BERITABETA. COM – Kaum intelektual sejatinya t i d a k menjadi agent of change.masyarakat. hidup di menara gading. Mereka h a r u s membumi, hidup berbaur d an berjuang bersama masyarakat. Mereka juga ikut berpartisipasi mencari alternative solusi dari berbagai permasalahan yang terjadi di lingkungannya, bukan sebaliknya menjadi benalu di tengah-tengah Di lapangan, kaum intelektual memiliki idealisme, tapi banyak

yang tidak disertai logistik yang memadai. Idealisme tanpa logistik, akan memasung inovasi dan karya nyata di ranah eksekusi. Kaum intelektual tidak dapat menjalankan peran sosialnya seorang diri, tetapi harus merangkul dan masuk ke berbagai pemangku kepentingan. Lahirlah istilah aktivis yang bergabung dalam berbagai organisasi, komunitas, atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Alasan inilah yang membawa sosok Abdulgani Fabanjo, memilih jalan panjang dengan tampil sebagai salah satu pionir (pencetus), berdirinya Yayasan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (YPPM) Maluku.

Berkiprah menjadi aktivis LSM, bukanlah sebuah kebetulan yang dilakukan. Pria kelahiran Kota Biak, Provinsi Papua (waktu itu bernama Irian Jaya), tangga l2 Mei 1968 ini menapak karir sebagai aktivis sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Kala itu, Abdulgani Fabanjo, adalah pelajar di SMA Negeri 1

Soasio, Tidore, Maluku Utara. Di sekolah itulah, Gani, begitu sapaan akrabnya, masuk sebagai pengurus pada organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) pada tahun 1986 hingga 1987. Berbaur dengan puluhan pelajar di sekolah ini, putra kelima pasangan Arif Syamsuddin Fabanjo dan Hadijah Ismail Tamima, banyak menimba ilmu tentang membangun karakter, menjadi seorang aktivis yang peka dengan masalah-masalah sosial.

Sosok pria ulet ini banyak mewarisi talenta ayahnya. “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya”, demikian yang dialami putera Arif Syamsuddin Fabanjo (almarhum). Sang ayah adalah sosok yang kokoh menjalankan tugasnya sebagai abdi negara di Departemen Penerangan yang bertugas di Kota Biak.

“Saat itu bapak saya bertugas di sana dengan membawa misi penerangan terkait perjuangan Pembebasan Irian Barat, pada tahun 1960-an,” kenang bapak dua anak ini. Hidup dalam keluarga yang disiplin dan memegang teguh prinsip keadilan di masa-masa pasca kemerdekaan itu, membuat Abdulgani ikut merasakan kuatnya disiplin yang diajarkan orang tuanya di masa kecilnya.

“Saya tidak terlalu banyak mengetahui kepribadian dan sosok ayah saya, tapi beliau adalah pekerja keras, berwibawa dan cukup disegani,” tuturnya.

Gani kecil, akhirnya pindah dan mengenyam pendidikan di Soasio mengikuti keluarga ibunya di sana. Dia tumbuh dan besar di kota kecil itu. Menamatkan pendidikan mulai dari jenjang SD hingga SMA di kota yang berada di Pulau Tidore Maluku Utara. Jiwa aktivis yang dianut, terus terjaga hingga menjadi mahasiswa di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) YAPIS Jayapura.

Di bangku kuliah, kolektor batu akik ini bergabung sebagai salah satu pengurus Komisariat HMI di Fakulatas Ekonomi. Aktif sebagai mahasiswa dengan sejumlah agenda di HMI, menjadikannya begitu supel dalam pergaulan.

Pengetahuan tentang organisasi yang diperolehnya, banyak menjadi dorongan dalam melihat sejumlah persoalan yang dihadapi di tengah masyarakat. Masa perkuliahan di almamaternya yang kini berganti nama menjadi Universitas Yayasan Pendidikan Islam (Uniyap) Jayapura, dapat diselesaikan pada tahun 1993. Modal sebagai sarjana ekonomi, kemudian mendorongnya untuk mencoba keberuntungan dengan bekerja di salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT. Hutama Karya, perusahaan yang bergerak dalam bidang konstruksi.

Menjadi salah satu staf administrasi di perusahaan tersebut, membuat Abdulgani, akhirnya bisa berada di Kota Ambon pada tahun 1996.

Kota Ambon, bagi Abdulgani adalah tempat asing yang tidak pernah terlintas dalam pikirannya. Namun, penugasan dari kantor sebagai Koordinator Pemasaran PT.Hutama Karya, akhirnya membawa suami Neny Fitriany Safril, bisa menetap di kota berjuluk “Manise”.

