BERITABETA.COM – Keberhasilan Taliban menguasai ibu kota Afghanistan, Kabul, dan memaksa Presiden Ashraf Ghani melarikan diri pada Ahad kemarin, ikut menjadi sorotan publik di dunia.

Termasuk salah satunya adalah Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla. Kalla mengaku sempat dituduh sebagai bagian dari Taliban, kelompok garis keras di Afghanistan.

Hal itu terjadi ketika Kalla berusaha memediasi pihak-pihak yang bertikai dan mengharuskannya berhubungan dengan kedua belah pihak.

Wapres di periode pertama Presiden Jokowi, itu memang menjadi perwakilan Indonesia dan terlibat dalam perundingan dan berbicara langsung dengan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani, serta para petinggi Taliban.

Kisah ini kembali diceritakan Kalla dalam webinar publik “Memperkokoh Jembatan Kebangsaan: Belajar Mediasi Konflik dari Pengalaman Jusuf Kalla”.

Webinar dilaksanakan secara virtual oleh PUSAD Paramadina dan Universitas Paramadina dalam rangka merayakan hari proklamasi pada Kamis, (19/8/2021).

Selain menjabat sebagai Wakil Presiden RI 2004-2009 dan 2014-2019, Kalla juga dikenal sebagai mediator ulung.

Dia berjasa memediasi konflik-konflik kekerasan di dalam negeri antara lain di Ambon, Poso, dan Aceh. Tetapi dia juga pernah berusaha memediasi konflik-konflik internasional di Afghanistan, Malaysia, Palestina, dan lainnya.

Terkait keterlibatannya dengan kelompok Taliban, Kalla menyatakan bahwa hal itu harus dia lakukan untuk mengenali kedua pihak yang bertikai secara mendalam. Ini jadi salah satu kunci keberhasilan seorang mediator, yang harus berlaku seimbang dan adil dengan pihak-pihak yang bertikai agar tidak terkesan memihak.

“Ketika itu saya dituduh Taliban. Padahal saya harus bertemu dengan dua pihak yang terlibat konflik di Afghanistan. Baik itu perwakilan pemerintah Afghanistan maupun pimpinan Taliban.”

Selain kemampuan mengumpulkan dan menganalisis informasi terkait konflik yang sedang berlangsung, membangun reputasi dan wibawa seorang mediator juga penting diupayakan.

Reputasi mediator yang netral, adil, dan imparsial menjadi penting untuk menumbuhkan rasa percaya dan mendorong kompromi di antara kedua belah pihak.

“Untuk membangun rasa percaya, saya waktu itu mengundang baik pihak Taliban maupun Presiden Ashraf Ghani. Saya bicara dengan kedua pihak dan benar-benar berupaya memahami karakteristik dan perasaan masing-masing. Selain belajar sejarah konfliknya, kita juga perlu mengenali aktor yang terlibat secara mendalam,” lanjut Kalla.

Pendekatan yang lebih personal terkadang lebih efektif ketimbang pendekatan protokoler yang terlampau formal dan kurang mampu mencairkan suasana.

Selain Kalla, webinar juga mengundang Bima Arya Sugiarto (Walikota Bogor), Sandra Hamid (The Asia Foundation), Beka Ulung Hapsara (Komnas HAM), Sana Jaffrey (Institute for Policy Analysis of Conflict, IPAC) dan Shiskha Prabawaningtyas (Universitas Paramadina) sebagai komentator.

Dalam pengantar webinar, Direktur PUSAD Paramadina Ihsan Ali-Fauzi menyatakan, mediasi makin penting diprioritas karena konflik-konflik terkait kerukunan di Indonesia terjadi di antara pihak-pihak yang tidak seimbang.