AJI, AMSI dan IJTI Ajukan Permohonan Pengujian UU Pers
BERITABETA.COM, Jakarta – Tiga organisasi pers Indonesia masing-masing Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mengajukan permohonan sebagai pihak terkait yang berkepentingan tidak langsung kepada Mahkamah Konstitusi (MK) pada Pengujian Undang-undang Pers perkara Nomor: 38/PUU-XIX/2021.
Permohonan ini disampaikan melalui kuasa hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers pada, Kamis (4/11/2021).
Permohonan ini ditandatangani oleh Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin, perwakilan AMSI pusat Hendrayana, Ketua AJI Indonesia Sasmito dan wakil dari IJTI Pusat Wahyu Triyogo sebagai bentuk kepedulian yang tinggi kepada Permohonan Pengujian UU Pers yang diajukan Heintje Grontson Mandagie dkk, khususnya terkait fungsi Dewan Pers dan terkait pemilihan anggota.
Selain itu sebagai konstituen Dewan Pers tentunya AJI, AMSI dan IJTI merasa keterangan dalam permohonan ini bisa menjadi salah satu hal yang dipertimbangkan Majelis Hakim MK dalam memeriksa perkara.
Pengujian UU Pers mempermasalahkan 2 Pasal yaitu Pasal 15 ayat (2) huruf f terkait kewenangan Dewan Pers memfasilitasi organisasi pers dalam membentuk peraturan dibidang pers dan Pasal 15 ayat (5) terkait keanggotan Dewan Pers yang ditetapkan, dengan Keputusan Presiden.
Berdasarkan hal tersebut ketiga Organisasi Pers ini menyampaikan 4 poin penting:
1. Jika dibaca baik-baik terkait kewenangan Dewan Pers pada salah satu pasal yang diuji, Pasal 15 ayat (2) huruf f sebenarnya hanya memberikan kewenangan kepada Dewan Pers untuk memfasilitasi organisasi–organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers.
Untuk itu, sebenarnya tidak ada sama sekali ruang dan kesempatan Dewan Pers untuk memonopoli. Sebagai fasilitator, Dewan Pers diwajibkan memastikan adanya ikut serta dari organisasi pers dalam pembentukan peraturan di bidang pers.
2. Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian dari memfasilitasi sendiri adalah: “memberikan fasilitas”. Selanjutya dalam sumber yang sama, fasilitas artinya: “sarana untuk melancarkan pelaksanaan fungsi, kemudahan”.
Artinya pada konteks fungsi Dewan Pers dalam membentuk peraturan pada bidang pers, khususnya pada Pasal 15 ayat (2) huruf f adalah menjadi pihak yang memberikan sarana untuk melancarkan fungsi dan kemudahan kepada organisasi pers untuk berkontribusi dan ambil bagian dalam membentuk peraturan di bidang pers.
3. Sebagai fasilitator, maka jika terdapat pembentukan peraturan di bidang pers tanpa mengikutsertakan organisasi pers maka barulah bisa dianggap bertentangan dengan fungsi dalam UU Pers sendiri.
Seandai pun terjadi, permalasahan berada di tataran implementasi bukan pada tataran normatif dengan memintakan Dewan Pers kehilangan sebagian fungsinya sebagai fasilitator organisasi pers membentuk peraturan di bidang pers.
4. Mencermati posita para Pemohon mengenai memfasilitasi adalah menginginkan penyusunan peraturan-peraturan bidang pers dilakukan oleh masing-masing organisasi pers, bukan dalam bentuk peraturan Dewan Pers.
Hal tersebut dikhawatirkan justru membuat peraturan-peraturan bidang pers dapat menjadi tidak kohesif, terpisah sendiri-sendiri sesuai selera dan kepentingan organisasi-organisasi pers, dan bahkan berpotensi bertentangan satu dengan yang lain.
Hal ini berpotensi membuat munculnya kode etik jurnalistik yang tidak baku dan beragam penafsiran sesuai versi masing-masing organisasi pers. Dikhawatirkan justru memunculkan kebingungan massal pada insan pers Indonesia dan mengganggu kebebasan serta profesionalitas pers.
Untuk itu Para Pemohon dan Kuasa Hukum dengan ini menyampaikan permohonan sebagai Pihak Terkait yang Berkepentingan Tidak Langsung kepada MK.
“Besar harapan Para Pemohon dan Kuasa Hukum agar Majelis Hakim MK mau mempertimbangkan keterangan-keterangan yang disampaikan dalam memeriksa perkara PUU yang diajukan,” tulis mereka (*)
Editor : Redaksi