Apa Kabar Maluku di Usia 76 Tahun…?

Oleh : Saadiah Uluputy, ST (Anggota DPR RI Dapil Maluku)
Tepat hari ini, 19 Agustus 2021, usia Provinsi Maluku sudah mencapai 76 tahun. Sungguh sebuah perjalanan panjang yang harus disyukuri. Setidaknya Maluku sebagai daerah otonom telah melalui etape yang panjang berliku bersamaan dengan lahirnya bangsa ini.
Judul cacatan ini saya angkat dari tema diskusi yang baru saja kami lakukan, Kamis 19 2021. Bersama akademisi Maluku DR. Abidin Wakano, kami diundang tampil sebagai narasumber di Kantor RRI Ambon bertepatan dengan hari ulang tahun Maluku yang ke 76.
Tema ini, menjadi menarik untuk didiskusikan, karena Provinsi Maluku menjadi salah satu propinsi yang ikut memproklamirkan Indonesia dengan menyerahkan segala potensi tanah airnya menjadi tanah air Indonesia.
Pengakuan ini pula yang membuat Presiden Sukarno menyampaikan bahwa Indonesia tanpa Maluku bukanlah Indonesia. Sebagai orang Maluku dan sebagai politisi Maluku, tentu setiap membahas tema ini, kita akan dihadapkan dengan realitas yang terjadi. Bahwa kenyataannya Maluku masih menempati posisi provinsi termiskin nomor 4. Fakta ini tentu membuat miris hati kita.
Mengapa? Tema ini menjadi sebuah refleksi. Refleksi tentang kemerdekaan, ke-Indonesiaan dan ke-Malukuan.
Jauh hari sebelum Indonesia Merdeka, Maluku sangat terkenal dengan kekayaan rempah-rempahnya. Di bawah Kesultanan Ternate, Tidore, Bacan dll, Maluku telah berinteraksi luas dengan kesultanan lain yang ada di Indonesia.
Posisi strategis Maluku sebagai The Spice Island, selain menjadi wilayah konstestasi dan perjumpaan berbagai peradaban dunia, Maluku sejak itu telah dijadikan sebagai daerah kosmopolit.
Dengan alasan itu pula menurut sejarahwan, posisi Maluku yang strategis itu telah menjadi imajinasi lahirnya Indonesia.
Maluku makmur dan kaya dengan potensi sumber daya alam. Rempah rempah-nya dan perdagangannya memikat negara -negara lain tertarik untuk datang ke Maluku dan Indonesia.
Fakta inilah yang kemudian memperkuat statemen Ir Sukarno bahwa ‘Indonesia tanpa Maluku bukanlah Indonesia’.
Demi Maluku yang dicintai ini pula, para pejuang kita membelanya hingga titik darah penghabisan untuk mencapai kemerdekaan. Tidak sedikit putra putri Maluku yang ikut berjuang dan menggagas lahirnya Indonesia.
Sejak pergerakan kebangkitan nasional tahun 1908, Sumpah Pemuda 1928 dan pergerakan hingga Pra Kemerdekaan 1945. Tercatat ada sejumlah nama yang berderet seperti Kapitan Patimura, Cristina Marta Tiahahu, A.M Sangaji, AY Patty, J. Leimena dan sejumlah tokoh heroic lainnya telah ikut berjuang dan tercatat sebagai Pahlawan. Mereka ikut berjuang dan menggagas Indonesia.
Gagasan besar tentang bagaimana kemerdekaan dan tentang bagaimana ke-Indonesiaan dan bagaimana relasi kemerdekaan dan ke-indonesiaan dalam relasi orang Maluku.
Maluku tanpa Indonesia bukanlah Indonesia haruslah dalam diterjemahkan. Hal-hal besar apa yang kemudian bisa diwujudkan dan akan dilakukan dengan hal itu? Bagaimana Maluku berjibaku dalam kemerdekaan, masuk ke relung Indonesiaan?
Setelah 76 Tahun Indonesia merdeka, gagasan awal Indonesia merdeka adalah bagaimana kita memanusiakan manusia Indonesia. Menjadikan kemandirian sebagai soko guru keadilan. Dan kemandirian itu berwujud pada semua aspek aspek kehidupan.
Suatu relasi komunitas yang harmonis, suatu relasi ekonomi yang baik yang kemudian terwujud dalam bagaimana kita mengajes program pembangunan, dan bagaimana kita mengelola pemerintahan kita. Itu yang sampai saat ini belum secara utuh bisa diwujudkan.
Hari ini sebagai Anggota DPR RI yang berada di Komisi IV, saya mengamati pembahasan RUU Daerah Kepulauan yang masih belum ada langkah maju dalam pembahasannya.
Saya jadi berfikir panjang untuk ikut memberi gagasan dan solusi serta ikut menjembatani gagasan itu dengan suatu antitesa baru dari pembahasan RUU Daerah Kepulauan yang mungkin "tidak menarik" bagi pemerintah untuk dibahas. Dan mengambil konteks lain dari pendekatan baru soal potensi kelautan dan perikanan.
