Oleh : Said Moksen Almahdaly  (Direktur Institut Demokrasi Indonesia)

Pada tanggal 17 Agustus 2021 ini, Indonesia genap berusia 76 tahun kemerdekaannya. Usia ini tentu masih terbilang muda jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang sudah merdeka kurang lebih hampir 4 abad.

Terlepas dari usianya yang masih muda itu, bahwa bangsa ini tetap bertahan hingga saat ini, tentu patut kita syukuri dengan segala masalah dan tanrangan yang dihadapinya.

Salah satu cita-cita mulia yang ingin dicapai oleh kemerdekaan bangsa ini adalah mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun baik dari suku, suku, daerah, agama, jenis kelamin dan sebagainya.

Namun demikian, harus diakui bahwa cita-cita mulia tersebut belum sepenuhnya tercapai hampir dalam berbagai aspek kehidupan baik di bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan dan sebagainya.

Dari segi sumber daya alam, tanah tumpah darah kita tercinta ini sungguh sangat kaya dan lebih dari cukup untuk menyejahterakan seluruh warga negara. Ironisnya, bangsa yang sangat melimpah sumber daya alam itu justru dihadapkan dengan fakta bahwa kemiskinan masih mengekang sebagian warga negara kita.

Jika para pempin dan elit bangsa ini secara sungguh-sungguh memperjuangkan kesejahteraan seluruh warga sejak 17 Agustus 1945, maka cita-cita mulia bersama dengan mudah untuk duwujudkan. Tetapi,fakta sejarah menunjukkan hal sebaliknya.

Kepentingan diri sendiri dan golongan jauh lebih banyak diperhatikan dibandingkan dengan kepentingan masyarkat umum dari Sabang sampai Merauke.

Perubahan rezim dari masa ke masa toh pada umumnya tidak mampu menghilangkan kecendrungan egoistik kita dalam mengurus bangsa ini. Rezim orde baru yang sangat sentralistik dan penuh KKN reformasi tidak mampu mengapus KKN bahkan lebih meluas dan terstruktur.

Berbagai kasus korupsi baik skala kecil maupun skala besar semakin banyak tidak hanya di tingkat pusat tetapi juga di tingkat daerah dengan berbagai modus.

Menguatnya kepentingan prubadi atau golongan yang menghunggapi sebagiab besar elit bangsa ini telah menyebabkan perluasan sosial dalam hampir semua aspek dalam masyakat kita hingga saat ini. Fakta ini tentu bertentangan dengan niat dan cita-cita luhur pendiri bangsa ini.

Dalam skop yang paling luas, sosial yang paling kasat mata terjadi di Indonesia hingga saat ini adalah tentang kawasan timur dan barat di Indonesia.

Dalam setiap empat tahun, pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden penetapan daerah atau kabupaten tertinggal di seluruh Indonesia. Pada rahun 2020 misalnya, presiden Jokowi menetapkan daerah tertinggal nomor di Idonesia melalui peraturan presiden 63 tahun 2020.

Dalam Perpres tersebut, ditetapkan sebanyak 62 daerah tertinggal dan sebagian besar berada di kawasan Indonesia timur seperti NTT, Papua, Papua Barat dan Maluku.

Kondisi ini tentu sangat penting karena daerah-daerah tersebut memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah tetapi sumber daya manusianya masih belum diperhatukan secara serius oleh baik pusat maupun daerah itu sendiri.

Terbatasnya sumber daya manusia di wilayah Indonesia Timur tentu sangat terjangkau, namun karena pemerintah kurang sungguh-sungguh memperhatikan sektor pendidikan pada wilayah tersebut.

Lembaga-lembaga pendidikan dalam berbagai tingkatan pada umumnya lebih banyak pilihan di wilayah bagian barat seperti Sumatera, Jawa dan Bali.

Dalam beberapa dekade terakhir ini, memang ada sedikit upaya untuk mengatasi masalah tersebut terutama melalui beasiswa LPDP. Beasiswa ini telah membantu memperbaiki kualitas SDM warga di wilayah tersebut. Namun demikian, beasiswa ini juga setengah hati karena masih menerapkan sertifikat TOEFL.

Syarat ini tentu saja terutama untuk warga yang tinggal di daerah-daerah terpencil dan akses internet yang sangat buruk. Kondisi seperti tentu tidak bisa diharapkan munculnya SDM yang berkualitas di masa depan.

Semoga pada momen 76 tahun kemedekaan bangsa kita tahun ni menjadi titik awal bagi perubahan sosial ekonomi bagi masyarakat terutama saudara dan saudari kita di indinesia timur. Jika tidak, maka kemiskinan dan ketidakadilan sosial tetap menghantyi bangsa kita ke depan.

Kondisi itulah yang diperangi oleh pendiri bangsa ini yang seharusnya terus diperjuangkan oleh generasi selanjutnya. Pekikan merdeka kiranya bukan hanya dengan kataa-kata tetapi harus disertai tindakan konkrit (*)