BERITABETA.COM – Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) di Amerika Serikat pada April 2020 melakukan penelitian terhadap lebih dari 2.500 anak dan remaja di sana yang terinfeksi COVID-19.

Penelitian menunjukkan bahwa populasi mereka terinfeksi hanya 1,7 persen dari seluruh kasus yang dilaporkan.  Temuan ini kemudian memunculkan pendapat bahwa virus corona juga berkorelasi dengan penyakit peradangan yang menyebabkan pasien anak-anak memerlukan perawatan intensif.

Bahkan telah memakan korban jiwa. Penyakit peradangan itu dijuluki pediatric multisystem inflammatory syndrom.

Sejauh ini diketahui orang berusia lanjut atau yang memiliki penyakit seperti jantung dan paru-paru merupakan kelompok yang rentan terinfeksi COVID-19. Kendati begitu, generasi muda dan anak-anak bukan tak mungkin terkena penyakit ini.

Sebagian besar anak yang terinfeksi juga memiliki kasus ringan atau tanpa gejala. Hal ini senada dengan hasil penelitian yang dilakukan lembaga kesehatan di Cina. Akan tetapi, ada laporan baru dari Inggris dan Italia yang mengaitkan hubungan infeksi dengan kematian pada anak-anak.

Mereka melaporkan virus corona baru berkorelasi dengan penyakit peradangan yang menyebabkan pasien memerlukan perawatan intensif, bahkan telah memakan korban jiwa. Penyakit peradangan itu dijuluki pediatric multisystem inflammatory syndrom.

Sindrom ini telah mempengaruhi setidaknya 100 anak-anak di Amerika Serikat dengan setidaknya ada tiga korban jiwa di New York. Di Eropa, kasus serupa juga ditemukan, ada sekitar 100 kasus di tujuh negara.

Dilansir Business Insider, ada beberapa gejala COVID-19 pada anak-anak yang pada dasarnya mirip dengan gejala pada orang dewasa. Gejala dimaksud adalah batuk, sulit bernapas, demam, panas dingin, nyeri otot, sakit tenggorokan, dan kehilangan kemampuan merasa dan membaui.

Sementara itu, gejala dari sindrom inflamasi langka pada anak-anak lebih sulit dilihat. Pada awalnya, dokter tidak cukup yakin apa atau bagaimana kondisi itu berhubungan dengan virus corona baru hingga akhirnya penelitian pada 13 Mei menyatakan bahwa keduanya saling berhubungan.

Teori terbaik komunitas medis saat ini menyebut sindrom ini disebabkan respons imun pasien. Sindrom ini disamakan dengan kondisi anak-anak yang langka, seperti penyakit kawasaki atau syok toksis.

Adapun, berdasarkan American Academy of Pediatrics, gejala dari sindrom tersebut pada anak-anak berupa demam yang persisten, nyeri perut, diare atau muntah, perubahan warna kulit, sulit bernapas, dan kelelahan.

Para ahli medis memperingatkan apabila anak mulai menunjukkan gejala tersebut, maka perlu untuk dilakukan tindakan membawa mereka ke dokter guna dilakukan pemeriksaan secara lebih dini.

Sindrom Kawasaki

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga mempelajari kemungkinan keterkaitan antara infeksi Covid-19 dengan penyakit yang serupa dengan sindrom Kawasaki.

Sebelumnya, sindrom Kawasaki atau sindrom getah bening adalah adalah penyakit langka yang umumnya menyerang anak-anak dan dapat menyebabkan kematian.

“Laporan awal menduga bahwa sindrom ini (sindrom serupa Kawasaki) mungkin berhubungan dengan covid-19,” ujar Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam konferensi pers virtual, Jumat (15/5/2020).

Sebelumnya, Pediatric Intensive Care Society (PICS) Inggris menyatakan terdapat sejumlah kasus pada anak-anak yang memiliki sakit kritis dengan sindrom langka yang dikaitkan dengan virus corona.

Kemudian, dilansir dari AFP, belum lama ini, Gubernur New York juga melaporkan tiga orang anak meninggal dengan gejala sindrom langka itu dan tengah menginvestasi 100 anak lainnya.

Seorang dokter di Prancis menyatakan seorang bocah berusia 9 tahun yang dinyatakan positif Covid-19 meninggal oleh penyakit tersebut pada Jumat (15/5/2020).

Sebagai catatan, sindrom Kawasaki mengakibatkan inflamasi atau peradangan pada dinding arteri dan bisa membatasi aliran darah ke jantung. Gejalanya demam selama lebih dari 5 hari, jaringan leher bengkak, bibir pecah, kaki dan tangan bengkak juga kemerahan pada mata.

Saat ini, sambung Tedros, WHO telah mengembangkan definisi awal sindrom tersebut dengan sebutan “Sindrom Peradangan Multisistem pada Anak-anak”. Ia juga meminta tenaga medis untuk waspada dan memahami sindrom ini dengan lebih baik.

Namun, Tedros mengingatkan penting untuk mempelajari sindrom tersebut dengan hati-hati. Hal itu dilakukan untuk memahami penyebab dan mencari cara penanganannya.

Kepala Teknis Tim Tanggap Corona WHO Maria Van Kerkhove menegaskan keterkaitan antara sindrom tersebut dengan virus corona masih belum jelas. Pasalnya, beberapa anak yang menunjukkan gejala sindrom tersebut negatif Covid-19.

“Kami ingin seluruh negara waspada akan hal ini,” ujarnya (BB-DIP)