri, bahkan saat moment-moment besar Islam lainnya bedug menjadi pertanda pembukaan acara, bahkan juga dilombakan. Taqabbalallahu Minnawaminkum selamat merayakan IdulFitri 1440 Hijriah. (***)