BERITABETA.COM, Ambon – Fenomena alam water spout terjadi di Teluk Ambon, tepatnya di antara Tanjung Latuhalat dan Desa Laha, Kota Ambon, membuat sejumlah warga di Dusun Batu Badiri, Desa Hatu, Kecamatan Leihitu Barat, menjadi panik dan berhamburan keluar rumah.

Water spout ini terjadi sekitar pukul 06:30 WIT, Sabtu (13/3/2021) dan mengundang perhatian sejumlah warga yang berada di kawasan pesisir pantai.

Salah satu tokoh masyarakat di Dusun Batu Badiri, Desa Hatu, Tony Jamlean kepada beritabeta.com mangatakan, fenomena yang terjadi didahului dengan gumpalan awan hitam ini sempat menjadi perhatian warga di dusun tersebut. Banyak warga memilih keluar rumah karena ketakutan, kerana mengira fenomena itu adalah angin puting beliung.

“Masyarakat di Dusun Batu Badiri sempat panik. Mereka berhamburan keluar rumah sambal menyaksikan fenomena alam ini. Ada yang mengabadikannya dengan kamera hand phone, tapi ada juga warga  yang  waspada sambil memantau gerakannya,” ungkap Tony.

“Saya ikut berteriak waspada karena angin ini sangat berbahaya. Tetapi hampir 30 - 40 menit kemudian kekuatan angin ini berkurang setelah mendekat depan Bandara Patimura Ambon,” sambungnya.

Hal serupa juga disampaikan Muhammad Tuhepaly. Melalui pesan WhatsApp-nya, ia mengaku saat fenomena alam ini terjadi, bersama beberapa temannya berada di Latuhalat mengikuti salah satu kegiatan.

“Banyak yang mengabadikan kejadian itu. Kelihatannya seperti awan berputar masuk ke laut,” ungkapnya singkat.

Dari penelusuran beritabeta.com terungkap fenomena alam yang dinamai Water spout bukanlah puting beliung yang ditakutkan oleh warga.

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) pernah menjelaskan  kondisi ini disebut water spout. Terdapat perbedaan mendasar antara fenomena water spout dan angin puting beliung akibat kondisi anomali cuaca.

“Perbedaan water spout dengan puting beliung dapat diidentifikasi dari koneksinya dengan media air yang terdapat di bagian dasarnya," kata peneliti Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) LAPAN, Erma Yulihastin menanggapi kondisi serupa yang pernah terjadi dalam situs resmi LAPAN.

Erma menjelaskan, angin puting beliung atau tornado memiliki kecepatan angin dan dampak kerusakan pada kisaran di bawah skala Fujita-2. Dengan demikian, puting beliung memiliki lintasan kurang dari satu kilometer dengan durasi hidup di bawah satu jam.

Sementara, water spout adalah tornado yang terkoneksi dengan air dan memiliki skala mikro (kecil). Fenomena ini, kata Erma, hanya dapat terjadi di atas danau, tambak, sungai, bendungan, dan permukaan air lainnya.

LAPAN membagi lima fase pembentukan water spout. Fase pertama, ada dukungan temperatur, kelembapan, dan pergeseran angin. Kedua, fase awan cerah terbentuk di atas permukaan air. Fase ketiga, awan cerah tersebut dikelilingi oleh awan disekitarnya yang berwarna abu gelap.

Fase keempat, pembentukan corong berwarna terang yang memanjang dan berbentuk spiral. Fase kelima, corong spiral memanjang mulai tampak oleh pengamatan visual dan di bagian permukaan air terbentuk percikan air ke segala arah.

"Pada saat tahapan kelima itu, peluruhan water spout terjadi ketika terdapat udara lembap atau uap air yang masuk ke dalam corong badainya," jelas Erma.

Erma menjelaskan bahwa water spout secara visual dapat dikenali dari bentuknya yang seperti suatu belalai atau corong pipa panjang dan terlihat turun dari suatu awan jenis cumulus congestus atau cumulonimbus.

“Kejadian ini tak hanya langka tapi juga termasuk cuaca ekstrem karena menggambarkan badai super sel pada skala ruang yang mikro (puluhan meter),” tutur dia.

Water spout sangat jarang dapat bertahan lama atau bahkan berpindah dari air menuju darat. Karena dukungan uap air yang dihasilkan oleh suatu permukaan air cenderung memiliki karakteristik yang khas, maka water spout yang pernah terbentuk di suatu area berpotensi dapat terjadi lagi di wilayah tersebut (BB-DIO)