Retaknya Gelas Peradaban
Catatan : Mary Toekan (Pemerhati Sejarah Islam)
Hobiku persis almarhum papa. Kami berdua menyenangi film - film perang yang diambil dari kisah nyata seorang tokoh atau kisah - kisah perjuangan fiksi. Dan lucunya kamipun sama - sama tak menyukai film Lord of the Ring, trilogi film fiksi fantasi itu.
Troy adalah salah satu film yang membuatku jatuh cinta pada sosok Archilles. Film ini diadaptasi dari buku tentang mitologi Yunani The Iliad of Homer, bagaimana manusia setengah dewa itu menghancurkan kerajaan Troy.
Kehebatan Archilles otomatis luntur ketika aku mulai menyelami sejarah peradaban Islam dan kajian tentang perang pemikiran dalam Massive Open Online Courses (MOOCs).
Kelas online dengan mendapatkan sertifikat dari guru - guru bergelar doktor dan profesor di bidang mereka ini, benar - benar mengasah dan mengubah cara berpikirku sebagai seorang Muslim. Aku menikmatinya, meski harus bersaing dengan anak - anak muda seusia anak - anakku.
Kuliah tentang peradaban Barat semakin mudah kupahami setelah melihat langsung kehidupan masyarakatnya. Masyarakat yang lari dari satu titik ekstrim ke titik ekstrim lainnya.
Dulu di zaman kegelapan, dominasi agama membuat penduduk Eropa menjadi korban ketidak adilan. Mereka memberontak dan memutuskan kolaborasi antara penguasa yang mewakili negara dan gereja yang mewakili agama.
Peristiwa ini memicu lahirnya bayi sekularisme. Sebuah konsep atau ideologi yang memisahkan urusan agama dan negara. Sekularisme tumbuh pesat menjalari pemikiran seluruh penduduk bumi.
Sayangnya paham sekuler ikut diadopsi di sekolah - sekolah Indonesia yang nota bene mayoritas Muslim. Pengaruh kolonialisme Belanda memang teramat kuat di negriku. Meskipun Islam tak pernah mengalami sejarah dengan cerita yang sama, generasi Islam tetap dijejali konsep ini.
Akibatnya kita, berikut anak - anak kita tak lagi mengenal jati diri kita sebagai umat Rasulullah SAW. Barat menjadi kiblat kaum Muslimin.
Hikmah besar kemudian Allah turunkan melalui masa sulit pandemi covid-19. Kelas - kelas online tumbuh bagai jamur di musim hujan. Sebagian kita mulai mendapatkan obat penawar ditengah serangan akidah umat Islam.
Buatku, kelas online bersertifikat ini, ibarat mendapatkan bongkahan - bongkahan emas dari dalam perut bumi.
Dan pada akhirnya dari situlah algoritma halaman media sosialku mulai terbentuk. Dunia dakwah dan kajian para guru - guru silih berganti hadir di berandaku.
Wanita dan Derajat Manusia
Pemerintah di negara - negara Barat semakin gencar memperkenalkan bulan Juni kepada generasi mereka sebagai bulan anti diskriminasi bagi pemeluk warna warni atau lebih dikenal dengan nama pride month.
Hampir semua negara di dunia ikut seperahu bersama, mendayung cita - cita penganut cinta varian ini ke garis finish.
Inggris punya cerita tersendiri. Setiap awal Juni, sekelompok orang menggelar perayaan annual bertajuk 'London Naked Bike Ride'.
Kelompok ini mengkampanyekan anti polusi dengan turun ke jalan, bersepeda tanpa sehelai benangpun.
Tahun ini pesertanya sangat banyak. Hanya bermodal body painting, menghias tubuh telanjang mereka dengan berbagai motif dan warna ke seluruh badan. Mereka berkeliaran tanpa ada lagi rasa malu.
Karena seringnya menjadi tempat pamer aurat dan adegan dewasa tanpa sensor, rasanya sudah cukup alasan untuk tak lagi menyentuh remote control TV di rumahku.
Suara TV akan terdengar jika ada event - event olahraga saja. Entah itu sepak bola, tenis, formula 1 dan motoGp atau pertarungan di laga UFC.
Entah kenapa hari itu setelah menonton turnamen tenis Prancis Terbuka Roland Garros, tanganku gatal memindah - mindahkan saluran dan membuatku schock !
Salah satu acara saluran TV Inggris dengan judul 'Take Me Out' versi Inggris tentunya, benar - benar di luar nalar manusia normal.
