Oleh : Iskandar Pelupessy (Pemerhati Masalah Sosial)

RAMADHAN tak terasa tinggal menghitung hari akan usai dan Insya Allah tidak lama lagi kita akan memasuki Idul fitri 1 Syawal 1441 Hijriah, meski dalam suasana pandemik Covid-19 yang tak menentu. Sambil berdoa dan berharap semoga Allah cepat menyudahi wabah ini, Aamiin.

Dalam perjalanannya pengucapan hari raya Idul fitri dan budaya silaturahmi saling mengunjungi menjadi sebuah kewajiban, kalaupun suasana ini nanti akan sedikit tergerus di tengah pandemi, sesungguhnya tak bisa kita pungkiri, karena kewajiban menyelamatkan diri dan keluarga adalah yang terpenting.

Di Indonesia pengucapan Idul Fitri oleh sebahagian besar masyarakat Indonesia lebih asik di telinga dengan kata lebaran. Lebaran itu sendiri, mengutip Era Muslim di halaman oase iman, menjelaskan bahwa asal muasal kata “lebaran,” meski belum bisa menjamin ketepatan asal kata itu.

“Lebaran” menurut asal katanya adalah ‘lebar’ yang artinya luas, sehingga lebaran bisa diartikan ‘melebarkan’ atau ‘meluaskan’. Makna kata ‘melebarkan’ adalah memperlebar persaudaraan dengan menyambung dan menjaga silaturahim.

Bercerita lebaran naluri kita akan dilambungkan dengan lagu hari lebaran. Lagu yang ciptakan oleh sang maestro musik Indonesia Ismail Marzuki, sebuah tembang bak mars wajib lebaran di Indonesia, lagu ini mengalahkan hampir semua lagu bertemakan moment lebaran baik yang diciptakan saat dulu maupun sekarang.

Boleh dikata lagu ini abadi menembus ruang dan waktu. Lagu ini dibuat setelah lima tahun Indonesia merdeka tepatnya di tahun 1950, tak hanya terkenal dan melegenda, ternyata lagu ini juga memberi warna baru dalam kosa kata bahasa populer di bahasa Indonesia.

Kepopulerannya, dimana bait  “minal aizin wal faizin” yang diikuti dengan “maafkan lahir dan batin” menurut pemerhati sejarah budaya pop Indonesia Ekky Imanjaya di jakartabeat.net, disalah artikan masyarakat Indonesia sebagaimana kalimat bahasa Indonesia yang mengikutinya, dimana “minal aizin wal faizin” kerap diidentikkan berarti ‘mohon maaf lahir dan batin’.

Di Indonesia, “minal aidin wal faidzin” menjadi ucapan yang sudah tak asing saat Idul fitri, mulai dari pesan singkat, ucapan berupa spanduk di jalanan, hingga penuturan langsung saat bersilaturahmi, kalimat ini tak pernah absen.

‘Minal aidin wal faidzin’ menjadi kalimat tahniah atau ucapan selamat dan saling mengucapkan maaf yang lazim dituturkan saat Idul fitri. Padahal makna sebenarnya adalah “semoga kita termasuk golongan yang kembali mendapat kemenangan”.

Meski demikian, salah kaprah itu masih berlangsung hingga kini. Budaya ucapan ini sejatinya tidak pernah dicontohkan Rasulullah shalallallahu ‘alaihi wassalam maupun para sahabat.

Menurut Quraish Shihab, ucapan ‘Minal Aidzin wal Faizin’ ini harus dipahami dalam arti harapan dan doa, yaitu “semoga kita termasuk orang-orang yang memperoleh (keberuntungan) ampunan dan ridha Allah SWT sehingga kita semua mendapat kenikmatan surga-Nya.

Ucapan ini menurut seorang ulama tidaklah berdasarkan dari generasi para sahabat ataupun para ulama setelahnya (Salafus Salih) seperti yang sudah dijelaskan diatas. Dalam banyak literatur Islam, ternyata ada tradisi yang kerap dilakukan para sahabat ketika merayakan Idul Fitri.

Tradisi saat itu dimana mereka biasanya mengucapkan selamat kepada para muslim yang berhasil menjalankan puasa selama sebulan penuh. Lafal ucapan tersebut yaitu, ” Taqabbalallaahi minnaa wa minkum.” Artinya, ” Semoga Allah menerima (amal ibadah Ramadhan) kami dan engkau.”Ucapan di atas ada yang menambahkan dengan ” Taqabbal yaa kariim.  Kekeliruan ini bukan hanya terjadi di Indonesia bahkan juga ke tetangga serumpun kita Malaysia akibat pengaruh lagu sang maestro.

