Oleh : Moh. Ridwan Litiloly (Ketua Umum Hmi Cabang Namlea)

PEREDARAN  vaksin ditanah air kini sudah tersalurkan di seluruh penjuru Provinsi dan Kabulaten/Kota. Seiring perjalanan Vaksin yang diyakini bisa memberikan kekebalan tubuh terhadap serangan virus Covid-19 yang menyerang hampir seluruh masyarakat Dunia, gelagat penolakan terhadap vaksinasi muncul pada kelompok masyarakat di berbagai negara.

Di Indonesia, dalam rangka mendapatkan kepercayaan publik, tokoh – tokoh kunci pemerintahan, baik Itu Presiden, Gubernur hingga Bupati dan Walikota menyerukan menjadi orang pertama yang divaksin. Namun hal tersebut tidak secara effektif meberikan keyakinan terhadap masyarakat untuk menerima produk Vaksin tersebut.

Buktinya Presiden Joko Widodo yang sudah jauh-jauh hari menyatakan kesediaanya, tetapi beberapa hasil rilis survey menunjukan ketidakkepercayaan masyarakat masih cukup besar.

Salah satunya yang dilakukan oleh LaporCovid19.org yang melakukan survei persepsi warga yang menunjukkan hanya 31% warga yang bersedia menerima vaksin Sinovac-Biofarma dan 44% warga bersedia menerima vaksin Merah Putih yang dirintis Eijkman.

Kepercayaan publik bukanlah sebuah persoalan yang sepeleh, apalagi sampai sekarang masih terus beredar wacana yang saling-silang soal keamanan, kehalalan dan effektifitas dari prodak vaksin.

Apalagi soal Vaksin Sinovac buatan Pemerintah China yang sudah beredar di tanah air, telah mendapatkan penolakan di beberapa Negara diantaranya Brazil, Fillipina Dan Kamboja, dengan alasan belum diketahui data keamanan dan efikasi (kemanjuran) dari uji klinis tahap ketiga vaksin Sinovac.

Padahal, tingkat efikasi menjadi unsur penentu bagi pihak berwenang untuk mengeluarkan izin penggunaan darurat.(CNN)

Kesediaan Tokoh kunci pejabat publik (Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota) juga tentunya masih bisa menimbulkan asumsi lain (Bisa Saja Rekayasa), sehingga harus ada alternatif lain yang perlu ditempuh.

Sosialisasi dan literasi soal prodak vaksin harus optimal dilakukan pemerintah sebelum dioperasikan, terutama terutama di soal aspek keamanan dan biaya.

Data uji klinis dari penelitian vaksin yang telah dibeli pemerintah, perlu dibuka dengan memberi akses ke publik.

Perusahaan farmasi khususnya Sinovac yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia perlu membuka data uji klinisnya.

BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan) sebagai otoritas yang akan memberikan persetujuan jenis vaksin yang perlu beredar di Indonesia, juga perlu lebih terbuka. Hasil pengujiannya perlu dibuka ke publik, mengingat ini demi keselamatan dan kesehatan satu bangsa.

Sama halnya juga denga transparasi biaya pengadaan. Biaya dari pihak perusahaan farmasi maupun pemerintah mendesak pula dibuka.

Terlepas dari semua itu silang saling pendapat antar pejabat pemerintahan jangan sampai terjadi.

Kalaupun semua unsur diatas tidak dapat terpenuhi, alangkah baiknya demi pertimbangan keamanan dan keselamatan warga Bangsa, sebaiknya Pemerintah harus berani menolak Vaksin tersebut sembari menunggu prodak Vaksin lain yang secara klinis keamanan, kehalalan dan efektifitasnya sudah teruji (***)