Seiring berkembangnya Islam, Dewi Sri tak lagi dipuja sebagai dewa padi atau kesuburan tapi hanya dijadikan lambang yang direpresentasikan dalam bentuk ketupat yang bermakna ucapan syukur kepada Tuhan.

Dewi Sri tetap dihormati dan dimuliakan oleh masyarakat Jawa, Sunda, dan Bali. Beberapa keraton di Indonesia, seperti Cirebon, Ubud, Surakarta, dan Yogyakarta tetap melestarikan tradisi ini.

Di sejumlah daerah ada tradisi unik yang dinamakan perang ketupat. Di Pulau Bangka perang ketupat dilakukan setiap memasuki Tahun Baru Islam (1 Muharam). Di Desa Kapal, Badung, Bali, perang ketupat dimaksudkan untuk memperoleh keselamatan dan kesejahteraan.

Dikutip dari ruangguru.com,  Slamet Mulyono dalam Kamus Pepak Basa Jawa menyebutkan kata ketupat berasal dari kupat. Parafrase kupat adalah ngaku lepat: mengaku bersalah. Sedangkan Janur atau daun kelapa yang membungkus ketupat merupakan kependekan dari kata “jatining nur” yang bisa diartikan hati nurani.

Secara filosofis beras yang dimasukan dalam anyaman ketupat menggambarkan nafsu duniawi. Dengan demikian bentuk ketupat melambangkan nafsu dunia yang dibungkus dengan hati nurani.

Sedangkan penggunaan janur sebagai kemasan pun memiliki makna tersembunyi.  Janur dalam bahasa Arab yang berasal dari kata “jaa a al-nur” bermakna telah datang cahaya.

Masyarakat Jawa mengartikan janur dengan “sejatine nur” (cahaya). Dalam arti lebih luas berarti keadaan suci manusia setelah mendapatkan pencerahan cahaya selama bulan Ramadan.

Ketupat telah menjadi bagian budaya lintas ras, suku dan agama. Ia hadir untuk mengingatkan betapa mulia dan bijaksana leluhur bangsa ini. Bagi sebagian masyarakat Jawa, bentuk ketupat (persegi) diartikan dengan kiblat papat limo pancer.

Papat dimaknai sebagai simbol empat penjuru mata angin utama: timur, barat, selatan, dan utara. Artinya, ke arah manapun manusia akan pergi ia tak boleh melupakan pacer (arah) kiblat atau arah kiblat (salat).

Sementara, rumitnya anyaman janur untuk membuat ketupat merupakan simbol dari kompleksitas masyarakat Jawa saat itu. Anyaman yang melekat satu sama lain merupakan anjuran bagi seseorang untuk melekatkan tali silaturahmi tanpa melihat perbedaan kelas sosial (BB-DIO)