BERITABETA.COM, Ambon – Ribuan warga di tiga negeri (desa) di Pulau Seram, Provinsi Maluku yang menjadi pusat sengketa tapal batas antara Kabupaten Maluku Tengah (Malteng) dan Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) terancam tidak ikut nyoblos dalam Pemilu 17 April 2019 mendatang.

Terbitnya SK Mendagri No.29 Tahun 2010, menjadi pemicu atas status mereka. Padahal, sebelumnya mereka telah terdaftar sebagai warga Kabupaten Malteng sesuai putusan MK  Nomor 123/PUUVII/2009 tanggal 2 Pebruari 2010.

Hilangnya hak politik ribuan warga Negeri Sanahu, Wasia dan Samasuru ini lantaran sengketa wilayah dua kabupaten Malteng dan SBB, belum kunjung tuntas.

Ironisnya hingga saat ini tidak ada satupun tempat pemungutan suara (TPS) akan disiapkan di Negeri Samasuru, menyusul penolakan warga setempat untuk bergabung dalam wilayah administrasi Kabupaten SBB.

Kepala Pemerintah Negeri Samasuru, Chrestian Waileruny, didampingi Kepala Soa,  Etus Tuny kepada beritabeta.com, Sabtu (30/3/2019) menuturkan,  berbelitnya persoalan  tapal batas antar kedua kabupaten ini,   dipicu terbitnya SK Menteri Dalam Negeri  (Mendagri)  yang menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Dampak dari kemelut ini kata Chrestian Waileruny,  telah  menimbulkan kehilangan hak politik warganya selama bertahun-tahun.  Selain terkait dengan demokrasi, warga Negeri Samasuru juga tidak jelas memiliki indentitas sebagai warga negara yang juga berefek pada hak-hak sosial yang harus diterima dari pemerintah, berupa sejumlah bantuan pangan dan pembangunan.

Raja Negeri Samasuru, Chrestian Waileruny, memegang KTP yang dikeluarkan Dukcapil Kabupaten Malteng, saat dijumpai, Sabtu (30/3/2019) (FOTO: BERITABETA.COM)

“Kami tidak tidak pernah menerima bantuan sosial dari pemerintah berupa beras miskin (Raskin) sampai berubah menjadi beras sejahterah (Rastra), bahkan  Anggaran Dana Desa (ADD) yang dikucurkan untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat  sejak  tahun 2015 lalu,” tutur Waileruny.

Dia mengakui, ribuan warga di tiga desa bertetangga itu,  tidak dapat menyalurkan hak pilih, karena status negeri yang tidak jelas. Berdasarkan putusan MK  Nomor 123/PUUVII/2009 tanggal 2 Pebruari 2010, Negeri Samasuru masuk dalam wilayah Kabupaten Malteng,  namun keputusan itu kembali dianulir dengan terbitnya SK Mendagri No  29 Tahun 2010,   yang menyatakan tiga desa masuk ke wilayah SBB. “Ini yang membuat status kami tidak jelas,” katanya.

Di Negeri Samauru jumlah pemilihnya  mencapai 800 orang.   407 warga masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) Kabupaten SBB,  127 warga terakomodir dalam DPT Kabupaten Malteng, sedangkan 170 warga lainnya tidak terdaftar.

Waileruny menjelaskan,  meskipun terakomodir pada DPT Kabupaten SBB, mereka juga tidak dapat menyalurkan hak pilih,  karena KTP yang dimiliki   warga Samasuru  dikeluarkan  Disdukcapil Kabupaten Malteng.  Dengan demikian,  ada sekitar 534 warga yang akhirnya akan golput di Pemilu 2019, lantaran status mereka  tidak jelas.

Kepastian tidak ikut nyoblos pada pemilu 2019 mendatang, juga terbukti dengan sikap  KPU yang tidak pernah mengirimkan surat untuk menunjukkan petugas TPS, sehingga  negeri mereka juga jauh dari hingar- bingar  pesta demokrasi.

“Saya sendiri tidak masuk dalam DPT manapun. Jadi ada ratusan warga yang tidak masuk dalam DPT di kabupaten Malteng maupun SBB,”tukasnya.

Hal senada juga disampaikan Kepala Soa Negeri Samasuru, Etus Tuny yang juga mengaku namanya masuk dalam DPT Kabupaten SBB, namun memiliki KTP Malteng, sehingga tidak dapat menyalurkan hak pilih.  Tuny  mengaku heran, namanya bersama ratusan warga Samasuru lainnya bisa masuk dalam DPT Kabupaten SBB, padahal tidak pernah ada pendataan dari KPU setempat.

“Kami juga merasa heran, mengapa sampai nama bisa masuk dalam DPT kabupaten SBB, padahal tidak pernah didata,”ucapnya.

Menurut Tuny, warga Samasuru  lebih condong untuk bergabung dengan Kabupaten Maluku Tengah (Malteng)  dibandingkan Kabupaten SBB, dengan alasan  rentang kendali  dan juga putusan MK yang berkekuatan hukum tetap (Inkracht).

Jarak tempuh untuk mencapai Kota Masohi sebagai Ibukota Malteng, hanya 45 Km  dengan tarif angkot sebesar Rp 25 ribu.  Sedangkan  untuk mencapai Kota Piru, Kabupaten SBB, mereka harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 110 ribu dengan  jarak tempuh 200 Km.

“Bukankah tujuan pemekaran dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah itu adalah untuk menjawab rentang kendali agar kebutuhan  masyarakat dapat dipenuhi dengan mudah?. Kalau kami bergabung dengan SBB, kami harus menempuh jarak yang begitu jauh dan mengeluarkan uang yang lebih besar. Ini sangat menyulitkan kami,”ungkapnya. (BB-DIAN)