Mie Instan dari Tepung Hotong

BERITABETA, Ambon – Majalah Gatra edisi 9 September 2009 melansir angka nominal sangat besar terkait impor gandum sebagai bahan baku roti dan mie instan di Indonesia. Negara ini harus kehilangan uang Rp22,5 triliun per tahun untuk impor gandum sebanyak 4.661.358,85 ton.

Indonesia harus mendatangkan gandum dari Australia, Kanada, Amerika, Rusia, Ukraina, Kazakhstan, India, Pakistan, Brasil, dan Argentina. Padahal, salah satu pati tepung bernilai gizi setara gandum bisa ditemukan pada Hotong (Setaria Italic (L)  Beauv).

Jenis tanaman serealia bernama hotong adalah tanaman endemik yang berasal dari Pulau Buru. Kabupaten Buru Selatan menjadi salah satu wilayah penghasil jenis tanaman ini. Masyarakat setempat menyebutnya Feten.

Apesnya, warisan leluhur di Bumi Lalen ini sulit diangkat gengsinya setera dengan padi dan gandum, lantaran terbatasnya teknologi budidaya dan pasca panen yang dilakukan petani setempat.  Padahal,  biji hotong mengandung komponen bioaktif yang mempunyai sifat anti oksidan, berupa tanin dan vitamin E. Tanin merupakan polifenol, salah satuan gizi yang terkandung di dalam bahan makanan. Komponen ini terutama banyak terkandung pada kulit hotong.

Melihat potensi pengembangan komoditas hotong sebagai pangan lokal yang menjanjikan, manajemen SOLID Buru Selatan, sejak tahun 2013, membuat terobosan untuk mengangkat gengsi tanaman ini.

Desa Labuang, Kecamatan Namrole, adalah satu dari 13 desa binaan Program SOLID di Buru Selatan yang menjadi pusat pengembangan komoditas lokal ini. Warga setempat sejak dulu mengenal hotong sebagai bahan pangan yang sering dikonsumsi. Budidaya hotong dilakukan seadanya dalam luasan lahan yang cukup kecil 20×20 meter hingga 30×20 meter.

“Dulu kita hanya tanam hotong seperlunya, karena hasil yang dipanen hanya untuk dikonsumsi keluarga, sehingga hotong tidak m

Tim Solid Kabupaten Bursel “ Sukri Sahar dan Alfred Lesnussa saat melakukan kunjungan ke gudang penyimpanan hasil pertanian pada dusun kilo 7 desa Labuang Kecamatan Namrole. Salah satu komoditas unggulan pada Desa Labuang Dusun Kilo 7, adalah tanaman hotong yang diusahakan oleh kelompok-kelompok mandiri (foto : SOLID Bursel)

enjadi komoditas yang dikenal masyarakat luas,” ungkap Buce Tasane,  salah satu anggota Kelompok Mandiri binaan Program SOLID di Desa Labuang.

Pengakuan Buce Tasane, cukup beralasan karena jenis tanaman dengan kadar protein dan lemak  lebih tinggi dari beras ini, memerlukan sentuhan teknologi dalam pengelolaannya. Proses pasca panen adalah salah satu fase yang harus dilakukan dengan maksimal, sehingga mampu menghasilkan produk turunan yang memadai. Sedangkan, pengetahuan petani lokal di Buru Selatan sangatlah terbatas.

Setelah Program SOLID menjangkau Desa Labuang, terbentuklah sebanyak 10 Kelompok Mandiri yang dibina oleh manajemen SOLID Buru Selatan. Dua di antaranya adalah Kelompok Mandiri Hongkolon dan Mambadula yang difokuskan untuk mengembangkan budidaya hotong.

Di pundak dua kelompok ini, diletakkan harapan mengembangkan hotong sebagai komoditas unggulan lokal daerah dengan target ekspansi pasar dalam bentuk produk turunan yang akan dihasilkan.

Dibantu dengan proses pendampingan yang dilakukan oleh YPPM Maluku, hotong kemudian dibudidayakan dalam luasan lahan yang cukup besar mencapai 1 ha per kepala keluarga. Hasil intervensi Program SOLID di Desa Labuang akhirnya membuahkan hasil menggembirakan. Anggota Kelompok Mandiri binaan Program SOLID sudah mampu menghasilkan sejumlah produk turunan dari bahan baku tepung hotong di antaranya, mie instan dan bubur instan.

Bukan saja produk olahan hotong yang dihasilkan.  Anggota Kelompok Mandiri Hongkolon dan Mambadula sudah dapat meraup keuntungan yang besar dengan menjual hasil panen hotong kering di pasar lokal.

“Harga satu ikat hasil panen hotong yang telah dibersihkan kami jual dengan harga Rp100.000 dan untuk  tepung hotong yang sudah siap diolah menjadi makanan dijual dengan harga Rp50.000 per kilogram,” ungkap Yohanis Tasane, anggota Kelompok Mandiri Mambadula.

Prestasi dua Kelompok Mandiri di Desa Labuang ini, patutlah diapresiasi dengan baik. Bbudidaya hotong seluas 1 ha, sudah dapat membantu memenuhi kebutuhan setiap keluarga. Bahkan kedua kelompok sudah memiliki pasar lokal tetap untuk menjual hasil panen di Buru Selatan.

Suksesnya pengembangan komoditas hotong di Desa Labuang, juga telah menjadi ikon bagi pelaksana Program SOLID di Buru Selatan. Dalam  beberapa ajang promosi pangan lokal berupa pameran khas daerah, tepung hotong berhasil diolah menjadi sebanyak 131 jenis kue dan makanan. Meski demikian, dalam skala besar, potensi pasar yang memadai belum dapat dijumpai, sehingga hasil produksi hotong oleh petani binaan di Desa Labuang belum mampu ditingkatkan secara meluas.

“Jika pasar sudah tersedia maka tidak menutup kemungkinan, semua kelompok di desa ini akan ikut membudidayakan hotong dalam jumlah yang besar. Semoga kedepan hotong dapat menjadi komoditas nasional”, harap Yohanis Tasane. (dhino pattisahusiwa)