Topeng Kriminalisasi untuk Wajah Otoriter

Oleh: Mashuri Mashar (Pemerhati masalah sosial/kesehatan)
WAJAH borok kekuasaan, untuk kesekian kalinya menunjukkan bentuknya. Kali ini lewat tindakan kriminalisasi. Dalam sejarah perkembangan bangsa ini, sikap tersebut sudah tidak asing lagi. Setiap masa kepemimpinan di Republik ini, selalu saja ada. Menariknya, sekarang sudah tersebar hingga tingkat kabupaten dan kota di Indonesia.
Satu hal yang menyatukan praktik krimanalisasi ini ialah profil korban. Hampir semua dari mereka karena sikap kritis. Seolah negara dan semua alat-alatnya enggan untuk mendengar suara berbeda dari yang lain. Meskipun itu berasal dari warga sendiri. Bukankah perbedaan menjadikan irama dalam sebuah orchestra menjadi nikmat di telinga?
Belum cukup dua puluh empat jam, info viral daring dari salah satu daerah di Maluku dipenuhi ihwal kriminalisasi salah seorang aktivis disana. Berawal dari kegelisahan yang bersangkutan pada akun media sosial terkait layanan kesehatan pada fasilitas kesehatan disana, yang bersangkutan kemudian dilaporkan ke pihak berwajib dengan dalih pencemaran nama baik.
Dari kasus ini sebenarnya kita bisa belajar tiga hal. Pertama, kekuasaan di Indonesia masih sangat erat dengan praktik penyalahgunaan. Sekaligus mempertegas kecendrungan beberapa kepala daerah penganut paham otoriter.
Jika kita mengacu pada penelitian Paul C. Sondrol berjudul “Totalitarian and Authoritarian Dictators: A Comparison of Fidel Castro and Alfredo Stroessner” yang dimuat pada Journal of Latin American Studies (Oktober 1991), saat seseorang berlaku otoriter laku korupsi yang tinggi juga mengikuti. Dan jika sudah korup, dua saudara kembarnya tinggal tunggu waktu menyusul. Kolusi dan Nepotisme.
Jika kita perhatikan beberapa informasi dari daerah pelaku kriminalisasi pada seorang aktivis tadi, ciri-ciri pemimpin yang otoriter sebenarnya terjadi. Ambillah contoh pengangkatan beberapa kepala wilayah tingkat negeri disana.
Alih-alih ingin memaksimalkan gerak roda pemerintah tingkat negeri, ternyata pilihannya (hanya) pada seputar kelompok yang dekat dengan si kepala daerah saja.
Tentu saja ini akan berimplikasi pada banyak hal. Yang paling kentara kita bisa lihat pada kejadian pelaku kekerasan di Sawai. Terindikasi pemerannya adalah oknum kepala desa pilihan (baca: dekat) orang nomor satu kabupaten tertua di Maluku.
Kedua, alat negara tidak siap untuk berubah. Jika kita telusuri makna kata kritik menurut Curtis, Dan Floyd B, James J.; Winsor, L. Jerryl dalam buku “Komunikasi Bisnis dan Profesional” (1996) adalah proses analisis dan evaluasi terhadap sesuatu dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki pekerjaan/kondisi.
Berangkat dari batasan tersebut, membungkam aktivis yang dilakukan oleh otoritas negara tingkat kabupaten di Maluku membuktikan bentuk lain dari upaya membikin kabupaten tersebut tetap pada kondisi tertinggal.
Jangan kaget jika Maluku akhirnya tetap ketinggalan dalam setiap proses perkembangan. Lihat saja kabupaten yang mendapat gelar “tertua” disana. Perkembangannya menunjukkan kondisi sangat lambat, jika tertinggal keterlaluan disebutkan. Semua keadaan tadi genap dengan kriminalisasi pada penyuara kritis disana.
Pelajaran ketiga dari kriminalisasi aktivis disana adalah gambaran kualitas hasrat tinggi untuk berkuasa yang sulit dibendung. Konon, “mempolisikan” si aktivis tadi bermula dari postingan di media sosial yang bersangkutan. Dia membahas buruknya pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan (Faskes) disana.
Bukannya melakukan perbaikan atas hal yang dibahas oleh si aktivis tadi, kekuasaan menggunakan alat-alatnya untuk melakukan tindak represif. Minimal klarifikasi dari pihak tidak juga dilakukan.
Jika kita merujuk pada aturan yang berlaku (PERMENKES No.4 Tahun 2018), salah satu kewajiban dari Faskes yang dalam hal ini Rumah Sakit adalah memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti diskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan Pasien sesuai dengan standar pelayanan yang berlaku.
Sekaligus memberi kecendrungan tafsir pada khalayak bahwa ada yang salah dengan fasilitas kesehatan disana.
Jika ini betul, tentu saja akan berpengaruh pada kualitas kesehatan empat ratus ribu sekian jiwa masyarakat disana. Apakah kondisi ini bisa dibenarkan? Saya ragu untuk itu.
Di lain sisi, ada hal yang bisa jadi bukti bahwa sikap otoriter dipelihara disana. Niat mendorong keluarga dari kepala daerah untuk menggantikannya kelak.
Lagi-lagi khalayak menjadi paham, bahwa demi kekuasaan, kelompok ini rela melakukan apapun. Termasuk membungkam kritik yang ada disana, Apapun dalih dan dalil yang digunakan, keadaan ini tidak bisa dibiarkan.
Tolak segala bentuk kriminalisasi dan kepada siapapun. Jika hari ini si aktivis yang jadi korban, bisa jadi esok lusa nama saya, kamu dan kita semua akan memenuhi laporan pada pihak berwajib.
Caranya cukup mudah. Bisa dimulai dengan menghindari dan menolak penguasa yang otoriter. Terlebih lagi semua keluarga darinya. Ayo selamatkan negeri para raja! (***)