Acara ini mengingatkanku tentang status wanita Barat di masa kegelapan Eropa, dimana wanitanya sebagai tempat pelampiasan nafsu, sekarang berganti tempat menimpa kaum laki - lakinya di era kekinian.
Bayangkan, seorang wanita diceritakan memilih lelakinya berdasar pada (maaf) alat vitalnya. Para lelaki berdiri melingkari wanita tersebut tanpa busana, lantas alat vital mereka mulai disentuh satu persatu.
Saat dia meneliti bagian itu, pembawa acara yang juga seorang perempuan ikut mengomentari. Pikiranku malah terbang membayangkan sengitnya ibu - ibu saling tawar menawar saat transaksi jual beli di pasar tradisional.
Dan acara ini tayang di siang hari tanpa sensor.
Yaa Robb, apa yang sedang terjadi ?
Bagaimana nasib anak keturunan kami nanti ?
Kukira di negara yang "katanya" maju ini, para wanitanya akan memilih lelaki berdasarkan isi kepalanya. Ternyata aku salah. Mereka malah jauh lebih primitif dibanding wanita - wanita di negara berkembang.
Ayah, bunda...
Perketat pergaulan anak - anak kita. Jika perlu kontrol dunia mereka. Nyata maupun maya.
Peradaban ini sudah melewati titik puncaknya. Masa kegemilangan telah redup. Manusia dan hewan kini dalam derajat yang sama.
Kabar terbaru belum lama ini, parlemen Thailand meloloskan beleid pernikahan kubu pelangi. Dengan demikian, Thailand menjadi negara Asia Tenggara pertama yang melegalkan hal tersebut.
Menurut seorang anggota parlemen Muslim di sana, undang - undang pernikahan sesama jenis itu tidak berlaku untuk Muslim di empat provinsi yaitu Satun, Yala, Pattani, dan Narathiwat.
Tumpah ruah masyarakat Thailand menyambut gembira keputusan tersebut. Slogan mereka,
" Akhirnya cinta yang menang, " diteriakkan sepanjang jalan.
Mereka mendefenisikan kembali sebutan suami istri. Bagi penganut ini, istri tak selalu berjenis perempuan dan suami tak selalu bergender lelaki. Tergantung kemana cinta akan ditambatkan.
Di Belanda, banyak kutemukan spesies ini. Perkembangan mereka tumbuh pesat masuk menyentuh anak - anak. Sejak dini mereka mulai diperkenalkan mempunyai dua ibu tanpa ayah, atau dua ayah tanpa ibu. Segalanya dinormalkan dalam pikiran anak sejak dini.
Di belahan bumi lain sibuk mengatur kembali konsep pernikahan mengikuti birahi. Sementara di belahan bumi lainnya puluhan ribu manusia meregang nyawa tanpa ada yang mampu menghentikannya.
Sungguh sebuah krisis kemanusiaan sedang mencabik - cabik penduduk bumi.
Bukan Sekedar Agama Ritual
Islam bukan sekadar agama ritual, namun Islam membawa rahmat bagi semesta alam.
Sore ini, kubiarkan diriku berayun di kursi gantung pelataran belakang. Dahan - dahan pohon kembali menghijau. Tanaman anggurku sudah rapat menutupi tembok. Sebentar lagi akan berbuah, mengundang burung - burung bertamu di pagi hari.
Kupejamkan mata beberapa menit sebelum kuputuskan berwudhu untuk sholat Maghrib. Mataharipun turun dengan khusyuk membawa senja.
Senja yang sama, saat Rasulullah duduk bersama para sahabatnya.
" Maukah kalian, aku tunjukkan suatu perbuatan, jika kalian melakukannya maka kalian akan saling mencintai ? "
" Apakah itu wahai Rasulullah " : kata para sahabat.
" Tebarkan salam diantara kalian...."
Sejatinya salam mencairkan hati sekeras batu, merekatkan ukhuwah kaum Muslimin.
Betul kata orang - orang. Bumi semakin tua. Bumi semakin rapuh. Peradaban manusiapun kian merosot.
Saatnya mengganti retaknya gelas peradaban ini dengan sebentuk cangkir porselen peradaban Islam. Hanya Islam yang mampu menjawab segala keterpurukan ini, mengembalikan kembali status manusia pada fitrahnya (*)
Geldrop, 19 Dzulhijjah 1445 H