Maluku yang secara faktual sebagai daerah kepulauan dan potensi lautnya besar, tidak berbanding lurus dengan kewenangan mengelola potensi ini.
Kewenangan diberikannya hanya untuk mengelola dari 0 - 12 mill laut dari garis pantai daerah terluar. Selebihnya dikelola dalam kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014.
Akibatnya kapal- kapal asing hilir mudik mengeruk hasil laut Maluku, tapi pajak dan bagi hasil penangkapan disetor kepada negara.
Fakta ini dapat terlihat dengan jelas. Dari data Kementrian Perikanan dan Kelautan menyebutkan bahwa lebih dari Rp 40 Triliun tiap tahunnya dibawah dari laut Maluku.
Dana itu tidak dibagi ke daerah penghasil tetapi masuk dalam gentong Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang tercatat sebagai APBN di sektor PNBP.
Dalam kondisi seperti ini apa yang bisa diharapkan oleh Pemerintah Daerah di wilayah yang terkenal sebagai Daerah Maritim berciri kepulauan ini?
Maluku kini memang telah ditetapkan sebagai Lumbung Ikan Nasional (LIN). Tapi itu seperti hanya ‘menang nama’ sebagai daerah maritim, tapi tak dapat keuntungan yang sebanding.
Fakta lain dapat terungkap disini, transfer fiskal dalam DAU pun tak menghitung area lautnya sementara 92,4 % luasan Maluku adalah laut dan 7,6 % daratan. Tentunya ini sangat sangatlah merugikan Maluku.
Atas dasar beberapa pertimbangan itu kemudian, menurut saya dibutuhkan suatu regulasi yang bersifat khusus. Lalu bagaimana dengan RUU Daerah Kepulauan yang sedang berproses di parlemen ?
Dalam pengamatan saya, setelah 15 tahun RUU ini coba digagas, bahkan kerap masuk dalam Prolegnas yang diusulkan dari pintu DPR, tapi sepertinya tetap jalan di tempat.
10 tahun tidak berhasil, sekarang diusulkan lagi dari pintu DPD, masuk dalam Prolegnas tahun 2020, ada di urutan ke 50 saat penetapannya yang ikut dihadiri anggota DPRD Provinsi Maluku dan wakil pemerintah daerah.
Dalam paripurna tersebut saya dengan suara lantang mengajukan interupsi disaksikan dan disuport oleh teman- teman DPRD Provinsi Maluku.
Harapannya bisa cepat untuk dibahas. Tetapi faktanya, setahun telah berlalu dan dari masa sidang ke masa sidang, ternyata tak kunjung ada berita untuk dibahas. Sudah V masa sidang berlalu, belum ada tanda -tanda akan ada pembahasan.
Saya sudah ditugaskan oleh menjadi Koordinator dari Fraksi PKS untuk masuk Pansus, tapi setelah saya tanyakan ke teman- teman Baleg DPR RI, informasinya harus menunggu surat Presiden yang dari surat itu kemudian oleh Bamus menugaskan Pansus bekerja.
Lagi-lagi, Paripurna buka sidang dan penetapan pembahasan RUU DPR RI di masa sidang 1 tanggal 17 Agustus 2021 tidak ada RUU Daerah Kepulauan. Lalu timbul pertanyaan. Bagaimana nasibnya RUU Daerah kepulauan ?
Akankah nasibnya sama dengan periode kemarin? Apakah alasan pemerintah tidak respon, karena konsekwensi politik dan anggaran menjadi besar karena menyangkut 8 propinsi kepulauan ?
Jika nasibnya demikian, maka tentu seluruh komponen dan stakeholder harus berfikir untuk mencari strategi baru untuk memperjuangkan haknya kepada Negara.
Apakah dengan otonomi khusus seperti Aceh, Djogya dan Papua ataukah menggagas RUU baru yaitu RUU Pengembangan Pengelolaan Daerah Perikanan atau Kemaritiman.
Jadi instrumennya adalah pengembangan dan pengelolaan negara terkait perikanan. Diintegrasikan dengan Lumbung Ikan Nasional yang juga hingga hari ini belum ada Kepres-nya.
Harapannya dengan regulasi dan payung hukum ini, Maluku bisa "memaksa" negara untuk sungguh-sungguh membangun Indonesia dari laut, tidak saja dari darat dan karena itu maka harus diperjuangkan.
Dengan perjuangan ini Maluku akan lebih fokus, lebih mudah mengendalikan dan memaksimalkan konsolidasi internalnya.
Mari berjuang bersama semua komponen negeri ini secara kolektif. Pemerintahannya, akademisinya, para pakar dan politisinya. Ini tidak mudah tapi bagian dari tawar menawar kepada Negara.
Negara yang kita cintai. Negara di dalamnya ada saham Maluku. “Ini gagasan saya untukmu Maluku, di Hari Ulang Tahunmu, kupersembahkan untuk didiskusikan,” Dirgahayu Maluku Tercinta (*)