“Saat itu perusahaan kami membangun embung di Sermata, salah satu kawasan yang berada di Kabupaten Maluku Barat Daya (MDB), dan saya ditugaskan di Ambon sebagai Koordinator Pemasaran,” kenang dia.

Masa penugasan sebagai Koordinator Pemasaran BUMN Hutama Karya, akhirnya pupus dengan tragis. Setelah memasuki tahun ke-3, Kota Ambon dilanda konflik komunal yang akhirnya membuat aktivitas perusahaan pun mati total.

“Saya tidak lagi bekerja saat itu, dan fokus melihat persoalan –persoalan kemanusian yang timbul di masa konflik,” ungkap Abdulgani.

Koalisi Aktivis untuk YPPM

Ganasnya konflik komunal yang terjadi di kota Ambon tahun 1999, menjadi pukulan bagi sejumlah pihak. Kehidupan yang tersekat berdasarkan komunitas, ditambah kerumitan masalah keamanan, sosial dan ekonomi, telah menjadi babak baru kebangkitan civil society di Maluku. Sejumlah aktivis bergerak mendirikan wadah-wadah pergerakan sosial yang bertujuan membantu sesama masyarakat yang terkena dampak konflik. Fenomena itu menjalar dan menjadi ladang amal yang patut diapresiasi. Ambon dan Maluku pada umumnya menjadi tempat subur bagi tumbuhnya sejumlah LSM.

Di pusat Kota Ambon, berdiri megah Masjid Raya Alfatah. Bangunan kebanggaan umat Muslim Kota Ambon, menjadi tempat alternatif penampungan ratusan Kepala Keluarga (KK), pengungsi korban konflik. Kawasan Masjid Raya Alfatah Ambon yang juga memiliki sebuah rumah sakit, menjadi tempat pengungsian sementara bagi warga Muslim Kota Ambon. Ratusan hingga ribuan orang berada di kawasan itu. Hampir saban hari, terdengar tagisan dan teriakan histeris, tatkala konflik meradang. Korban akibat konflik terus dievakuasi ke Rumah Sakit Alfatah. Kota Ambon makin mence kam.

Melihat kondisi yang makin tidak karuan ini, sejumlah pemuda tidak mau larut dalam derita yang terus mengancam. Ayah Aris Adzuhuri Jihaddin dan Nadia Aulia, kemudian bergegas bersama sejumlah aktivis lain. Selama bertugas di Kota Ambon, Abdulgani telah banyak mengenal sesama rekan aktivis

yang berasal dari Pelajar Islam Indonesia (PII) Wilayah Maluku Besar. Ketika itu, banyak kader PII yang dikenal dalam kegiatan Perkampungan Kerja Pelajar (PKP). Selain aktivis dari PII, juga terdapat sejumlah rekan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LAKPESDAM) Nahdatul Ulama (NU).

Dari kawasan Masjid Raya Alfatah Ambon itulah, Abdulgani bersama enam aktivis lain mempelopori kelahiran sebuah LSM yang kemudian diberi nama Yayasan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (YPPM) Maluku. Selain Abdulgani, terdapat enam aktivis yang memberikan andil atas kelahian pergerakan YPPM ini. Mereka adalah Hilda Rolobessy (aktivis perempuan), Amir Kotaromalos (Dosen Fisip Unpatti), Fahmi

Salatalohy (Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Ambon), Mas’ud Asseldan (Kepala Kantor Urusan Agama, Kecamatan Taniwel, Kabupaten Seram Bagia Barat), Nur Tunny (Staf Administrasi IAIN Ambon) serta Kiki Zakia Samal (Aktivis Youth Ambassador for Peace). Tujuh aktivis ini kemudian menggelar rapat dan menunjuk Abdulgani sebagai Direktur YPPM Maluku.

Keberadaan yayasan ini dilatari dengan situasi dan kondisi yang begitu rumit terjadi di tengah masyarakat. Salah satu dampak tragis yang timbul dari konflik Maluku 1999 itu adalah wilayah pemukiman masyarakat Maluku terpecah berdasarkan komunitas, dengan segregasi wilayah yang begitu nyata.

Fakta dari dampak itu telah menimbulkan efek domino yang sangat buruk. Ketujuh tokoh muda Maluku bergegas membantu setiap warga yang menjadi korban dari konflik saat itu. Bekerja sukarela, membantu dan membantu warga korban konflik saban hari dilakukan. Mulai dari merawat pasien hingga berperan ganda sebagai tenaga medis.

“Saat itu jika ada korban yang baru dievakuasi ke rumah sakit, kami pun ikut membantu menjadi tenaga medis,” kenang dia.