Terlepas dari kontraversinya, ada juga para ulama yang menegaskan, bahwa ucapan selamat untuk datangnya hari raya Idul Fitri ini tidak ada batasannya. Selama ucapan tersebut mengandung arti baik maka sah-sah saja untuk mengucapkannya. Baik kalimat Minal Aidin Wal Faizin dan Taqabbalallahu Minna Waminkum, keduanya memiliki doa khusus. Semuanya sangat baik diucapkan oleh sesama Muslim saat idulfitri.

Dalam perjalanannya, lagu “hari lebaran” ini telah memberi andil kalimat ‘Minal Aidin Wal Faizin’ sebagai salah satu kosa kata populer baru di bahasa Indonesia. Lagu ini menjadi hits ketika diaransir ulang oleh Titik Puspa sebagai operet. Dan pada akhir era 1980-an, kemunculannya menimbulkan pesona baru ketika itu dinyanyikan kembali oleh alm. Yani Libels, Puput Novel, Betharia Sonata dan Denny Malik.

Seketika lagu ini kembali semakin terkenal dan terasa memiliki warna yang beda dengan lagu religi yang lain tanpa menghilangkan nilai religuitas seperti lagu-lagu religi pada umumnya.

Saat itu  di televisi yang cuma TVRI, masih berkutat dengan lagu-lagu religi Bimbo atau Nasidaria, kemunculan kwartet penyanyi ini dengan lagu “hari lebaran“ seakan membuat umat muslim memiliki hiburan pilihan lagu religi lain yang tak kalah menarik. Dengan hentakan irama Rap alm Yani libels “lagu hari lebaran” terasa memiliki nuansa kekinian saat itu.

Tak heran terdengarnya lagu ini bak hymne pertanda lebaran yang semakin dekat, setelah sebulan berpuasa. Bagi anak-anak, lagu ini pertanda baju baru dengan semangat baru dengan suasana ceria serba indah, apalagi yang menjalaninya.

Pada bagian intro Ismail marzuki memakai suling kelas anak sekolahan. ”Lagu hari lebaran” ini dalam perjalanannya bukan hanya terkenal di Indonesia, bahkan juga populer di Malaysia hingga Singapura, mal-mal riuh terdengar dengan karya legend alm Ismail Marzuki ini.

Dimana menurut ekky, seniman besar Malaysia P Ramlee turut menyanyikan lagu ini, dengan perubahan pada kalimat “maafkan zahir dan batin” sebagaimana pengucapan lokal. Lagu ini juga turut memopulerkan sebutan “lebaran” yang di Malaysia hanya mengenal “aidil fitri”.

Menurut Himam Miladi dalam Fakta Menarik di balik lagu Hari Lebaran karya Ismail Marzuki, lagu ini pertama kali direkam oleh pada 1952 di RRI Jakarta. Menurutnya Ismail Marzuki memberi gambaran pada kita bagaimana suasana kehidupan dan khususnya perayaan Idul Fitri di zamannya itu.

Lagu ini lengkapnya mengandung banyak pesan sosial dan kritisme. Kini di beberapa bait versi terkini, bait yang mengandung kritikan itu sudah banyak yang hilang seiring banyaknya artis dan musisi mendaur ulang lagu ini.

Bait-bait yang hilang itu ekspresi  kritik kepada para pemimpin, hingga situasi sosial masyarakat saat itu, seperti pada bait ‘Lang taon hidup prihatin, Cari uang jangan bingungin’ entah ditujukan kepada siapa ataupun pesan pada bait “Kondangan boleh kurangin, Korupsi jangan kerjain” sesuatu yang mungkin mulai terlihat di awal kemerdekaan.

Ninok Leksono dalam bukunya Ismail Marzuki “Senandung Melintas Zaman”, mengatakan yang mempopulerkan pertama kali adalah Didi dengan iringan Orkes Mus Mualim. Versi lain mengatakan penyanyinya adalah Didi, sedangkan grup musik Lima Seirima menjadi pengiringnya.

Sosok Didi sempat mengundang  pertanyaan, siapakah orang ini? Belakangan, diketahui bahwa Didi adalah nama samaran Suyoso Karsono yang ternyata seorang penerbang TNI AU (***)

Taqabbalallahu Minna Waminkum taqabbal Ya kariim

Mohon maaf lahir dan bathin, selamat  Idul fitri 1 Syawal 1441 Hijriah.