BERITABETA.COM, Ambon – Transaksi keuangan (jual beli) di Kota Bula, Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), Maluku kerap mengabaikan uang koin (logam).  Sudah sejak lama kondisi ini terjadi, bahkan kebanyakan pemilik, kios, toko hingga mini market di kota penghasil minyak itu, menolak uang koin dalam transaksi.

Ada juga yang menggunakan permen sebagai pengganti, jika pembeli harus menerima uang kembalian dalam pecahan Rp.500 dan Rp1000. Seorang netizen asal SBT dengan nama akun Wokas Abubakar sempat menyentil kondisi ini lewat laman facebook group New Pilar, Jumat (12/7/2019).

“Bagimana SBT mau maju pedagang di SBT banyak tidak mengakui produk negara (uang koin tidak di terima penjual) ini fakta,” tulis Abubakar dalam postingannya.

Status Wokas Abubakar membuat sejumlah netizen memberikan ragam pendapat lewat kolom komentar mencapai 86 komentar. Anehnya, penolakan uang koin dalam setiap transaksi oleh pedagang di Kota Bula, sangat tidak relevan, sebab di kota kecil itu terdapat sebanyak 4 unit bank pemerintah dan swasta yang bisa dijadikan sebagai tempat penukaran mata uang.      

Wartawan beritabeta.com juga pernah memantau kondisi transaksi keuangan yang berlangsung di kota ini, setahun lalu. Salah satu mini market di kota Bula, bahkan sengaja menyediakan permen di meja kasir sebagai pengganti uang recehan pecahan Rp.1000.

Lalu apa konsekwensi atas tindakan pedagang seperti ini?   Dari data yang dihimpun beritabeta.com, menyebutkan dalam Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, telah  jelas disebutkan bahwa mata uang sebagai salah satu simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga Negara Indonesia.

Namun, fakta lain membuktikan,  UU ini nampaknya tak berlaku di kawasan perbatasan. Keberadaan uang koin telah terpinggirkan di kawasan perbatasan seperti Nunukan Kalimantan Utara, Anambas Kepulauan Riau, Maluku dan daerah terpencil lainnya di Indonesia.

Padahal dalam Pasal 21 UU tentang Mata Uang disebutkan, rupiah wajib digunakan dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran.  Sementara pada pasal 23, mengatur bahwa setiap orang dilarang menolak untuk menerima rupiah.  Apabila orang menolak untuk menerima rupiah setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran maka akan dikenakan sanksi sesuai pasal 33 UU No 7 tahun 2011 berupa kurungan satu tahun dan denda Rp200 juta.

Tak berlakunya uang koin maka konsekuensinya bukan hanya soal kedaulatan, tapi jauh lebih dari itu. Misalnya seseorang membeli mi instan yang harganya Rp2.500, tetapi karena uang koin Rp500 tidak digunakan maka konsumen akan membayar Rp3.000.

“Cih, antua (beliau) itu tiap belanja kasih kembali dengan gula-gula (permen) terus. Sudah banyak kali, kalau seng (kalau tidak) ada uang lima ratus rupiah atau seribu antua sering kasih gula-gula,” cetus Firman seorang siswa SMA di Kota Bula, tiga tahun silam kepada ibunya.   

Ironisnya, jika kejadian yang dialami Firman ini menjadi kebiasaan dan  terulang setiap saat bahkan  meluas maka akan berdampak pada inflasi di daerah tersebut. Hal ini sama saja ada kenaikan harga barang, ketika jumlah nilai uang yang beredar lebih besar daripada barang.

Persoalan inflasi ini juga jadi masalah lain dari tak pedulinya masyarakat terhadap uang koin. Sehingga BI melakukan beberapa kampanye “Gerakan Peduli Koin” yang efektivitasnya belum optimal. Gerakan ini setidaknya sudah dimulai sejak 2010.

Peredaraan Uang Koin

Bank Indonesia (BI) mencatatat pada tahun 2010 peredaran uang koin di seluruh Indonesia mencapai Rp3,2 triliun.  Jumlah fisiknya atau kepingannya mencapai 60 persen atau 15,5 miliar keping dari total jumlah uang yang beredar di tengah masyarakat.

Jumlah terbanyak adalah pecahan Rp100 sebanyak 6,7 miliar keping. Artinya secara volume, jumlah pecahan koin yang beredar lebih banyak daripada lembaran-lembaran uang kertas yang ada di masyarakat.

Jumlah uang kertas yang beredar sampai Juni 2010 nilai nominalnya mencapai Rp265,9 triliun setara dengan 9,8 miliar lembar. BI terus melakukan penambahan peredaran uang koin karena tuntutan kebutuhan. Sejak 10 tahun terakhir hingga 25 Juni 2016 jumlah uang koin yang beredar mencapai Rp6 triliun, yang artinya kebutuhan terhadap koin terus tumbuh.  

Peredaran nilai uang koin memang jumlahnya tak seberapa dari total uang yang beredar di masyarakat. Total uang yang beredar hingga April 2016 yang mencapai Rp435,32 triliun–di luar bank umum dan BPR.

Sayangnya tingkat pengembalian uang koin ke BI hanya 16 persen atau setara Rp900 miliar dalam 10 tahun terakhir. Hal ini disebabkan budaya masyarakat yang masih menganggap uang koin bukan sebagai alat transaksi. Kondisi tersebut menyebabkan sirkulasi peredaran uang rupiah khususnya uang koin di masyarakat tersendat.

Uang koin seperti karakternya yang punya dua sisi mata uang, selain dianggap tak bermanfaat karena nilainya terlalu rendah dan bikin berat kantong, di sisi lain dibutuhkan banyak kalangan mulai dari operator tol hingga perusahaan ritel.

Setiap tahun, perusahaan ritel harus bersusah-susah mencari uang receh hingga totalnya mencapai ratusan miliar rupiah demi uang kembalian ke konsumen. Musim mudik ini saja, operator tol PT Jasa Marga harus menyiapkan uang receh pecahan Rp500 hingga Rp1,173 miliar. Sebuah kebutuhan yang tak bisa diabaikan.

Faktanya, nasib uang koin selama bertahun-tahun sebagai mata uang yang termarginalkan. Kalah pamor dengan uang kertas yang nilainya jauh lebih besar. Padahal peranan uang koin cukup signifikan. (BB-DIO)