Setelah YPPM berdiri, maka pada Desember 1999, sebagai LSM lokal, YPPM kemudian dipercaya menjadi salah satu LSM lokal yang bekerja sama dengan Yayasan KEHATI. Sebuah Non Government Organisation (NGO) yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan, yang didirikan oleh Emil Salim,

Koesnadi Hardjasoemantri, Ismid Hadad, Erna Witoelar, Program kerja sama ini bernama Community Recovery Program (CRP), yang ikut ambil bagian dalam membantu korban pengungsi di Maluku.

Dalam sebuah kunjungan bersama rekan-rekan staf YPPM

YPPM yang dipimpin Abdulgani, kemudian bertugas melakukan kegiatan pendidikan alternatif untuk siswa-siswi yang tidak bisa belajar pada sekolah induknya serta menyalurkan bantuan berupa sembilan bahan pokok (sembako) kepada sejumlah warga pengungsi pada dua komunitas.

Kiprah YPPM di bawah komando putra Tidore ini makin bersinar. Pasca terlibat sebagai LSM lokal yang melakukan advokasi korban konflik Maluku, YPPM terus bergerak bekerja sama dengan sejumlah NGO Internasional dan stakeholder di Maluku. Beberapa program kerja sama yang dilakukan itu antaranya, program Pendidikan Alternatif di Desa Tial Kecamatan Salahutu, kerja sama YPPM-PKM/CRP, YPPMDIKNAS), Program Pemberdayaan Orang Tua, Ibu–ibu, dan warga Jemaat Gereja Protestan Maluku, kerja sama YPPM dengan PKM/CRP, ICMC, CordAid, Program Pemberdayaan Masyarakat Nelayan di pesisir Salahutu dan Haruku, kerja sama YPPM-CIDA, dan sejumlah program kerja sama yang bertujuan kemanusian di Maluku.

Menjadi Direktur YPPM adalah sebuah tantangan yang begitu besar dihadapi oleh Abdulgani. Selain bekerja harus sepenuh hati, komitmen untuk tetap berjuang pada ranah sosial kemanusiaan harus tetap terjaga. Walaupun YPPM telah dipercaya menjadi sebuah LSM lokal yang berperan di masaxxxii

masa konflik hingga pasca konflik, namun keberlangsungan kegiatan tidak dapat dipastikan terus terjadi.

YPPM pun pernah mengalami kondisi serupa pada tahun 2004. Ketika bencana tsunami menimpa Aceh pada 26 Desember 2004. Peristiwa tragis itu, kemudian mengalihkan perhatian sejumlah NGO dunia memusatkan misinya ke daerah tersebut. Sontak saja, kerja sama yang terjalin antara YPPM dengan sejumlah donatur terhenti.

“Kita pernah mengalami masa kevakuman dalam program pendampingan pasca konflik Maluku. Kondisi itu berlangsung selama 3 tahun mulai dari tahun 2004 hingga 2007, akibat sejumlah NGO internasional memalingkan perhatian ke musibah tsunami di Aceh,” kata Abdulgani.

Memasuki tahun 2008, kemudian melalui beberapa teman di International Labour Organization (ILO), salah satu badan di bawah naungan PBB, mengabarkan akan ada program yang masuk ke wilayah Maluku bernama Serasi yang akan didanai oleh United States Agency for International Development (USAID), salah satu badan independen dari pemerintahan Amerika Serikat yang bertanggung jawab atas bantuan untuk bidang ekonomi, pembangunan, dan kemanusiaan untuk negaranegara

lain di dunia. Selain itu, juga terkait program SOLID yang didanai oleh IFAD. Berkat informasi yang diperoleh ini, Abdulgani kemudian mencoba mencari tahu melalui sejumlah website di internet. Upaya itu berhasil. Kedua program tersebut kemudian menjadi tanggung jawab YPPM untuk dijalankan di Maluku. Kini YPPM Maluku di bawah komando Abdulgani, telah melakukan proses pendampingan terhadap Program Peningkatan Kesejahteraan Petani Kecil (PKPK) atau SOLID (Smallholder Livelihood Development Project in Eastern Indonesia).

Program SOLID merupakan kerja sama Pemerintah Republik Indonesia dengan International Fund for Agricultural Development (IFAD). Sejak 2014, YPPM Maluku telah melakukan proses pendampingan terhadap ratusan kelompok tani yang tersebar di lima kabupaten di Maluku, dan pemberdayaan petani kecil itu dilakukan sampai berakhir tahun 2018.

“Selaku pimpinan YPPM, saya tetap optimis, ke depan Program SOLID di Maluku akan menjadi sebuah pintu bagi masuknya upaya pengentasan kemiskinan di daerah ini. Optimisme ini akan dapat terwujud, asalkan Pemerintah Daerah Maluku mampu melanjutkan upaya intervensi yang sudah dilakukan dalam Program SOLID,” tandasnya (*)

Pewarta : Dhino pattisahusiwa