Sengketa Batas Wilayah SBB-Malteng, Kodam Pattimura Dukung Putusan MK

BERITABETA.COM, Ambon – Sengketa batas wilayah antara Kabupaten Maluku Tengah (Malteng) dan Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) yang berdampak negatif bagi warga desa Samasuru, Wasia dan Sanahu, ternyata mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Salah satunya termasuk Kodam XVI Pattimura.
Ketua DPD Kongres Advokat Indonesia (KAI) Daerah Maluku, Semuel Waileruny melalui rilisnya yang diterima beritabeta.com, Minggu (25/3/2019) mengungkap, dukungan Kodam XVI Pattimura itu.
Samuel menjelaskan, dalam rapat koordinasi tanggal 27 April 2018 lalu di Kantor Gubernur Maluku dengan berbagai unsur, termasuk para tokoh dari masyarakat Negeri Samasuru, para pejabat unsur Kodam XVI Pattimura telah menyatakan keheranannya atas terbitnya Permendagri 29 Tahun 2010, yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Gubernur Maluku juga tidak ada upaya untuk menyelesaikan persoalan yang menyebabkan tiga desa tersebut tidak jelas statusnya.
Dalam pertemuan tersebut, beber Samuel, Kodam XVI Pattimura menyarankan kepada Gubernur melalui Kepala Biro Pemerintahan Setda Maluku, agar segera mengusulkan kepada Mendagri, merubah Permendagri tersebut agar disesuaikan dengan putusan MK, untuk mengakhiri penderitaan masyarakat.
Sikap tersebut diambil setelah pihak Kodam XVI/Pattimura menentukan titik koordinat sesuai putusan MK, dibandingkan dengan titik koordinat sesuai Permendagri. Ternyata, titik koordinat yang ditentukan oleh Kodam XVI Pattimura, memiliki kesamaan dengan titik koordinat yang ditentukan oleh masyarakat Samasuru sesuai putusan MK dalam pertemuan tersebut.
Walaupun demikian, sampai saat ini tidak ada upaya Gubernur Maluku untuk mengusulkan perubahan Permendagri, karena Kepala Biro Tata Pemerintahan Setda Maluku tetap berpegang pada Surat Mendagri Nomor 180/3232/SJ tanggal 19 Juli 2017 perihal Tanggapan.
Semuel Waileruny menjelaskan, dalam surat Mendagri tersebut menyebutkan “Permendagri No. 29 Tahun 2010 telah berkekuatan hukum tetap (inkracht)”.
Menyikapi surat tersebut, lanjut Waileruny, masyarakat Samasuru telah menyampaikan penjelasan kepada Kepala Biro Tata Pemerintahan, tentang kesalahan surat tersebut.
Pasalnya, keputusan pejabat Tata Usaha Negera (TUN) tidak pernah bersifat inkracht, sehingga pada bagian akhir pejabat TUN, selalu ada kalimat yang berbunyi “Keputusan ini mulai berlaku pada saat ditetapkan, dan akan dilakukan perbaikan seperlunya sepanjang terdapat kekeliruan dalam pembuatannya”.
“Oleh karena keputusan pejabat TUN tidak bersifat inkracht, maka putusan tersebut dapat dibatalkan oleh pejabat TUN yang membuatnya, atau oleh pejabat TUN yang lebih tinggi kedudukannya (pimpinan pejabat TUN yang membuat keputusan tersebut) atau oleh Pengadilan,”ungkapnya.
Waileruny juga berpendapat, surat tersebut mengandung pertentangan hukum di dalamnya yang nampak pada bagian satu menyatakan “Permendagri tersebut telah inkracht” namun pada bagian yang lain menyatakan “dapat diusulkan untuk melakukan revisi”.
Surat tersebut juga menyatakan “dapat diusulkan untuk melakukan revisi dan disepakati bersama-sama oleh pemerintah daerah yang berbatasan, pada hal putusan MK tidak perlu ada kesepakatan lagi, hanya tinggal pelaksanaannya saja.
Menyikapi sikap Kepala Biro Tata Pemerintahan Maluku tersebut, DPD KAI Daerah Maluku menyatakan penyesalannya. “Apakah karena yang bersangkutan tidak memiliki hati untuk secepatnya mengakhiri penderitaan masyarakat Maluku sebagai akibat kebijakan Pemerintah yang salah? Belum ada jawabannya secara pasti. Kalau itu masalahnya seharusnya tidak beloh demikian, oleh karena yang bersangkutan sudah hidup di Maluku, mesti memiliki hati yang membangun orang Maluku,”tukas Waileruny.
Sebagaimana diketahui, sengketa batas kabupaten Malteng – SBB diawali dengan lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Seram Bagian Timur, Kabupaten Seram Bagian Barat, dan Kabupaten Kepulauan Aru di Provinsi Maluku. Pada batang tubuh UU disebutkan, batas kedua kabupaten di Sungai Tala, sedangkan pada lampiran menentukan batasnya di sungai Mala. Atas pertentangan tersebut, putusan MK Nomor 123/PUUVII/2009 tanggal 2 Pebruari 2010 menentukan batas kedua kabupaten di sungai Tala.
Setelah terbitnya putusan MK, Mendagri menentukan lain dengan menerbitkan Permendagri Nomor 29 Tahun 2010 yang menentukan batas kedua kabupaten di Sungai Mala sesuai lampiran UU Nomor 40. Padahal lampiran tersebut telah dibatalkan oleh putusan MK. Dengan Permendagri tersebut, data kependudukan masyarakat menjadi tidak beraturan dan melahirkan penderitaan berat pada masyarakat di wilayah sengketa kedua kabupaten terutama yang berpegang pada putusan MK.
Waileruny menambahkan, yang lebih parah masyarakat tidak dapat menggunakan hak konstitusional mereka untuk memilih dalam beberapa kali pemilu. Masyarakat juga tidak memperoleh pelayanan kartu identitas diri yang mengakibatkan mereka dan keluarga tidak memperoleh pelayanan kesehatan, anak-anak mengelami kesulitan dalam administrasi pendidikan, masyarakat tidak memperoleh Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) yang setiap tahunnya dapat mencapai milyaran rupiah, sebagaimana dialami negeri-negeri adat lainnya, dan berbagai penderitaan lainnya (BB-DIAN)