BERITABETA, Ambon – Dua sumber ini patut dijadikan alasan kenapa pemerintah daerah dan lembaga legislative,  wajib  mengawasi persoalan limbah yang akan dihasilkan Rumah Sakit (RS) Siloam.

Letak RS. Siloam yang berada di bibir Teluk Ambon, sangat berpotensi mencemari Teluk Ambon, jika pengolahan limbah tidak dilakukan dengan baik.

Berdasarkan data yang dihimpun beritabeta.com menyebutkan,  pencemaran laut di kawasan Teluk Ambon setiap tahun terus meningkat.

Pencamaran sudah berada pada tingkat yang memprihatinkan. Kondisi ini berpengaruh pada terjadinya perubahan kualitas air di Teluk Ambon.

Sebuah penelitian dari Pusat Penelitian Laut Dalam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Puslit Laut Dalam LIPI) Ambon mempublikasi hasil penelitian itu sejak tahun Juli 2014 silam.

Peneliti Puslit Laut Dalam LIPI Ambon,  Yosmina Tapilatu menyebutkan, sumber pencemaran terbesar di Teluk Ambon akibat aktivitas antropogenik seperti dari pembukaan lahan oleh orang yang tidak tertanggung jawab.

“Terutama di jalan dan badan sungai yang akan dibawah banjir saat musim penghujan. Sumber lainya pencemaran lainya berupa limbah perusahaan dan air ballast dari kapal,” katanya, seperti dilansir media lokal Ambon.

Berdasarkan data LIPI Ambon, kata dia, kenaikan penumpukan bahan dari daratan di Teluk Ambon sebanyak 5 persen setiap tahun.

“Luasan sedimintasi di Teluk Ambon dari 102,56 hektar tahun 1994 naik menjadi 168,13 hektar di tahun 2007 atau naik 64 persen dalam 13 tahun,” tuturnya.

Lebih lanjut, dia menambahkan, pencemaran dapat menyebabkan penurunan kualitas perairan dan kerentanan penyakit seperti penyakit kulit.

“Kondisi ini sudah sangat parah, masyarakat sendiri juga tidak sadar dalam memilih sampah dan membuangnya ditempat yang telah disediakan,” jelasnya.

Di tahun 2012, hal serupa juga pernah disampaikan Direktur Jenderal Kelautan dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI yang saat itu dijabat Eko Radiyanto.

Eko mengaku prihatin dengan pencemaran sampah di Teluk Ambon yang semakin parah. Keprihatinannya disampaikan Eko dalam kegiatan finalisasi penyusunan model penanganan pencemaran pesisir Teluk Ambon di Balai Kota Ambon, 1 Oktober 2012 silam.

“Saya secara pribadi merasa prihatin dengan pencemaran yang terjadi di Teluk Ambon. Karena kawasan pesisir dan laut dijadikan sebagai tempat pembuangan akhir, baik untuk sampah maupun limbah lainnya,” kata Eko seperti dikutif kompas.com.

Eko bahkan meminta pencemaran di Teluk Ambon harus segera diatasi. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Dirjen KP3K sendiri telah menempuh berbagai cara, termasuk dengan penyusunan model penanganan pencemaran teluk dan pesisir, yang menempatkan Kota Ambon, dalam hal ini Teluk Ambon sebagai salah satu pilot project, bersama-sama dengan Kota Tangerang.

Untuk itu, sikap Komisi B DPRD Maluku memanggil Direktur Utama Rumah Sakit (RS) Siloam serta Dirut PT KUG, pertanda ikhtiar yang baik. Pembahasan soal limbah yang nanti dihasilkan sebuah RS bertaraf internasional, adalah hal mutlak.

Ketua Komisi B DPRD Maluku, Ever Kermite mengatakan, perlu ada langkah-langah antisipatif,  karena ini adalah rumah sakit dengan program pengolahan limbah, apakah bisa terjamin atau tidak terhadap kondisi lingkungan.

“Sebagai sebuah rumah sakit tentu akan memproduksi limbah setiap hari bila RS sudah dioperasikan, maka pastinya membutuhkan perhatian konkrit dari Dinas Lingkungan Hidup sehingga masalah ini perlu diantisipasi,” kata Kermite dalam rapat dengar pendapat antara manajemen RS. Siloam dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku, Vera Tomasoa di Ambon, Jumat (16/11/2018).

Tapi ikhtiar Komisi B DPRD Maluku, sekilas terbantah oleh penjelasan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku, Vera Tomasoa.

Menurut Tomasoa,  proses perizinan analisa dampak lingkungan (Amdal) yang dilakukan pihak RS Siloam sudah dimulai sejak tahun 2015 dan pengurusan dokumen sampai dengan terbitnya izin lingkungan selesai pada Mei 2016 dengan luas lahan 3.700 meter persegi.

“Sampai sekarang RS ini masih dalam proses konstruksi dan belum ada operasional rumah sakit, jadi belum ada yang namanya masalah limbah,” kata Vera Tomasoa dalam rapat bersama direktur utama pengelola RS Siloam dan PT Karya Unggul Gemilang yang diwakili Olof Seleky.

Menurut Tomasoa, RS Siloam sudah merencanakan pipa pembuangan limbah dan tempat penampungan sementara. Prosesnya sesuai ketentuan yang berlaku serta memenuhi standar mutu baku lingkungan.

Dalam dokumen lingkungan ini sudah menjabarkan secara detail bagaimana proses limbah yang akan dihasilkan kemudian RS harus menanganinya sampai akhirnya limbah itu keluar ke lingkungan.

“Jadi kalau memang berjalan sesuai dengan proses yang harus dilaksanakan, saya yakin itu bisa terjadi sebab RS Siloam bukan baru pertama kali dibangun di Kota Ambon saja tetapi ada juga di berbagai daerah lain,” ujarnya.

Sehingga proses pengolahan limbah rumah sakit ini akan diberlakukan sama dengan yang ada pada daerah lainnya di Indonesia.

Dinas Lingkungan Hidup juga sudah melakukan sosialisais masalah ini terhadap masyarakat yang berdomisili di seputaran kawasan rumah sakit tersebut.

Ada beberapa jenis izin yang sudah dikantongi diantaranya izin pembuangan limbah cair ke lingkungan. RS Siloam harus memiliki tempat penyimpanan limbah sementara khusus untuk limbah B3 dan nantinya akan dibawa keluar oleh pihak ketiga sehingga limbahnya bukan dibuang di sini.

Meski demikian, Eko Radiyanto pernah menyampaikan  persoalan pengolahan limbah cair selama ini. Limbah cair, kata dia,   sepertinya kurang mendapat perhatian serius di Indonesia, baik oleh pemerintah maupun masyarakat luas. Kebanyakan limbah cair itu ditampung lalu dibuang lagi ke laut. “Ini kan tidak menjawab persoalan pencemaran pesisir, karena limbah itu kemudian dibuang ke laut lagi. Ini yang harus dipahami dengan benar,” tegas Radiyanto (BB-DIO)